Hardiknas Momentum Penguatan NU Passion School (NPS) Bagi Pendidik Indonesia
Oleh: Maya Muizzatul Lutfillah
Setelah
kaum buruh memanfaatkan momentum ‘May Day’, pada Rabu (1/5) kemarin,
hari ini Kamis (2/5) masyarakat Indonesia diingatkan kembali kepada
sejarah dan corak pendidikan di Indonesia melalui momentum Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas yang diperingati setiap tahun
oleh masyarakat Indonesia tertuang dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 316 tahun 1959. Tanggal tersebut
merupakan tanggal di mana Ki Hajar Dewantara ditetapkan menjadi pahlawan
nasional oleh Pemerintah Soekarno. Ki Hajar Dewantara merupakan Menteri
Pendidikan pertama untuk periode 1945, dua Mei juga merupakan hari yang
spesial bagi Ki Hajar Dewantara. Sebab tanggal tersebut adalah tanggal
kelahirannya. Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama asli Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat lahir 2 Mei 1922. Ia adalah
sosok yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan di Indonesia, corak
pemikirannya yang berbasis kepribadian dan kebudayaan memiliki dampak
positif untuk arah gerakan pendidikan kala itu. Petuah fenomenal yang kerap kita jumpai adalah Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’. Saduran
bebas pemaknaan istilah tersebut adalah ‘di depan memberi contoh, di
tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan’. Sederet
slogan tersebut sampai kini masih menjadi acuan bagi guru dalam
mendidik para siswanya. Bahkan frasa ‘tut wuri handayani’ masih
terpampang pada logo Kementerian dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejalan
dengan nilai sejarah tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) yang menjunjung
tinggi nilai nilai tradisi tentu lebih luas memaknai pemikiran Ki Hajar
Dewantara. Meski pusat pendidikan NU di Pesantren yang bukan bagian dari
pendidikan formal, sesungguhnya para kiai sepuh NU adalah pendidik dan
pengajar yang patut diberikan apresiasi oleh bangsa Indonesia. Atas
kerja keras Kiai Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan kiai-kiai NU
lainnya, pendidikan anak bangsa semakin tercerahkan. Terutama pada
penanaman nasionalisme dan akidah Ahlussunnah Waljamaah. Pada
perkembanganya, sejak 1945 sampai dengan 2019 ini, perkembangan
pendidikan formal semakin menjulang. Hal itu dapat dibuktikan dari
banyaknya lembaga pendidikan formal dan masifnya penerapan kurikulum
yang beragam. Semuanya tentu memiliki tujuan yang mulia adalah
mencerdaskan anak bangsa. Terlepas dari hal
tersebut, di era modern kini, seharusnya NU menjadi role model bagi
pendidikan di Indonesia. Itu dapat dilakukan NU dengan menampilkan
perbedaan pada sistem pendidikan nasional, misalnya NU lebih
mengunggulkan perpaduan metode salaf dan metode modern di semua lembaga
pendidikan yang dinaungi NU.
Pada praktiknya
penulis menyebutnya sistem ini dengan bahasa “NU PASSION SCHOOL (NPS)”.
Konsep NPS adalah mendidik dengan karakter dan akhlakul karimah
berdasarkan fikrah dan harakah yang tertuang dalam Aswaja-nya NU. Menurut
penulis, konsep ini dinilai tepat karena pendidikan sebagai elemen
dasar dalam pembentukan kepribadian yang baik seejak dini. NPS yang
penulis tawarkan lebih fokus Pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jika
konsep ini berkembang secara baik, tentu dapat dilanjutkan kepada
tingkatan yang lebih tinggi seperti SD atau SMP. Siswa
PAUD yang memiliki usia 3-5 tahun adalah waktu yang pas untuk ‘merekam’
semua pelajaran terutama tumpuan pendidikan dasar seperti akidah
Ahlussunnah Waljamaah. Pada kesempatan itu, NU bisa leluasa mengenalkan
pemikiran dan pergerakan keagamaan persfektif NU. Sehingga, setelah
dewasa nanti, siswa akan tetap berpegang teguh pada pemikiran dan
ideologi yang sejalan dengan Nahdlatul Ulama.
Kurikulum
muatan lokalnya bisa menggunakan tradisi tradisi NU yang tidak
dilakukan PAUD pada umumnya. Bisa di telusuri di lapangan, saat ini
sistem pendidikan PAUD di Indonesia lebih senang dengan konsep yang
kurang religious lagi.
Kebanyakan PAUD di
Indonesia, memberikan materi ajar sambil bermain saja, dengan rincian
materi secara umum tidak menjurus kepada nilai nilai kebangsaan,
ke-islaman dan ke-Indonesiaan. NPS ini memberikan
materi ajar sambil bermain menggunakan konsep modern berbasis NU, contoh
anak anak dibiasakan baca shalawat nabi sebelum dan sesudah belajar,
dibiasakan melakukan tradisi ke-NUan seperti ber-ziarah, tata cara
shalat yang sesuai dengan ajaran Aswaja dan memberikan pemahaman dasar
Ahlussunnah waljamaah. Sehigga mereka akan
terbiasa melakukan tradisi NU, penulis masih yakin mempersiapkan
generasi NU harus dimulai sejak dini dengan begitu NU akan kuat secara
gerakan dan pemikiran.
Selanjutnya, konsep NPS
yang ditawarkan penulis, penguatan jiwa nasionalisme dapat dipupuk
secara luas, misalnya siswa/sisiwinya di berikan materi ajar tentang
empat pilar kebangsaan dan pengenalan tokoh tokoh nasional, lagu-lagu
nasional, lagu-lagu daerah, dan mendoktrin bahwa Indonesia adalah
Indonesia bukan Suriah, bukan pula Amerika. Termasuk penggunakan bahasa
nasional yakni Bahasa Indonesia sebagai bahasa Tanah Air.
Di
usianya yang masih sangat produktif, siswa siswa PAUD dengan konsep
NPS, akan diberikan penguatan nasionalisme seperti bernyanyi lagu-lagu
Kebangsaan Indonesia Raya, story telling kisah para pahlawan, menonton
film perjuangan, pentas drama, baca puisi, dan sebagainya.
Cara
mengajarkan anak semangat nasionalisme religius tidak perlu dengan cara
yang dogmatis. Seorang anak akan lebih mudah menerima pesan dengan cara
penyampaian yang menyenangkan.
Jika semangat
nasionalisme religius ini secara konsisten ditanamkan sejak anak-anak
hingga menjadi dewasa maka ia akan tertanam dalam sanubari. Dengan
begitu generasi muda kita tidak akan mudah terpedaya oleh rayuan
ideologi yang justru akan merusak bangsa. Untuk itu, NU Passion School
menjadi solusi atas dinamika pendidikan yang ada saat ini. Sebab NPS
adalah model kurikulum pendidikan yang memuat semangat nasionalisme
religius secara berkesinambungan.
Bagi penulis,
Islam yang moderat dan nasionalisme sangat penting terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai wujud pengabdian dan kecintaan terhadap
bangsa sendiri. Dengan demikian, generasi muda NU dapat menjaga
keutuhan bangsa, persatuan bangsa, dan dapat meningkatkan martabat serta
citra positif bangsa dan agama. (*)
Penulis adalah Alumni Program Studi Pendidikan Dasar Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UNJ) Jakarta 2018, Ketua Bidang Pendidikan dan Kepemudaan Pengurus Besar PMII Puteri (KOPRI PB PMII) Sumberhttps://www.nu.or.id/post/read/105602/hardiknas-momentum-penguatan-nu-passion-school-nps-bagi-pendidik-indonesia-
Tinggalkan Balasan