Daily Archives: Mei 13, 2019
Misteri Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid Sunan Ampel Yang Meninggal 9 Kali
Masjid Ampel mempunyai cerita tersendiri dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Masjid peninggalan Sunan Ampel yang terletak di Surabaya ini menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam dan merupakan salah satu Masjid tertua di Indonesia.
Banyak cerita unik di seputar masjib Ampel ini, Mbah Bolong yang bisa melihat ka’bah hanya melalui lubang yang dia buat di pemgimaman masjid tersebut. Dan salah satu yang paling terkenal adalah cerita Mbah Sholeh, tukang sapu masjid yang meninggal 9 kali. 9 makam yang terletak di samping Masjid Ampel pun kesemuanya merupakan makam Mbah Sholeh.
Dilansir dari hello-pet.com, Mbah soleh ini dulunya adalah seorang santri Sunan Ampel yang paling rajin. Sifat rajinnya ini ditunjukkan dengan selalu membersihkan masjid setiap waktu. Mbah Sholeh memang sangat terkenal sebagai sosok yang biasa menjaga kebersihan. Hal itu banyak diakui teman sesama santri dan juga Sunan Ampel, gurunya sendiri. Bisa dikatakan Mbah Sholeh ini adalah tukang sapu masjid Ampel ini.
Hingga akhirnya Mbah Sholeh meninggal dan kemudian beliau dimakamkan di samping masjid. Setelah meninggalnya Mbah Sholeh, masjid jadi kurang terurus dan agak kotor, karena tidak ada sosok santri yang bisa serajin Mbah Sholeh. Sampai pada suatu malam Sunan Ampel teringat kepada sosok Mbah Sholeh
“Kalau Mbah Sholeh masih ada, masjid pasti bersih,”
Tiba tiba tidak lama muncul sosok serupa Mbah Sholeh dan menjalankan rutinitas yang tiap hari dilakukan Mbah Sholeh. Dan masjid milik Sunan Ampel kembali terawat dan bersih. Tapi tidak lama sosok serupa Mbah Sholeh ini meninggal dan dimakamkan di samping Mbah Sholeh sebelumnya. Dan terulang lagi dan lagi hingga sembilan kali.
Peristiwa tersebut terulang hingga sembilan kali. Menurut cerita, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel wafat. Setiap meninggal, Mbah Sholeh selalu dimakamkan di samping makam yang sebelumnya. Karena meninggal hingga 9 kali, maka makamnya yang ada di samping Masjid Ampel pun ada 9. Sumber https://www.kompasiana.com/yokowidito/55c2242961afbd5309c9cbf7/misteri-mbah-sholeh-tukang-sapu-masjid-sunan-ampel-yang-meninggal-9-kali
Kisah Karomah Kiai Shaleh Darat yang Diperlihatkan kepada Belanda
Muhammad Shaleh ibn Umar Al-Samarani atau Kiai Shaleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820/1235 H.
Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Al-Samarani.
Pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang, yakni tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa.
Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang.
Ayahnya yaitu KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Kiai Shaleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, ia banyak berjumpa dengan kiai-kiai mashur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya.
Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah KH M Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di zaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18.
Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.
Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti.
Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kiai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni.
Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.
Kemudian Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan lain-lain.
Karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Mekkah.
Selama di Mekah ini beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya.
Beliau kemudian mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang dan karenanya beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat.
Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu.
Menurut beliau inti alquran adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH. Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Shaleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo.
Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Di
pesantren inilah lahir ulama-ulama seperti, Hadratus Syekh Hasyim
Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Mahfuz Termas yang pakar
hadis dan pendiri Pesantren Termas Pacitan.
Kemudian Kiai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, Kiai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kiai Haji Bisri Syamsuri, Kiai Haji Dalhar.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa.
Menurut catatan cucu Kiai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini.
Beliau menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.
Sebagai Wali Allah Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).
Meski meninggal di bulan Ramadhan, Haul Mbah Shaleh Darat diperingati setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di kompleks pemakaman Bergota, Semarang.
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil.
Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.
Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat.
Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.
Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu.
Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.
Kiai Shaleh Darat wafat di Semarang pada hari Jumat Wage tanggal 28 Ramadan 1321 H atau 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum ‘Bergota’ Semarang. dalam usia 83 tahun. Sumber https://daerah.sindonews.com/read/1119737/29/kisah-karomah-kiai-shaleh-darat-yang-diperlihatkan-kepada-belanda-1466879711
KISAH HARU MBAH YAI SYAFA’AT DENGAN KYAI HAMID PASURUAN
Pernah suatu ketika saat saya berbincang-bincang dengan salah satu wali santri PP. Darussalam Blokagung Banyuwangi warga asrama Al-Hikmah. Santri itu bernama kang Ilman. Saat itu tanpa sengaja karena terdapat sebuah masalah akhirnya kita berbincang-bincang panjang.
Tidak tahu bagaiman ceritanya wali santri tersebut berceritia banyak tentang pengalamannya saat mondok. Wali santri itu bukan Alumni Blokagung. Saya sudah lupa nama pondoknya, tapi sejauh yang saya ingat ia berkata pernah nyantri di pesantren Jakarta.
Dia bercerita banyak sekali tentang uswah-uswah para kiai dalam memberikan percontohan kepada para santri dan masyarakatnya. Terngiang-ngiang saat itu dia berkata kepada saya, “mungkin ini bisa dijadikan sedikit cerita hikmah yang bisa diambil manfaatnya, mas!.” Saya senang sekali mendengar hal itu. Karena saya merasa mendapat mutiara ilmu yang tiba-tiba datang sendiri kepada saya.
Setelah cukup lama wali santri asal jember itu bercerita tentang sosok kyai yang ia kenal di pondoknya, barulah kemudina ia bercerita tentang kisah KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saya keget saat dia berkata ada cerita tentang kiai yang sangat tidak asing lagi bagi saya, yakni KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur. Menarik sekali. Apalagi ada hubungannya dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan yang dikenal dengan kealiman, kezuhudan dan kewaliannya. Masya Allah. Saya benar-benar tidak sabar menunggu bagaimana ceritanya.
Bapak dari kang Ilman Santri Blokagung itu, menceritakan tentang Ketawadhu’an KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan. Sempat bingung sih, kenapa dia bisa punya cerita Kyai Mukhtar Syafa’at dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan? Tapi ternyata hal itu pun sedikit terjawab karena ternyata istrinya adalah santri dari KH. Abdul Hamid Pasuruan. Pantas saja dia punya cerita itu.
Begini Ceritanya:
Suatu hari ada sebuah halaqoh/perkumpulan yang mengundang kyai-kyi besar di Pasuruan. Termasuk yang hadir dalam perkumpulan itu adalah KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur Blokagung Banyuwangi dan KH. Abdul Hamid pasuruan.
Di tempat halaqoh tersebut, setelah banyak orang yang datang dan berkumpul, tibalah sosok kiai karismatik dari Pasuruan yang karib di panggil Kyai Hamid itu, langsung disambut dengan hormat oleh tuan rumah. Selang beberapa saat kemudian setelah Kiai Hamid menunggu di dalam, barulah menyusul sosok Kyai Blokagung yang oleh masyarakat dan santrinya karib dipanggil Mbah Yai, yakni KH. Muktar Syafa’at Abdul Ghofur.
Kedatangan Mbah Yai disambut sama dengan tamu-yang lain. Namun, ada satu tindakan yang tidak sama dilakukan oleh tamu-tamu yang lainnya, saat Mbah Yai ingin masuk dalam halaqoh tersebut, pandangannya tertuju pada sepasang sandal yang berada di antara ratusan sandal-sandal. Sepasang sandal itu terlihat menghadap lurus dengan tempat halaqoh yang berada di dalam. Mbah Yai tiba-tiba langsung mengambil sepasang sandal itu dan kemudian membaliknya dengan tujuan agar orang yang punya sandal tersebut bisa dengan mudah menggunakannya saat keluar. Dan Masya Allah, dari puluhan bahkan mungkin ratusan sandal yang ada disitu, ternyata yang diambil oleh Mbah Yai adalah sandal milik KH. Abdul Hamid Pasuruan.
***
“Kok
mbah yai bisa taahu..! Padahal Mbah Yai datang sudah terlambat. Dan
sandalnya Kyai Hamid sudah sangat sulit untuk ditentukan karena sudah
bercampur dengan ratusan sandal yang lainnya. Secara nalar ndak mungkin
bisa tahu ini sandal siapa. Kecuali mereka yang setiap hari bertemu
langsung dan paham dengan sandal Kiai Hamid. Dan lagi Mbah Yai datangnya
juga terlambat,” itulah kurang lebih bahasa yang disampaikan wali
santri kepada saya seraya meyakinkan ketidak masuk akalan kejadian itu.
“Inilah kehebatan Mbah Yai, la ya’riful waali illal waali, tidak ada seseorang yang tahu kewalian seseorang, kecuali seorang wali,” tandasnya mantap.
***
Namun
belum di sini kejadian tidak masuk akal itu terhenti. Tapi, di sinilah
kejadian yang lebih menakjubkan lagi yang sangat tidak masuk akal. Saat
kedua sandal Kiai Hamid selesai diputar berbalik arah oleh Mbah Yai,
tiba-tiba sepasang sandal itu bergerak memutar kembali dengan sendirinya
Ke arah semula. Masya Allah. Melihat kejadian itu, Mbah Yai dengan
cepat memutar sepasang sandal Kiai Hamid ke arah berlawanan dengan
membaliknya kembali dengan tujuan yang sama. Namun, kejadian serupa
terjadi lagi, yakni sandal Kiai Hamid yang sudah di balik oleh Mbah Yai
kembali berputar seperti semula. Dan hal itu terulang sampai 3 kali.
Terakhir saat Mbah Yai ingin membalik untuk yang keempat kalinya,
tiba-tiba keluar dengan bergegas dari dalam majlis sosok berwibawa yang
sekarang dikenal waliyullah yakni KH. Abdul Hamid. Tidak ada yang
memberi tahu apa yang dilakukan Mbah Yai di luar saat itu kepada Kiai
Hamid, karena Beliau sudah ada di dalam bersama para tamu yang lain.
Tapi, Kyai Hamid tiba-tiba datang dan langsung mencegah Mbah Yai yang
ingin membalikkan sandalnya seraya memegangi ke dua pundak Mbah Yai dan
memeluknya sambil berkata “ampon ngooooten kyai…ampon ngoooooten kyai”
seakan Kiai Hamid merasa malu menerima perlakuan Mbah Yai kepadanya. Dan
selanjutnya Kyai Hamid sendirilah yang mengantarkan Mbah yai masuk ke
dalam majlis itu.
SUBHANALLAH. Inilah uswatun hasanah ketadziman dan ketawadhu’an Mbah Yai kepada sosok alim yang dikenal waliyyullah itu, yakni KH. Abdul Hamid Pasuruan. Dengan kewalian dan segudang ilmunya, Mbah Yai masih tetap mengutamakan akhlaq kepada orang alim. Namun di sisi lain, saat melihat kejadian sandal yang tiba-tiba bergerak berbalik seperti semula, seakan sosok Kiai Hamid pun tidak merasa pantas untuk diperlakukan seperti itu oleh sosok kiai dari Banyuwangi yang sekarang dikenal dengan laqob Imam Ghozalinya Tanah Jawa, itu. Terbukti saat Mbah Yai ingin membalikkan sandal Kyai Hamid untuk yang ke 4 kalinya, dengan bergegas Kiai Hamid mencegah sendiri Mbah Yai dengan memegang pundaknya dan merangkulnya sambil berucap “ampon ngooooten kyai…ampon ngoooten kyai (jangan seperti itu kyai….jangan seperti itu kyai)” sampai dua kali, kemudian mengantarkannya masuk ke dalam halaqoh tersebut.
Masya Allah, indah sekali kejadian itu. Mudah-mudahan kita semua selalu mendapatkan limpahan berkah dari ke dua Waliyyullah tersebut KH. Abdul Hamid Pasuruan dan KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur Blokagung Banyuwangi. Amin. Amin. Amin. Ya Rabbal Alamin. Al-Fatihah! Sumber http://blokagung.net/10030/kisah-haru-mbah-yai-syafaat-dengan-kyai-hamid-pasuruan/
(Kisah ini diambil dari catatan Asngadi Rofiq)
5 Rekomendasi Munas Ulama NU: Soal Sebutan Kafir hingga Sampah Plastik
Banjar – Munas Alim Ulama dan Konbes NU telah ditutup. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj membacakan lima poin rekomendasi saat acara penutupan.
Penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU berlangsung di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019). Rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan merupakan keputusan rapat pleno Munas Ulama NU, baik yang berkaitan dengan agama maupun organisasi.
Poin pertama yaitu istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim bukan kafir.
Said Aqil dalam sambutannya mengisahkan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Makkah untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.
“Tapi ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non muslim di Madinah, di sana disebut nonmuslim tidak disebut kafir,” ucap Said.
Kedua, Said menjelaskan, berdasarkan konstitusi tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali Mahkamah Agung. Sebab Indonesia bukan darul fatwa.
“Kalau ini hasil musyawarah ulama, bukan fatwa. Karena Indonesia bukan negara agama beda dengan negara Timur Tengah yang ada mufti. Namun sejurus dengan itu, tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak beragama. Maka ada kementerian agama, tapi tidak ada darul fatwa,” ujar Said.
Ketiga, terkait dengan fatwa, oleh karena hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan, yang sah mengeluarkan fatwa, maka NU menegaskan tidak satu pun lembaga yang mengatasnamakan dirinya sebagai mufti.
Keempat, mengenai sampah plastik yang sudah jadi permasalahan dunia. Indonesia jadi negara terbesar kedua penyumbang sampah plastik setelah China. Sampah plastik ini disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya masyarakat menyadari bahaya sampah plastik.
“Oleh karena itu penanganan sampah plastik harus memasukkan elemen budaya. Sehingga membangun secara panjang dan prilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari bahaya sampah plastik. Tadi malam juga agak alot orang melanggar hukumnya seperti apa. Kalau tahu sampah plastik dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan, mengganggu kesehatan, dimakan ikan lalu dimakan kita terganggu kesehatannya,” tutur Said.
Hasil Munas Ulama NU yang kelima adalah money game dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) yang mengandung unsur manipulasi, tipu daya, tidak transparan, pihak yang dirugikan, syarat menyalahi prinsip akad Islam, bukan barang tapi bonus, maka hukumnya haram.
“Kalau memenuhi syarat normatif, transparan bonus selain barang maka dihalalkan, ada ulama yang menghalalkan dengan sampai 12 syarat,” terangnya.
Koordinator sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah LBM PBNU Asnawi Ridwan mengatakan dalam komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, hukum membuang sampah sembarangan adalah haram apabila nyata-nyata atau diduga membayakan. Apabila kemungkinan kecil membahayakan maka hukumnya makruh.
“Hukum awal ketika tidak dikaitkan dengan Perda atau Undang-undang pertama haram apabila nyata-nyata atau diduga membahayakan. Makruh apabila kemungkinan kecil membahayakan. Jadi kami mendorong kepada pemerintah, tidak hanya Perda tapi undang-undang yang sifatnya nasional. Maka hukumnya menjadi haram kalau buang sampah sembarangan,” ujar Asnawi Ridwan.
Asnawi menjelaskan hasil komisi ini setuju pemerintah menerapkan sanksi kepada oknum yang membuang sampah sembarangan. Karena prinsip dasar syariat adalah menjaga hak azasi manusia secara umum.
Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4449710/5-rekomendasi-munas-ulama-nu-soal-sebutan-kafir-hingga-sampah-plastik