5 Rekomendasi Munas Ulama NU: Soal Sebutan Kafir hingga Sampah Plastik

Banjar – Munas Alim Ulama dan Konbes NU telah ditutup. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj membacakan lima poin rekomendasi saat acara penutupan.

Penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU berlangsung di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019). Rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan merupakan keputusan rapat pleno Munas Ulama NU, baik yang berkaitan dengan agama maupun organisasi.

Poin pertama yaitu istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim bukan kafir.

Said Aqil dalam sambutannya mengisahkan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Makkah untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.

“Tapi ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non muslim di Madinah, di sana disebut nonmuslim tidak disebut kafir,” ucap Said.

Kedua, Said menjelaskan, berdasarkan konstitusi tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali Mahkamah Agung. Sebab Indonesia bukan darul fatwa.

“Kalau ini hasil musyawarah ulama, bukan fatwa. Karena Indonesia bukan negara agama beda dengan negara Timur Tengah yang ada mufti. Namun sejurus dengan itu, tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak beragama. Maka ada kementerian agama, tapi tidak ada darul fatwa,” ujar Said.

Ketiga, terkait dengan fatwa, oleh karena hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan, yang sah mengeluarkan fatwa, maka NU menegaskan tidak satu pun lembaga yang mengatasnamakan dirinya sebagai mufti.

Keempat, mengenai sampah plastik yang sudah jadi permasalahan dunia. Indonesia jadi negara terbesar kedua penyumbang sampah plastik setelah China. Sampah plastik ini disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya masyarakat menyadari bahaya sampah plastik.

“Oleh karena itu penanganan sampah plastik harus memasukkan elemen budaya. Sehingga membangun secara panjang dan prilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari bahaya sampah plastik. Tadi malam juga agak alot orang melanggar hukumnya seperti apa. Kalau tahu sampah plastik dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan, mengganggu kesehatan, dimakan ikan lalu dimakan kita terganggu kesehatannya,” tutur Said.

Hasil Munas Ulama NU yang kelima adalah money game dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) yang mengandung unsur manipulasi, tipu daya, tidak transparan, pihak yang dirugikan, syarat menyalahi prinsip akad Islam, bukan barang tapi bonus, maka hukumnya haram.

“Kalau memenuhi syarat normatif, transparan bonus selain barang maka dihalalkan, ada ulama yang menghalalkan dengan sampai 12 syarat,” terangnya.

Koordinator sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah LBM PBNU Asnawi Ridwan mengatakan dalam komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, hukum membuang sampah sembarangan adalah haram apabila nyata-nyata atau diduga membayakan. Apabila kemungkinan kecil membahayakan maka hukumnya makruh.

“Hukum awal ketika tidak dikaitkan dengan Perda atau Undang-undang pertama haram apabila nyata-nyata atau diduga membahayakan. Makruh apabila kemungkinan kecil membahayakan. Jadi kami mendorong kepada pemerintah, tidak hanya Perda tapi undang-undang yang sifatnya nasional. Maka hukumnya menjadi haram kalau buang sampah sembarangan,” ujar Asnawi Ridwan.

Asnawi menjelaskan hasil komisi ini setuju pemerintah menerapkan sanksi kepada oknum yang membuang sampah sembarangan. Karena prinsip dasar syariat adalah menjaga hak azasi manusia secara umum.

Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4449710/5-rekomendasi-munas-ulama-nu-soal-sebutan-kafir-hingga-sampah-plastik

Tinggalkan Balasan