Penting Karena Dianggap “Tidak Penting”

Ini berawal dari obrolan ringan di Warung Kopi tentang sesuatu yang paling tidak penting dalam hidup kita. Saya jadi teringat dengan tulisan renyah-inspiratif Syeikh A. Yuriyanto Elga, “Ustadz, Jangan Keburu Terkenal, dong” yang dimuat di basabasi.co pada tanggal 17 September 2015 yang lalu. Apalagi belakangan ini kerap bermunculan Ustadz-Ustadzah “karbitan”; yang mana gelar Ustadz-Ustadzah mereka dapatkan hanya dalam kurun waktu beberapa menit saja. Bahkan, ada pula yang secara blak-blakan minta dianggap sebagai Ustadz. Sungguh, kini gelar Ustadz-Ustadzah menjadi sangat murah harganya; tidak semahal mencari pasangan bagi para kaum Jomblo akut. Ojo baper toh le!

Berangkat dari fenomena tersebut maka obrolan “tidak penting” kami mulai meluas kemana-kemana, bahkan sampai pada pembahasan tentang apakah “sesuatu yang paling tidak penting” dalam hidup kita ini? Setelah ngobrol cukup lama, maka kami pun segera menemukan jawabnya; yakni “kedirian” kita ini. Sebuah “kedirian” yang penuh kemunafikan, keangkuhan, dan kesombongan. Ketiganya tumbuh menjulur seiring dengan semakin merapuhnya “kedirian” itu sendiri.

Pengakuan diri yang berlebih inilah yang  justru membuat diri kita ini semakin tidak penting. Semakin tinggi kita “mengakui” keberadaan kita maka semakin “rendah” pulalah diri ini. Bahkan, tidak jarang kita merendahkan diri kita sendiri dengan kesombongan-keangkuhan yang pembohong; mengaku “berarti” padahal sejatinya “harga diri” kita tidak lebih berharga dari setitik debu jalanan. Mengaku kaya; padahal setiap saat, bahkan setiap detik, kita selalu merasa “kehausan” dan “kelaparan.” Mengaku Ustadz, padahal belajar agamanya baru seumuran jagung. Lebih parahnya lagi orang-orang yang berburu “pengakuan” akan ke-Uztadz-annya.  Hmm, kita mah gitu, suka munafik terhadap diri kita sendiri.

Sederhananya, penting dan tidaknya diri kita tergantung pada pengakuan akan kedirian itu sendiri. Semakin gencar kita mengaku Ustadz, maka semakin tidak Ustads pulalah diri kita. Semakin kita butuh pengakuan akan “kemapanan” diri kita, maka justru semakin tidak mapan lah diri kita. Sebaliknya, semakin kerap kita mengaku hina maka diangkatlah beberapa derajat kemuliaan kita. Tapi, jika kita mengakui akan “kemuliaan” diri,  maka kian menurun pulalah derajat kedirian kita.

Memang sich, agama kita telah menyerukan bahwa “manusia” itu merupakan makhluk paling sempurna daripada makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan. Kita lebih bersih dari cacing, kecoa, dan tikus-tikus penghuni got dan kolong jembatan (kecualai tikus kantoran loh ya, paham?). Kita lebih ganteng dari kera dan orang hutan. Kita lebih licin dari belut yang suka meliut-liut. Kita lebih buas dari srigala. Kita lebih berbisa dari ular yang paling berbisa sekalipun. Juga, kita lebih licik dari para “kancil” si pencuri timun tetangga itu. Ah! malah semakin ngaco. Intinya, kita “lebih” sempurna ketimbang segala makhluk yang pernah diciptakan Tuhan, titik.

Tapi, ada misteri besar dalam diri kita. Misteri besar yang membuat sang manusia senantiasa berada dalam ruang “relativitas” yang abadi. Sebuah misteri yang mampu membuat kita melesat lebih kilat  dari cahaya. Juga, dapat menghempaskan kita ke jurang yang paling dalam, paling gelap, paling pengap, dan paling hina sekalipun. Yah, mungkin serupa Neraka Jahanam; di mana setiap rasa sakit, getir, pahit, dan pilu sedang berbaris membentuk sebuah karapan dan siap memberangus kita, kapan saja, dan tiada henti. Tapi ada yang bilang (saya lupa siapa yang menuturkan), bahwa Neraka yang paling Jahanam itu justru adalah “kedirian” kita sendiri. Kengerian yang sebenarnya adalah ketika kita sampai pada puncak “pengakuan” akan ”kedirian” itu sendiri. Busyet! Kok aku sok jadi bijak gini ya. Usap-usap dada dulu ah, sambil berdo’a “astaghfirullah min qaulin bila ‘amalin.” Ups, sok Ngustadz pula. Hehe.

Sudahlah, terserah kalian anggap saya sok bijak atau sok Ngustadz. Lagi pula anggapan kalian tidak akan merubah “kedirian” yang tidak penting ini menjadi penting. Bahkan, ketika kalian anggap diri saya penting, maka semenjak itu pulalah kalian menjadikan kedirian saya semakin tidak penting. Jika dianggap penting, maka semakin tidak penting. Jika tidak dianggap penting, maka semakin penting. Mbulet. Sudahlah, penting atau tidak penting terserah kalian saja. Yang jelas, saya ingin berkata jujur dan apa adanya. Sebab, saya tak ingin ada dusta di antara kita. Ah, kok jadi alay gini ya.

Mari kita kembali berbicara serius (pakek banget) mengenai suatu “misteri” yang bersarang dalam kedirian kita. Suatu misteri yang membuat kita itu penting, tetapi tidak penting, tapi juga penting sich. Mbuh ah, Mbulet. Menurut Mbah Freud, “kedirian” manusia itu terdiri dari id, ego dan super ego. Ketiganya saling bersitegang dan berhubungan satu sama lain sehingga terbentuklah “kedirian” manusia itu sendiri. Jangan terlalu serius lah membaca kalimat di atas. Percayalah, keseriusanmu tidak ada hubungannya dengan kebahagiaanmu.

Lagi pula Mbah Freud juga tidak serius kok. Sama-sama tidak seriusnya dengan Mbah Marx dan Mbah Hegel yang menyatakan bahwa peradaban itu dibentuk oleh “ketegangan” antara dua kutub yang bertentangan. Ada-ada saja. Maklum lah, keduanya terlahir dari zaman yang serba tegang kok. Mbah Freud, Mbah Marx, Mbah Hegel, dan Mbah-Mbah modernisme lainnya, terlahir dari era dimana setiap orang adalah antithesis  bagi orang lain. Seperti halnya juga perempuan yang dianggap sebagai antithesis dari keberadaan laki-laki. Pantes saja di antara keduanya senantiasa ada “ketegangan.” Apakah ketegangan semacam itukah yang dimaksudkan Mbah-Mbah modernisme tadi? Entahlah, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Ciyee!

Tapi memang benar, mereka lahir dari zaman yang penuh ketegangan. Sebuah zaman yang semakin terkotak-kotak berdasarkan warna dan jenis kelamin. Maka pantes saja jika mereka beranggapan bahwa “ketegangan” sebagai sumber peradaban. Coba saja mereka terlahir satu era—gampangnya satu kampung lah—bersama Nyai Rabi’ah al-Adawiyah, Mbah al-Hallaj, Mbah Jalaluddin Rumi, Mbah Juneid al-Baghdadi, dan Mbah-Mbah pejuang “Cinta” yang lainnya, maka percayalah Mbah Freud, Mbah Marx, dan Mbah Hegel tidak akan menjadi setegang itu.

Ujung-ujungnya mereka hanya akan menjadi penyair yang terbuai dan dimabuk oleh anggur-anggur asmara-Nya.  Merekalah si Majnun; setiap yang mereka jumpai hanyalah “Layla” adanya. Meminjam bahasanya Kuswadi Syafi’ie (Pengasuh PP. Maulana Rumi); “setiap karnaval keberagaman, sejatinya hanyalah monolog Keesaan-Nya.” Sungguh, betapa syahdunya ketika kita melihat Mbah Freud, Mbah Marx, dan Mbah Hegel mabuk cinta. Dimana setiap ketegangan yang saksikan, sejatinya hanyalah keindahan-Nya semata. Setiap perbedaan siang dan malam, Barat dan Timur Loh, kok sampe pada dunia khayalan segala? Fayah.

Begini saja, selama ini kita terlalu sibuk mengakui “kedirian” kita sebagai sesuatu yang penting. Padahal, sebatas pengakuan akan “keberadaan” diri kita saja itu sudah tidak penting. Apalagi mengakui diri kita sebagai “orang penting,” maka semakin tidak penting diri kita. Serupa halnya dengan Mbah-Mbah modernisme di atas, semakin sibuk mereka mengakui “keberadaannya” maka semakin tidak “penting” pulalah keberadaan mereka. Sebaliknya, ketika si Majnun semakin kehilangan “kediriannya,” justru saat itulah ia berada dalam momen yang paling penting. Terjerembab dalam samudera keberadaan-Nya, satu-satunya hal yang paling penting. Tidak ada yang lain. Titik.

Dalam momen seperti ini, maka semakin habislah segala bentuk “pengakuan” kedirian yang munafik dan alegoris. Pengakuan-pengakuan yang selama ini telah menggerogoti kedirian kita menjadi diri yang parsial, pragmatik, materialistik, empirik, rasional, dan berhala-berhala modernisme lainnya. Memang begitulah pengetahuan modern, menggiring kita semakin jauh dan terasing dari kedirian yang sebenarnya; yakni “kedirian” yang sepenuhnya hanyalah Kedirian-Nya. Bahwa, segala sesuatu yang berbeda (dianggap bertentangan) hanyalah Keindahan dan ke-Esaan-Nya semata.  Wallahu a’lam bis-shawab.

Oleh: Ahmad Faidi (Nelayan di Samudera-Nya)

Tinggalkan Balasan