MELACAK JEJAK SEJARAH CIKAL BAKAL DESA SURUH (Peran Kyai dalam membangun peradaban di Desa Suruh)

Suruh merupakan salah satu Desa yang masuk di Wilayah Kabupaten Semarang – Jateng, terletak 33 KM dari pusat ibukota Kabupaten. Desa Suruh merupakan ibukota pemerintahan Kecamatan Suruh yang membawahi 17 Desa.
Diyakini sebelum abad 15 M disekitar desa Suruh saat ini sudah ada peradaban yang ditandai dengan berdirinya beberapa Desa disekitar Desa Suruh, namun khusus Desa Suruh maka peradaban secara teratur mulai terbentuk setelah adanya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yaitu perjanjian yang dilakukan antara Sri Susuhunan Paku Buwono III Raja Surakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono 1 (Pangeran Mangkubumi) Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dan dengan Pangeran Sambernyowo (KGPA Mangkunegaran 1), perjanjian ini adalah bagian penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan kerajaan Mataram Islam.
Dalam perjanjian itu adalah pembagian wilayah untuk kekuasaan Pangeran Sambernyowo dan merupakan episode lanjutan dari adanya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang menandai pecahnya kekuasaan wilayah Kerajaan Mataram Islam.
Perjanjian Gianti maupun perjanjian Salatiga tidak lepas dari adanya campur tangan VOC dan perjanjian Salatiga tersebut berlangsung di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang sekarang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.
Setelah berlangsung Perjanjian Salatiga tersebut maka diceritakan ada salah satu Ulama berdarah Ningrat yang bersimpati dengan Perjuangan Pangeran Sambernyowo dan tidak sependapat dengan campur tangan Belanda didalam melakukan manuver pecah belah karena VOC sudah sedemikian jauh mengurusi urusan pemerintahan di Keraton Surakarta Hadiningrat bahkan dikisahkan Sri Susuhunan Paku Buwono III yang melantik adalah pihak Belanda karenanya merupakan raja Mataram pertama yang dilantik oleh pihak Belanda
Ulama dari golongan bangsawan tersebut melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara memilih keluar dari pusat Ibukota dan memilih hijrah untuk mencari wilayah lain guna menghindari hiruk pikuk konflik politik di pusat pemerintahan Surakarta Hadiningrat, salah satu Ulama dimaksud adalah Raden Setiyo Manggolo, yang merupakan murid dari Kyai Mas Ngabehi Astra Wijoyo atau sering disebut Kyai Encik Domo yang merupakan salah satu Ulama sekaligus Punggawa di Wilayah Kadipaten Semarang yang pada saat itu masuk wilayah dibawah kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat waktu itu.
Dikisahkan Raden Setiyo Menggolo hijrah bersama putra keduanya yang bernama Raden Aji Manggala Putro yang diikuti oleh 2 Punggawa setia yaitu Raden Gus Kento Sastra dan Raden Gus Kento Sahab serta beberapa abdi dalem dan para santri tentunya
Dalam perjalanan mencari tempat tinggal baru tersebut maka sampailah di salah satu hutan kecil arah timur umbul Senjoyo atau Desa Tingkir yang saat itu sudah terbentuk peradaban yang cukup ramai, setelah berada di daerah inilah maka kemudian Raden Setiyo Manggolo bersama para pengikutnya membabat hutan kecil dan membangun pemukiman yang selanjutnya diberi nama Desa Suruh.
Diyakini rumah prabon tempat tinggal Raden Setiyo Menggolo beserta keluarganya sekarang terletak di Dusun Pandean, sedang Punggawa Raden Gus Kento Sastra bermukim di daerah sekarang masuk Dusun Kauman dan Punggawa Raden Gus Kento Sahab bermukim sekarang masuk Dusun Banggirejo sementara para abdi dalem dan santri membuat rumah Magersari di sekitar ndalem poro ndoronya masing masing
Untuk menarik minat para penduduk sekitar agar mau bermukim di Desa Suruh maka dibuatlah jalan jalan tembus yang menghubungkan dengan desa desa sekitar, setalah cukup banyak penduduk yang bermukim di Desa Suruh maka untuk lebih meramaikan Desa selanjutnya Raden Setiyo Manggolo membuat kios / warung yang dalam perkembangannya menjadi pusat perniagaan yang sekarang menjadi Pasar Suruh.
Setelah penduduk yang bermukim semakin banyak maka sebagai media Dakwah Raden Setiyo Menggolo bermaksud mendirikan masjid yang pada awalnya akan dibangun disekitar rumahnya di Dusun Pandean, namun setelah berkonsultasi dengan gurunya yaitu Kyai Mas Ngabehi Encik Domo maka sesuai dengan petunjuk gurunya tersebut pada akhirnya disepakati Masjid Besar Suruh dibangun di Dusun Kauman sekarang karena disekitar wilayah tersebut terdapat umbul air atau sendang Naga Ngakak yang airnya dapat dipergunakan untuk keperluan Masjid.
Dikisahkan sebelum Pembangunan Masjid selesai ternyata Raden Setiyo Menggolo meninggal dunia maka pada akhirnya kepemimpinan Desa Suruh diambil alih oleh Kyai Mas Ngabehi Encik Domo atau R Ng. Astra Wijoyo, termasuk Putra mendiang Radrn Setiyo Menggolo yaitu Raden Aji Menggolo Putro diasuh pula oleh Kyai Encik Domo.
Oleh Kyai Encik Domo pembangunan masjid dimulai yang berdasarkan tarikh (sejarah) yang tertuang dalam piagam berhuruf Pegon Arab ditandatangani oleh Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo yang sampai saat ini masih terpasang pada dinding masjid, maka Masjid Besar Suruh diresmikan pada Hari Ahad (Minggu) delapan belas hari, bulan Muharam tahun Bi Hijratan Nabi Shollahhu Alaihi Wasallam 1232 H atau bertepatan tahun 1816 Masehi.
Masjid Besar Suruh oleh Kyai Astro Widjojo benar benar dipergunakan untuk media syiar Agama Islam sekaligus difungsikan sebagai pusat untuk mengatur pemerintahan Desa Suruh. Kyai Encik Domo sebagai pemimpin Desa Suruh didampingi oleh Gus Raden Kentho Sastro selaku Wakilnya maupun Raden Gus Kentho Sahab selaku pamong pemerintahan.
Sebagai seorang ulama maka Kyai Encik Domo menggunakan cara yang luhur dan santun didalam mendidik umat karenanya dikisahkan untuk pengelolaan Pemerintahan melalui Masjid maka pada saat itu sudah dilakukan manajerial yang sedemikian sistematis dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang dapat dijalankan dengan penuh amanah oleh masing masing penerima tugas misalnya Raden Gus Kento Sastro (Mbah Wakil) bertugas untuk mengadakan tarikan restribusi pasar yang saat itu berupa hasil yang diperdagangkan, hasil yang diperoleh dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan sekaligus untuk kesejahteraan umat sedangkan Raden Gus Kento Sahab bertugas untuk mencerdaskan kehidupan seluruh warga Desa Suruh.
Untuk mempercepat proses pembangunan maka Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo mendatangkan ahli pertukangan kayu yang ditempatkan di Dusun Mesu, ahli kuningan ditempatkan di Dusun Kauman, ahli gerabah ditempatkan di Dusun Morangan, ahli peralatan pertanian dan kemasan ditempatkan di Dusun Pandean, selanjutnya para ahli ahli tersebut bertugas mengajarkan keahlian yang dimilikinya tersebut kepada penduduk Desa Suruh.
Sepeninggal Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo maka santri sekaligus anak angkatnya yaitu Raden Aji Manggolo Putro meneruskan pemerintahan Desa Suruh, yang dikisahkan selain waskita dengan ilmu keagamaan yang tinggi maka Raden Aji Menggolo Putro juga mahir dalam ilmu tata pemerintahan sehingga dibawah kepemimpinannya maka Desa Suruh berkembang dengan sistem yang sangat baik pada era itu, secara prinsip kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Desa Suruh waktu itu dapat terlihat dari sisa sisa bangunan maupun planologi tata ruang desa suruh yang bisa kita pelajari hari ini.
Diyakini jika Raden Aji Menggolo Putro didalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dengan pendekatan roso dan simbolik yang menjadi ciri orang Jawa, syiar Islam tidak melalui dalil dalil yang kaku, kompleksitas dalil dalam Kitab Al Qur’ an, Hadist, usul Fiqh, Furu’i dll diterjemahkan dengan penyampaian yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh umat, karenanya hasil yang didapat adalah predikat Desa Suruh dari dahulu terkenal sebagai basis Agama dengan penduduk yang sangat relegius.
Raden Aji Menggolo Putro setelah memiliki kematangan ilmu keagamaan maka kemudian mengganti namanya menjadi Kyai Abdul Karim dan menurut penuturan sumber nasabnya Kyai Abdul Karim atau Raden Aji Mangala Putra memiliki keturunan yaitu empat orang yaitu Hasan Arif, Muhammad Qirom, Muhammad Muchsin dan Roro Sireng yang kesemuanya hingga saat ini telah melahirkan generasi turun temurun menjadi Penduduk Desa Suruh dan sebagian diantaranya juga menyebar ke beberapa daerah dengan membawa nasab genetik keturunan Raden Setiyo Menggolo dan Raden Aji Menggolo Putro alias Kyai Abdul Karim.
Kehalusan budi pekerti, tauladan serta kebijaksanaan memimpin yang dilakukan oleh Kyai Abdul Karim maka perlahan namun pasti telah membentuk kebudayaan dan peradaban yang Adi luhur di Desa Suruh, karenanya warisan kebudayaan yang melekat menjadi kearifan lokal tersebut harus dilestarikan oleh Warga Suruh meski juga harus mengikuti perkembangan zaman kekinian yang serba digital.
Susunan puzzle jejak sejarah Desa Suruh ini kami susun dalam Tabaruk ilmi dengan KH Abdul Karim yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al Mansyur, Gundi Suruh seusai rapat Pengurus Ranting NU Desa Suruh di Ponpes HIKMATUL FATHILAH Watu Agung Suruh.
Kepekatan kabut malam menjadi saksi guyuran wejangan Romo Yai Abdul Karim sehingga mampu menggugah kesadaran dan semangat sahabat sahabat Ansor Banser Anak Cabang Suruh untuk melestarikan keluhuran budaya yang diwariskan oleh leluhur cikal bakal Desa Suruh yang merupakan seorang Kyai atau Ulama
Petuah Romo Yai Pengasuh Ponpes Al Mansyur tersebut beringsut masuk kedalam sanubari rohani para Sahabat Ansor Banser Suruh bersamaan dengan nikmatnya kopi hitam yang kami seruput setelah kami tuang sendiri dari ceret berwarna perak.
Kepulan asap rokok filter yang di hisap oleh Rois Syuriah Ranting NU Suruh tersebut laksana hizib yang membawa berkah semangat bagi semua sahabat Ansor Banser Suruh yang hadir saat itu untuk meneguhkan tekad meneruskan perjuangan para ulama cikal bakal Desa Suruh.
Semoga keberkahan dan petuah ilmu yang diberikan oleh Romo Yai Abdul Karim dapat menjadi pemantik bagi bersatunya kesadaran Para Penduduk Suruh untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik untuk memulai hari hari pada tahun 2020 ini.
Matur nuwun Yai atas segala curahan illmunya semoga membawa Barokah bagi semua
Lahul Fatihah
Watu Agung Suruh, 2 Januari 2020. 01. 45 WIB
Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)
Tinggalkan Balasan