Merangkai mimpi Menggagas Gerakan Intelektual Profetik bagi anak Muda Nahdliyin


Adakalanya diskusi akan menghasilkan kesadaran baru atas sebuah kegelisahan yang tertoreh karena gerak akal untuk menemukan format baru sebagai sebuah problem solver

Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan – keagamaan bila dilacak latar belakang berdirinya maka dahulu dilakukan oleh para Khaira Ummah dengan pemrakarsa salah satunya adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, Khaira Ummah tersebut merupakan inspirator dalam gerakan amar ma’ruf nahi munkar, latar belakang ini tidak dapat dilepaskan dari aspek fundamental yaitu gerakan pemikiran melalui Taswirul Afkar atau konseptualisasi pemikiran dengan salah satunya tujuannya adalah Nahdlatul Wathon atau kebangkitan tanah air.

Dalam prosesnya maka Jam’iyah Nahdlatul Ulama ikut berperan secara nyata dalam proses pembentukan tanah air dan ketika Negara berdaulat (NKRI) sudah terbentuk maka NU secara kongkrit berperan aktif dalam mengisi dan menjaga kemerdekaan yaitu merealisasian gerakan mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara yang merupakan manifestasi dari gerakan pemikiran – Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran), gerakan ekonomi – Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para usahawan), dan gerakan pendidikan – Madrasah Nahlatul Wathon (kebangkitan tanah air), karenanya bagi NU berlaku semboyan bahkan dapat dikatakan berlaku pula sebagai hizib (doa) yang ampuh yaitu Hubbul Wathon Minal Iman

Gerakan Taswirul Afkar atau konseptualisasi pemikiran merupakan tradisi intelektual NU untuk melakukan konvergensi berbagai pemikiran dan metode, sehingga dalam tradisi itu tidak melahirkan cara pandang pemikiran yang monolitik dan tertutup bagi kritik untuk itu hingga saat ini NU masih tetap berkomitmen untuk menjadi salah satu benteng paling kokoh dalam melestarikan dan mempertahankan nilai kebangsaan, bagi NU segala persoalan kebangsaan ditelaah dan dicarikan jalan keluarnya secara terbuka dengan menggunakan hujjah (landasan pemikiran) yang solid dan koheren.

Laju perkembangan zaman adalah keniscayaan, globalisasi bak kereta cepat yang tak bisa dihentikan karenanya dibeberapa aspek menimbulkan implikasi secara positif maupun negatif – manfaat dan mudharat, namun demikian mau tidak mau harus dilewati bersama, segala persoalan sosial, politik dan budaya harus dapat disikapi secara tepat dengan menggunakan pisau analitik yang komprehensif.

Gerakan Taswirul Afkar menjadi hal yang perlu dilakukan pada saat ini oleh anak muda yang berafiliasi dengan Jam’iyah NU, segala problematika keumatan dan kebangsaan tetap menjadi tantangan baru untuk dapat dipecahkan karenanya diperlukan kesadaran, kepahaman, dan pemikiran yang merupakan buah dari gerak akal yang disebut dengan intelektual namun demikian gerak akal ini harus dipertautkan secara seimbang dengan gerak spriritual yang merupakan bagian inti yang merupakan ciri dari corak fikroh dan Harokah NU.

Gerak akal yang linier dengan gerak spiritual merupakan padanan lain dari apa yang kemudian disebut dengan Intelektual Profetik yaitu kecerdasan intelektual dan spiritual dengan misi mentransformasikan wahyu/ spritual dalam kehidupan sosial. Intelektual profetik merupakan wujud penyandingan antara ilmu dan agama, antara saintifik dengan teologis, antara orientasi dunia dan akhirat, antara keinginan manusia dengan kehendak langit, yang semuanya bermuara pada hasil penalaran akal dan penalaran spiritual.

Intelektual profetik adalah lawan dari pemikiran sekuler dan merupakan bentuk perlawanan atas hagemoni filsafat barat yang cenderung sekuler karena hanya gerak akal yang menjadi landasanya, salah satu problem kebangsaan saat ini adalah intoleransi oleh beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama, padahal dapat dipahami jika Bangsa ini adalah bangsa yang plural dengan keberagaman suku, etnis, budaya maupun agama, untuk itulah menjadi tantangan bagi anak muda NU untuk ikut berpartisipasi mencari alternatif penyelelesaian.

Dampak dari membanjirnya arus informasi dan komunikasi juga menyisakan persoalan yang sangat komplek termasuk gaung milinialisme dengan jargon revolusi industri 4.0 menjadi sebuah tuntutan yang harus direspon oleh Jam’iyah NU karenanya gerakan Intelektual Profetik menjadi sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh kalangan muda Nahdliyin.

Gagasan Intelektual Profetik bisa menjadi pisau gerakan bagi anak muda Nahdliyin untuk menemukan aspek inter-relasi sosial, bagaimana seorang individu/kelompok memandang sebuah perbedaan, karenanya toleransi adalah kunci untuk hidup berdampingan, namun tetap menjaga batas-batas aqidah agar tak terjebak pada toleransi (pluralisme) sesat.

Di kalangan NU maka santri sebagai kawulo muda Nahdliyin sejak dini harus diajarkan tentang fikrah seorang muslim yang harus memiliki sikap eksklusif, tetapi dalam konteks interaksi sosial tetap mengedepankan inklusifitas universal dalam upaya dakwah dan penerapan akhlaq, dengan demikian secara akal akan tetap terjaga sinergi berkesinambungan dan secara spritual juga tetap terjaga aqidah dan beberapa konteks-konteks lain yang merupakan ruang dialektis untuk menerapkan paradigma Intelektual Profetik hal ini adalah salah satu jawaban untuk menekan sikap primodialisme yang menghambat respon perkembangan zaman yang menjadi sebuah tuntutan.

Pokok pokok gagasan yang menyisakan asa atas mimpi mimpi idealisme anak muda NU Salatiga tersebut tercerahkan dalam diskusi sambil klepas klepus dengan suguhan kopi hitam dan satu tenggok penuh buah salak yang di suguhkan oleh Gus Hanif Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Tuntang, Kab. Semarang.

Dalam silaturahmi dengan KH. Muhamad Hanif, M. Hum atau biasa disapa Gus Hanif maka kami mendapatkan banyak pencerahan atas kegelisahan kami sebagai anak muda NU. Gus Hanif merupakan putra bungsu dari alm. KH. Mahfud Ridwan yang sudah tidak dapat diragukan lagi kompetensinya sebagai seorang Kyai karena sanad keilmuan, spritualitas, komitmen kebangsaan maupun repotasi beliau dalam upaya mendidik dan membimbing umat sampai akhir hayatnya.

Sepeninggal KH. Mahfud Ridwan maka Pondok Pesantren Edi Mancoro dilanjutkan oleh Gus Hanif dimana Gus Hanif yang notabenenya masih muda namun memiliki gagasan yang visioner dan mampu mengimplementasikan program yang inovatif dalam pengelolaan Pondok Pensanten, sehingga oleh Gus Hanif untuk melanjutkan perjuangan dan gagasan besar ayahandanya maka beliau menjadikan pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai tempat bertemunya banyak penganut agama untuk mengimplentasikan Pluralisme dan Multikulturalisme, karenanya di pondok ini tak hanya diajarkan tentang agama Islam, pelajaran agama lain juga diajarkan.

Bagi Gus Hanif perbedaan dimaknai sebagai fitrah keberagaman yang berasal dari Tuhan, karenanya perbedaan bukan sebagai media untuk saling bermusuhan apalagi perpecahan, namun dari perbedaan itu menjadikan agama sebagai dialog-dialog antar agama dan peradaban untuk mencari titik temu kebersamaan dan persatuan, itulah inti dari pluralisme dan multikulturalisme yang tengah diajarkan Gus Hanif bagi santri santrinya, demikian hakikatnya gerakan intelektual Profetik itu dimulai.

Dengan ditemani asap dari berbatang batang rokok yang kami hisap sambil menyeruput kopi hitam dan sesekali kami mengupas suguhan buah salak yang kami ambil dari tenggok, sementara diluar hujan terus mengguyur maka malam itu terasa singkat padahal sudah berjam jam lamanya kami mendengarkan banyak penjelasan oleh Gus Hanif maka selanjutnya ada beberapa point’ yang kami dapatkan bagaimana gerakan intelektual Profetik itu harus benar benar dimulai dan dipraktikan oleh anak muda Nahdliyin yang tanpa harus mengurangi tradisi ketertundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang merupakan manifestasi semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru’ (bermoral luhur).

Dengan bertabaruk ilmu dengan Gus Hanif maka kita tersadarkan tentang adanya optik cakrawala alternatif yang bisa kita lakukan untuk memulai sebuah gerakan intelektual Profetik yang merupakan tanggung jawab kita sebagai anak muda Nahdliyin, agar kita menjadi insan yang utama, bermanfaat dan penuh mabruk.

Lahul Fatihah

Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)

Tinggalkan Balasan