Refleksi Akhir Tahun 2019 menuju Tahun 2020 harapan dan tantangan (Kita sebagai pribadi dan kita sebagai Warga Negara)
Dalam kalender Masehi maka tanggal 31 Desember adalah tanggal penghujung yang akan berganti menjadi hari dan tanggal pertama di bulan pada yang tahun baru, maka umumnya hampir orang di seluruh dunia merayakan dengan berbagai cara, tak sedikit orang merayakan dengan eforia sukacita (ekspresi dengan kiblat budaya barat), namun tak sedikit pula orang melakukan refleksi dengan ritualitas konfirmasi diri (ekspresi inklusifitas teologi dan budaya lokal)
Bagi seorang mukmin maka perayaan pergantian tahun akan dirayakan dengan melakukan ibadah khusus atau laku spiritual sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT sekaligus komitmen pengharapan terhadap perubahan diri menuju pribadi yang lebih baik, hal ini barangkali adalah harapan dalam konteks kita sebagai diri pribadi namun kita sebagai warga negara maka pergantian tahun adalah momentum untuk meneguhkan semangat membangun kesadaran kolektif guna menegaskan komitmen agar berani menghadapi tantangan dengan membangun pola berpikir dengan kesadaran kritis untuk melawan segala bentuk korupsi, melawan segala bentuk keterbelakangan, melawan segala bentuk kebodohan, melawan segala bentuk kemiskinan, melawan segala bentuk ketidakadilan serta melawan segala bentuk gaya hidup yang tidak ramah lingkungan sehingga mampu merajut kesadaran kolektif agar lebih mencintai karya dan produk dalam negeri.
Imam Al Ghazali sebagai seorang pemikir dan spiritualis Islam dalam kitab “Minhajul Abidin” menuliskan adanya perbedaaan antara harapan dan khayalan yaitu manusia yang berharap itu memiliki dasar, sedangkan manusia yang mengkhayal tidak memiliki dasar kemudian dalam kitab “Ihya Ulumuddin” disebutkan agar manusia senantiasa dapat mengiringi harapan (raja’) dengan rasa takut (khauf), sebab, pada dasarnya harapan yang sejati tidak dapat dipisahkan dengan harapan yang tulus, oleh karenanya harapan itu hanyalah bagi orang yang takut. Adapun orang yang tidak merasa takut, akan merasa aman, sedangkan rasa takut itu hanyalah bagi orang yang berpengharapan sejati, bukan bagi orang yang putus asa.
Dalam kitab “Ihya Ulumuddin” tersebut juga menegaskan yaitu setiap langkah manusia, harus seimbang antara khauf dan raja’, keduanya akan menjadi media pengendali diri, yaitu saat manusia sedang dalam kesulitan maka diharuskan memperbanyak raja’, sedangkan bila manusia sedang dalam kesenangan, sudah seharusnya meningkatkan khauf, pemikiran Imam Al Ghazali pada prinsipnya mengajak kita untuk merenungkan sejenak makna “harapan” yang kerap mengisi relung-relung terdalam sanubari kita sebagai manusia, terutama saat jiwa dan raga kita larut dalam hasrat kesenangan dunia semata-mata. Harapan akan perubahan hidup yang diinginkan manusia sebenarnya sangat mungkin dicapai selama kita menempuh jalan-jalan kebaikan.
Terkait dengan harapan maka selanjutnya dalam refleksi pergantian tahun ini maka menjadi relevan rasanya untuk mempertautan kesadaran kritis kita sebagai manusia secara pribadi maupun sebagai warga negara yaitu harapan menuju kemaslahatan hakiki.
Kemaslahatan dimaksud adalah menyangkut nilai kemanfaatan secara rohani diri maupun secara sosial, bertolak dari hal tersebut maka kemaslahatan secara pribadi yaitu kemaslahatan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan yang merupakan pokok kehidupan, karena manusia tidak bisa hidup layak tanpa lima hal tersebut. Sedangkan kemaslahatan secara sosial (maslahat mursalah) yaitu menumbuhkan kesadaran kolektif agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai sesama warga negara, dari sini maka akan tercapai keamanan, ketertiban dan kesejahteraan
Dalam kemaslahatan sosial maka setidaknya harus mampu memotret lenskap keseluruhan aspek dalam hidup bersosial yang mengacu pada kitab “al-kulliyyat al-khamsah” karya Muhammad Abid Al – Jabiri maka dapat terbaca jika kemaslahatan sosial tersebut meliputi pertama, kemaslahatan umat agama-agama yaitu melindungi agama (hifdzu al-din) karena setiap agama hakikatnya mengajarkan kebaikan dan menebarkan kasih sayang yang menjunjung tinggi keadilan.
Kedua, kemaslahatan jiwa dan hak hidup yaitu melindungi jiwa (hifdz al-nafs) hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghargai hak hidup setiap orang, Ketiga, kemaslahatan ekonomi yaitu melindungi harta (hifdz al-mal) yang merupakan salah satu komponen primer dalam kehidupan sosial, keempat kemaslahatan keluarga yaitu melindungi keturunan (hifdz al-nasl) yang juga merupakan aspek penting karena menyangkut keberlangsungan eksistensi kehidupan membentuk peradaban yang terakhir adalah kemaslahatan akal yaitu melindungi akal (hifdz al-‘aql) karena akal adalah jantung agama, sehingga tak heran dalam berbagai kitab fikih disebutkan, bahwa setiap umat mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk melaksanakan ajarannya sejauh mempunyai akal yang sehat.
Demikian pencerahan yang didapat dari derasnya ilmu Romo Yai Sumyani Aziz (Khatib Syuriah PCNU Kota Salatiga – Bapak mertua Gus Yusuf Pengasuh Ponpes API Tegalrejo Magelang) melalui metode wejangan beliau yang runtut dan sistematis tertumpah menyirami kesadaran akal dan ruhani kami diwaktu subuh memasuki hari pertama pada bulan Januari 2020.
Semburat cakrawala pagi menembus celah celah kaca ventilasi Rumah Romo Yai Sumyani Aziz masuk pada sanubari kami membawa pesan keseimbangan antara raja’ dan khauf jika hari ini 1 Januari 2020 adalah awal pembentukan kualitas diri.
Suguhan Kopi hitam dari Gus Syakir putra Romo Yai Sumyani Aziz telah kami seruput habis hingga tinggal menyisakan ampas residu yang tersisa dalam gelas dan sisa kepulan asap rokok kretek yang kami hisap lebur bersama semangat kami untuk memulai kehidupan yang lebih baik pada tahun ini.
Dimulai dengan menyebut kalimat “Bismilahirohmanirohim” dengan penuh kepasrahan.
Matur suwun Yai atas segala curahan pencerahan dan inspirasinya, semoga Barokah
Lahul Fatihah
Tingkir lor, 1 Januari 2020. 06.14 WIB
Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)
Tinggalkan Balasan