Daily Archives: Januari 24, 2020
TADABUR ALAM DI DESTINASI WISATA NYAI SERANG DESA MUNCAR (Inspiratif untuk menuangkan ide gagasan dalam bentuk karya seni)
Mobil Jiip dengan coting berwarna loreng dengan akronim Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang kami tumpangi berjalan lambat sesuai kehendak kami agar dapat berlama lama menikmati perjalanan yang menyajikan keindahan alam.
Pertanyaan kami tentang akronim jiip bertuliskan Banser oleh pemandu yang mendampingi kami menjelaskan jika di Desa Wisata Muncar juga sedang dirintis paket wisata berjuluk “Banser Corner” yang merupakan paket wisata bertema Banser dan cinta tanah air dengan menyediakan ragam hal mulai marchidaise, atribut, uniform, souvenir, properti hingga area pelatihan outbound maupun kegiatan yang bertemakan Banser dan cinta tanah air, dimana paket wisata ini adalah untuk melengkapi destinasi Desa Wisata Nyai Serang yang lebih menitik beratkan pada aspek alam dan kebudayaan.
Untuk menuju Desa Muncar, Kec. Susukan, Kab. Semarang maka bisa ditempuh dengan sangat mudah dari berbagai arah, berjarak sekitar 6 KM dari pintu Tol Tingkir Salatiga atau hanya 1 KM dari pasar Karanggede Kab. Boyolali, akses jalan menuju lokasi juga sudah sangat memadai dengan fasilitas jalan beton yang bebas hambatan, namun ketika akan memasuki area wisata kita akan melalui pilihan jalan antara jalan dengan kontur off road atau jalan beton biasa.
Perjalanan menuju lokasi destinasi wisata “PANGAYU TIRTO SERANG MUNCAR” maka diawali dengan off road tipis tipis namun demikian setidaknya kami dapat menikmati sensasi off road karena sengaja memilih jalur yang menantang andrenalin, jiip yang kami tumpangi berjalan dengan bergoyang kanan kiri mengikuti kondisi jalan yang terbentuk secara alami mirip area sirkuit off road sehingga kami menemukan sensasi seperti menaiki punggung camel atau onta.
Sore itu ketika jiip sudah melewati jembatan yang akan memasuki bantaran sungai Serang yang berhulu gunung Merbabu dan berhilir di Kedungombo, maka kami laksana memasuki medium surga, karena sepanjang mata memandang terlihat hamparan sawah hijau yang luas diantara tepian tebing yang tertata secara artisitik.
Aliran air sungai serang bergemuruh karena limpahan hujan dari hulu gunung Merbabu disertai aroma air hujan yang menguap semakin menyempurnakan suasana, seakan sore itu kita memasuki dimensi lain dalam dunia keindahan.
Sore itu awan menjadi penghias cakrawala yang melekat diatas mendung langit bagai kilau mutiara terbiaskan, sehingga kekaguman kami tiada terhenti untuk senantiasa mengingat Tuhan Seru Sekalian alam, karenanya pula mata kami terasa manja oleh keindahan, terpaku tak pernah lelah menatapnya laksana pembasuh kepenatan atas aktifitas kami sehari hari yang berkutat dengan ragam dinamika hidup yang penuh pragmatisme.
Sore itu ditepian sungai Serang maka udara yang kami hirup sedemikian sejuk mengisi rongga dada, membuat napas segar, hati menjadi damai karena menikmati keindahan dengan penuh kekaguman atas Maha Karya Tuhan Kang Akaryo Jagad.
Tujuan perjalanan kami ini adalah rangkaian tadabbur alam yang merupakan media efektif untuk mensyukuri kebenaran Allah SWT selaku pencipta alam semesta. Alam Raya beserta isinya inilah bukti atas kebesaran-Nya, Dialah Sang Khalik kreator dunia dan Al Jamiil Sang Maha Indah dengan segala isinya yang membentang dari belahan bumi timur hingga ke barat, semuanya dibuat tanpa cacat karena tanpa ada hal yang sia-sia atas penciptaan-Nya.
Bermedium dengan alam yang tercipta di belahan bumi yang terletak di Dusun Parean Desa Muncar, Kec. Susukan, Kab. Semarang yang sekarang masih terus berbenah dengan menambah ragam fasilitas guna menyempurnakan predikat Desa Wisata, adalah pilihan yang tepat dimana lenskap keindahan alam ini memiliki jejak sejarah yang panjang mengikuti proses terbentuknya Nusantara. Banyak kisah sejarah dan kebudayaan yang menarik untuk dipahami tentang desa ini yang akan kami kupas pada kesempatan berikutnya namun demikian bagi pelancong tentu akan diterangkan sama pegiat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Muncar ketika mengajukan pertanyaan.
Ketakjuban atas keindahan alam ini tak terasa telah menuntun kami pada banyak bangunan Gazebo yang berdiri tertata apik di jengkal bibir sungai Serang yang berarus deras, duduk di Gazebo ini sambil menikmati aliran sungai serang tak kalah kerennya dibanding dengan duduk pada Gazebo yang berdiri di tepian pantai Sanur di Bali.
Cakrawala sore itu benar benar menampilkan keindahan sehingga bergegas sahabat saya yaitu Gus Abdul Ghoni mengeluarkan perangkat lukis yang sudah dipersiapkan agar inpirasi yang telah tertoreh tidak menjadi kabur bersamaan berjalannya mentari yang mulai menyingsing kearah barat.
Sementara Gus Abdul Ghoni menyiapkan perangkat lukis maka saya mulai sibuk mempersiapkan alat tulis sebagai media untuk menumpahkan gagasan yang menjejali imajinasi berfikir saya.
Terlihat Gus Abdul Ghoni sibuk melakukan eksplorasi dengan kanvas dihadapannya, raut wajahnya sedemikian serius berkosentrasi laksana bentuk kalimat yang berbunyi “jangan diganggu” karena hal tersebut maka saya mulai berekspresi dengan gaya orang gila yaitu berjalan mondar mandir sambil berfikir untuk menemukan diksi dan frase kalimat yang tepat agar menyatu dengan epik sastra yang akan saya buat.
Tak terasa waktu berjalan sedemikian cepat melingkupi saya dan Gus Abdul Ghoni, sendiri sendiri berkotemplasi menuangkan ide dan gagasan melalui karya kami masing masing, ketika semburat cahaya matahari mulai temaram maka Gus Abdul Ghoni sukses dengan karya lukis dalam kanvas yang ditentengnya sementara saya juga sudah menuangkan ide kreatif dalam bentuk puisi dan esai yang akan kami tampilkan dalam kesempatan kemudian.
Kilas balik sejarah Desa Muncar maupun dusun dusun diwilayahnya, sejarah terbentuknya nama sungai Serang berikut tradisi adat, kesenian serta kuliner khas desa Muncar serta paket wisata berjuluk “Banser Corner” akan memantik pesona tersendiri bagi pelancong yang hendak mendapatkan kesan berwisata yang tiada duanya.
Gugusan alam destinasi wisata Nyai Serang Desa Muncar telah memberi pada kami renungan yang mendalam untuk memasuki dimensi spiritual dan etalase pemikiran kritis tentang kebudayaan yang tertuang dalam karya yang semoga dapat menjadi refkeksi bagi kami sendiri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Oleh: Sofyan Mohammad
Muncar, 6/01/20.
SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KI AGENG GIRING III
Dalam berbagai kisah yang tertulis dalam Babad tanah Jawi maupun cerita yang berkembang turun temurun maka sosok ulama yang berjuluk Ki Ageng Giring III adalah legenda yang tidak dapat dipisahkan dengan terbangunnya kerajaan Mataram Islam yang merupakan salah satu cikal bakal bersatunya Nusantara.
Dikisahkan Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pamanahan sejak masih muda merupakan santri dari pada Kanjeng Sunan Kalijogo “guru suci ini tanah jawi”. Ketekunan, kesalehan dan ketakdziman kedua santri ini dalam mengamalkan ilmu laku topo broto dan petuah dari pada gurunya maka pada akhirnya membuahkan hasil yaitu keduanya mendapatkan Hidayah yang berupa Wahyu Keraton untuk menjadi leluhur cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini melalui pewarisnya yaitu Kasunanan Surokarto Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, Mangkunegaran Surokarto dan Paku Alaman Ngayogyokarto yang pada saat ini setia bergabung dalam wadah NKRI.
Dikisahkan dua santri Kanjeng Sunan Kalijogo tersebut telah menerima Wahyu Keraton yang disebut dengan Wahyu “Gagak Emprit” saat keduanya menjalankan laku topo broto di Gunungkidul. Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Lampir, Girisekar, Kec. Panggang sedangkan Ki Ageng Giring III laku topo broto di alas Paliyan yang sekarang menjadi tempat makam beliau yaitu di Ds. Sodo, Kec. Paliyan, Gunung Kidul.
Wahyu “Gagak Emprit” diwujudkan dalam bentuk “degan” atau kelapa muda yang pohonnya ditanam sendiri oleh Ki Ageng Giring III buahya yang memetik juga Ki Ageng Giring III namun pada akhirnya air kelapa yang meminum adalah Ki Ageng Pamanahan, hal inilah yang menjadikan terjadinya negoisasi yang berujung pada islah diantara keduanya untuk membagi keturunannya masing masing sebagai Raja Mataram.
Dikisahkan setelah 7 raja dari keturunan Ki Ageng Pamanahan lenggah dalam singgasana sebagai Raja Mataram Islam maka kemudian bergeser ke pada keturunan Ki Ageng Giring III atau persilangan dari keduanya yang meneruskan menjadi Raja Mataram Islam hingga saat ini.
Menurut babad maka Ki Ageng Giring III maupun Ki Ageng Pamanahan sama sama berinduk dari nasab yang sama yaitu Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri yang lebih jauh lagi juga berinduk pada trah Rajasa yaitu Ken Arok – Ken Dedes sehingga pada prinsipnya kedua santri ini juga merupakan saudara sama sama berdarah biru pewaris kerajaan Majapahit.
Semasa hidup Ki Ageng Giring menikah dengan Nyi Talang Warih yang kemudian lahir dua orang anak, yaitu Kanjeng Rara Lembayung yang kemudian menikah dengan Panembahan Senopati anak Ki Ageng Pamanahan yang menjadi Raja pertama Kerajaan Mataram, sehingga Rara Lembayung merupakan Ratu Mataram dengan gelar Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari. Adapun anak kedua Ki Ageng Giring III yaitu Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Pada tahun 1704 M yaitu ketika Pangeran Poeger naik tahta menjadi Raja yang bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I maka dari sinilah diyakini babak baru sejarah Dinasti Mataram mulai bergeser karena jika diurutkan sejak Panembahan Senopati sebagai Raja Pertama maka Pangeran Poeger merupakan raja ke-8 yang merupakan keturunan Ki Ageng Giring III sehingga islah dan kesepakatan antara Ki Ageng Gribig III dengan Ki Ageng Pamanahan benar benar terealisasi.
Diyakini jika Pangeran Poeger merupakan keturunan Ki Ageng Giring III atau setidaknya sudah terjadi persilangan genetik antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III karena Penambahan Senopati menikah dengan Kanjeng Roro Lembayung sehingga antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III juga berbesanan, karenanya keturunan yang didapat juga merupakan persilangan diantaranya, meskipun ada kisah lain yang membenarkan jika Pangeran Puger adalah keturunan Ki Ageng Giring III yaitu dikisahkan dalam Babad Nitik Sultan Agung jika Ratu Labuhan, permaisuri Sinuwun Amangkurat I melahirkan seorang bayi yang kurang sempurna dan bersamaan dengan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Klaten yang masih keturunan Ki Ageng Giring III melahirkan seorang bayi sehat dan tampan, selanjutnya dikisahkan Sinuwun Amangkurat I mengenal Panembahan Kajoran sebagai orang yang linuwih sehingga bayi yang kondisinya kurang sempurna tersebut di bawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhan dan oleh Panembahan Kajoran merasa inilah momentum untuk menjadikan keturunannya sebagai Raja sehingga dengan cerdik, bayi Pangeran Arya Wiramanggala dikembalikan ke Sinuwun Amangkurat I dengan menyatakan upaya penyembuhan berhasil.
Terlepas dari kebenaran kisah tersebut diatas maka terjadinya persilangan keturunan dalam perkawinan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Roro Lembayung adalah jawaban atas tafsiran jika Wahyu keraton “Gagak Emprit” yang berwujud banyu degan (air kelapa muda) bukan merupakan makna sesungguhnya karena merupakan bentuk sasmita alias bahasa isyarat – isyaroh jika banyu degan itu sebenarnya wanita, karena dalam banyak literatur kisah menceritakan pembawa wahyu kekuasaan di tanah Jawa ada pada faktor perempuan.
Dikisahkan jika Ki Juru Mertani telah menasehati Panembahan Senopati yaitu walaupun Ki Ageng Pemanahan dapat meminum banyu degan sebagai Wahyu Keraton, tetapi jika tidak bersatu dengan Ki Ageng Giring III maka tidak akan kuat untuk memegang tampuk kekuasaan, atas nasehat tersebut maka Panembahan Senopati selanjutnya memperistri Kanjeng Roro Lembayung dan dari pernikahan tersebut melahirkan Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya atau berjuluk Banteng Mataram yang merupakan cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III.
Sewaktu masih hidup maka Ki Ageng Giring III hidup bersahaja sebagai seorang santri di Desa, selain bercocok tanam maka juga menyadap nira kelapa, karenanya di tempat tersebut Ki Ageng Giring III juga memiliki sebutan nama yaitu Ki Panderesan karena profesi penyadap nira (deres legen) kelapa.
Kehidupan sederhana di desa tanpa embel embel kebangsawanan adalah proses Riyadloh (prihatin) atau laku topo broto yang merupakan petuah dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo, dengan demikian Ki Ageng Giring III adalah seorang murid yang sangat Takdzim dengan gurunya karenanya bisa menjadi seorang santri yang sholeh dan penuh mabruk hingga dapat mencapai maqom spiritual yang tinggi.
Keistiqomahan proses laku spiritual yang dijalani oleh Ki Ageng Giring III terbukti bisa menjadikan dirinya sebagai salah satu cikal bakal atau pepunden Dinasty Mataram Islam dimana kerajaan ini selama berabad abad lamanya telah berproses menciptakan keluhuran budi dan peradaban di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, sehingga amal kebaikannya tersebut merupakan ladang amal sholeh tak berkesudahan hingga saat ini.
Sebagai seorang santri yang menjalani laku spiritual dan hidup di desa maka diyakini semasa hidupnya Ki Ageng Giring III juga berdakwah untuk syiar Islam khususnya di kawasan Gunung Kidul, dikisahkan beliau membimbing umat dengan cara yang sangat sempurna yaitu dengan keteladanan sikap yang mencerminkan Islam yang Rahmatan Lil Alamien, sehingga tak heran jika sampai saat ini Ki Ageng Giring III tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat luas meski beliau sudah berada di alam kelanggengan.
Didalam komplek makam Ki Ageng Giring III maka di bagian depan sebelum masuk tajuk terdapat makam para santri atau abdi beliau yang setia yaitu Eyang Purwosodo, Eyang Mandung, Eyang Manten, Eyang Jampianom dan juru kunci pertama yaitu Madiyo Kromo atau disebut Suto Reko, sedangkan disebelah kanan tajuk makam Ki Ageng Giring III terdapat makam Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari.
Bertabaruk dengan sowan ziaroh ke komplek makam Ki Ageng Giring III adalah salah satu cara bermedium dalam dimensi spiritual untuk napak tilas sejarah sekaligus meneladani segala keluhuran yang telah diwariskannya sehingga kita bisa meneguk barokah dan karomahnya agar dapat menjadi insan yang sholeh bermanfaat marang sapodo podo.
Lahul Fatihah
Oleh: Sofyan Mohammad
Sodo, Paliyan, Gunung Kidul D.I.Y. 09/01/20. 02.31 WIB
Note :
Dirangkum dari keterangan Mas Bekel Anom Surakso Fajarudin selaku juru kunci makam serta dari literatur buku sejarah.
JELAJAH RUANG & WAKTU DENGAN KITAB KITAB KLASIK DI JOGLO KI PENJAWI SOLOTIGO
Malam itu saya serasa memasuki dimensi waktu yang berbeda, lorong waktu telah mengantarkan pada situasi dimana raga saya berada di zaman era digital namun imajinasi saya berada di zaman ketika syiar Agama Islam tengah massif dilakukan dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan oleh para ulama Nusantara.
Malam itu mesin waktu telah diciptakan oleh lembaran demi lembaran kitab kitab kuno koleksi Pak Gunawan Herdiyanto pemilik Joglo Resto Ki Penjawi yang beralamat Jl. Ki Penjawi No. 14 Salatiga. Jawa Tengah.
Resto unik yang berdiri diatas bangunan dan ruangan berarsitektur etnik Jawa total berbahan konstruksi dominan dari kayu jati yang dilengkapi dengan ragam furnitur dan ornamen hiasan dinding berupa topeng maupun pernak pernik property Jawa tempo dulu adalah tempat dimana saya menghabiskan malam itu bersama para Masyayikh mempelajari kitab kitab klasik karya para ulama Nusantara.
Alunan klonengan langgam Jawa mengalun berkolaborasi dengan bunyi rintik hujan yang jatuh di pelataran bangunan diikuti kepekatan malam berkabut yang lindap bersama harum aroma minyak hajar aswad, maka malam itu benar benar telah membawa kami untuk melesat jauh memasuki dimensi ruang dan waktu.
Kitab yang tengah di baca adalah kitab kitab kuno yang telah berusia ratusan tahun dimana secara fisik kitab kitab tersebut sebagian berbahan olahan kulit domba atau hewan sejenis dan sebagian lainnya berbahan kertas kuno, warnanya kuning kecoklat cokatan yang telah tertaburi jamur jamur secara alami. Sepintas tinta yang tergores dalam kitab tersebut berwarna hitam namun ada yang sudah kabur hingga menjadi keabu abuan, media tulisan itu terasa sedikit keras namun sebagian tampak lebih tajam, hal yang menandakan jika proses penulisan pada saat itu benar benar secara manual dan pengerjaan penulisan tidak dalam waktu yang bersamaan namun bertahap dalam rentang waktu yang cukup lama.
Dilihat dari model bentuk chord yang tidak konsisten dan goresan tinta yang dinamis menandakan pula jika kitab ini ditulis mengikuti mood dan suasana batin penulisnya waktu itu.
Hampir keseluruhan kitab kitab tersebut sudah sedemikian usang sehingga harus ekstra hati hati didalam membuka satu persatu halamanannya, jamur jamur yang melekat pada tiap halaman menjadikan lengket, jika tidak hati hati maka bisa membuat rusak atau robek kitab yang berbahan kertas.
Malam itu saya ikut membuka kitab kitab klasik tersebut dalam rangka ndereake – ngestoake (mengikuti) Poro Kyai dari PCNU Kota Salatiga yaitu Romo Yai Sumyani Aziz, beliau adalah Kyai yang telah meneguk secara tuntas ilmu dari Poro Masyayikh di Ponpes Al Falah Ploso Kediri maupun berbagai pondok pesantren di tanah Jawa, karenanya beliah dipandang telah cukup memiliki kepakaran dibidang kitab kitab klasik.
Simbah Yai Mohammad Nashihun Pengasuh Pondok Pesantren Al Salafiyah NU Blotongan Salatiga yang diketahui dahulu telah malang melintang nyantri di berbagai Pondok Pesantren di talatah bang Wetan atau Jawa Timur, ada juga Kyai Haji Doktor Miftahudin, MA yang memiliki rekam jejak sebagai seorang santri namun kini beraktifitas sebagai seorang Akademisi pengajar program pasca Sarjana IAIN Salatiga sekaligus aktif diberbagai lembaga profesional yang konsen masalah diskursus Islam Nusantara serta ada pula Sahabat Anshor Aditya Cahyo Putro yang dahulu seorang aktifis Mahasiswa dan sekarang aktif sebagai pegiat pada Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul (LPBHNU) Kota Salatiga.
Lembaran lembaran kitab yang dibaca oleh para Kyai tersebut menghasilkan diskusi tentang prediksi tentang sirah, kontent maupun hardware dari pada kitab kitab tersebut, pak Gunawan Herdiyanyo selaku pemilik mengawali dengan mereferensikan kisah bagaimana dahulu kitab kitab tersebut diperoleh yaitu dengan cara yang cukup mengharu biru karena melalui proses yang melibatkan pengalaman spiritualitas.
Menulis kitab merupakan salah satu upaya intelektual dari para ulama terdahulu, yang dilakukan dalam rangka mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi selanjutnya. Dalam proses penulisanya maka diyakini para Ulama tersebut kerap melakukan ikhtiar batin atau laku spiritual dengan sangat istiqomah dan berkelanjutan dalam waktu waktu tertentu.
Dari telaah Romo Yai Sumyani Aziz setelah membuka lembaran demi lembaran kitab tersebut maka kita jadi mengetahui jika dahulu ketika ulama menulis kitab maka memerlukan syarat berupa Ilmu syar’i yang merupakan jalan panjang yang tidak mudah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta harus mampu menangggalkan kesenangan syahwat belaka, sehingga ulama yang hendak menulis kitab haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah serta Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).
Selain dari pada itu dalam penulisan kitab maka ulama dahulu selalu memperhatikan aspek manhaj atau metodolodi yang benar, hal yang dimaksudkan adalah untuk menjaga konsistensi dalam menulis sehingga tidak berhenti di tengah jalan.
Syarat penguasaan ilmu syar’i dan manhaj oleh ulama dahulu merupakan salah satu kiat untuk menghasilkan karya kitab yang memiliki kandungan isi yang bermanfaat fidunya wal akhiroh karenanya dalam aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ulama penghasil kitab kitab dimaksud mcendapatkan Taufiq dari Allah SWT dengan sebutan Aimmatul Huda yaitu para imam yang mengajarkan petunjuk Allah SWT.
Setelah secara seksama membuka lembaran lembaran kitab maka selanjutnya Simbah Yai Mohammad Nashikun melengkapi penjelasan yaitu untuk proses penulisan kitab kitab oleh para ulama maka memerlukan laku spritual panjang yang disebut dengan Riyadloh atau tirakat sebagai ajang pelatihan hawa nafsu seseorang.
Tirakat berarti meninggalkan ragam kenikmatan-kenikmatan dunia seperti nikmat kenyang, nikmat tidur maupun nikmat kesenangan duniawi dengan menjalankan Riyadloh maka dapat melatih hawa nafsunya untuk semakin mudah menjalankan tujuan secara istiqomah, qonaah, ikhlas, syukur, zuhud, dan wirai.
Kitab kitab klasik koleksi Pak Gunawan Herdiyanyo di Joglo Resto Ki Penjawi kesemuanya ditulis secara manual tulisan tangan sehingga belum terbentuk menjadi manuskrib (maḥṭūṭāt) seperti halnya kitab kitab yang dapat dinikmati oleh para santri saban hari di pondok pesantren. Kitab kitab tersebut sama sekali belum terbaca adanya judul kitab, pengarang kitab maupun muhaqqiq atau catatan editornya karena kitab kitab tersebut original sebagai sebuah karya intelektual manual yang tidak berwujud kitab edisi cetak atau printed edition.
Secara fisik kitab kitab kuno tersebut berisi tulisan tangan dengan huruf Arab yang sudah sangat usang, bahkan beberapa di antaranya sudah tak utuh karena termakan usia maupun rayap, meski demikian secara pelan pelan dan hati hati huruf demi huruf masih dapat terbaca meski gramatical bahasanya memerlukan telaah lebih lanjut.
Mencermati dan membaca kitab kitab tersebut maka KH. Dr. Mitahudin MA memprediksi usia kitab tersebut sudah ratusan tahun diperkirakan mulai abad 16 sampai dengan abad 18 Masehi hal itu didasarkan pada hardware kitab yang bertolak dari pada bentuk kertas atau kulit bahan dasar kitab, font atau chord huruf, harokat, kualitas tinta serta adanya petunjuk kalender penulisan yang berbentuk sengkolo huruf yang dapat ditafsirkan sebagai tarikh.
Dari sisi software Poro Kyai malam itu sementara berkesimpulan kandungan isi kitab kitab tersebut adalah menyangkut aspek pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah), fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (ilmu nahwu dan ilmu sharf), hadits, tafsir,
ulumul qur’aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah), meskipun kitab kitab tersebut dapat dipastikan ada bagian bagian tertentu yang justru tertuang dalam kitab kitab lain yang masih tercecer.
KH. Dr. Miftahudin, MA menyampaikan jika beberapa kitab kitab tersebut ditulis oleh oleh ulama pada paruh abad 18 sezaman dengan era ulama KH.A.Rifa’i maupun Kiyai Sholeh Darat Semarang, karena sejak saat itu dimulailah penterjemahan kitab- kitab keilmuan Islam berbahasa Arab kedalam bahasa Jawa, Sunda, Betawi, Lombok, Madura maupun daerah daerah lain di Nusantara, era itu mulai menggeliat penerjemahan cabang seperti ilmu Aqidah (Ushuluddin), ilmu Ibadah (Fiqih), maupun ilmu tentang management qolbu (Tsawwuf/ Tazkiyyatun Nafs).
Penulisan kitab sendiri maupun penulisan melalui penerjemahan atas kitab kitab arab pegon oleh ulama Nusantara hingga saat ini masih memiliki tempat tersendiri bagi para santri, bahkan oleh para Kyai Pengasuh Pondok Pesantren benar benar merasa terbantu ketika harus mengajar pada para santri santrinya, sehingga kitab kitab tersebut sungguh telah memperkaya khazanah keilmuan Islam di Nusantara.
Hasil karya berupa kitab oleh para ulama tersebut ketika dibaca oleh para mubtadi’in maka akan menimbulkan sugesti adanya energi daya kesakralan dengan tuah yang “mbarokahi” dibanding membaca kitab kitab lain baik terjemahan dengan tulisan latin maupun kitab kajian ilmu Islam Komtemporer yang rasa rasanya tidak dianggap sebagai kitab yang mbarokahi, tapi hanya sekedar buku pengetahuan.
Selanjutnya Romo Yai Sumyani Aziz sesaat setelah khusuk membaca salah satu kitab kuno tersebut menyampaikan jika kitab kitab tersebut disusun dengan penuh ketelitian untuk menjaga marwah sanad keilmuan yang jelas, alim serta dapat dirunut silsilah sumber ilmunya sampai pada Rasulullah SAW, lebih lanjut Simbah Yai Nasikhun menerangkan jika seseorang bisa keliru pikiran dan keyakinannya disebabkan ilmu yang diperolehnya salah dan tidak jelas sanad keilmuannya, sehingga belajar agama harus melalui guru atau membaca kitab yang jelas sanad keilmuannya karenanya meremehkan otoritas ulama dan guru berikut kitab yang dihasilkan adalah salah satu awal adanya kesesatan yang bisa kita lihat fenomena akhir akhir ini yaitu banyak orang mudah menjatuhkan vonis kepada sesama dengan tuduhan bid’ad maupun kafir.
Sementara KH. Miftahudin MA menjelaskan kenapa ulama Nusantara tetap runtut sanad keilmuannya hingga sampai Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah karena hubungan guru-murid lintas benua dan merentang dalam waktu panjang yang merupakan bagian dari poros jaringan ulama Timur Tengah yang berpusat di Tanah Suci Makkah dan Madinah, dari sana, ulama asal Indonesia belajar kepada ulama setempat setelah pulang ke Nusantara terjalin hubungan guru-murid yang dikenal sanad, hal demikian menjadi salah satu kunci untuk meneguhkan ghiroh perjuangan membentuk Nusantara.
Malam beringsut semakin kelam, kabut tipis pelan pelan membaur dengan asap rokok yang kami hisap, suguhan wedang uwuh habis kami seruput menyisakan ampas dalam teko sementara mangkuk hanya menyisakan sedikit kuah atas suguhan berupa sop iga dan bakmi jowo yang nikmatnya menciptakan sensasi hangat pada tubuh saya ditengah dingin malam yang masih terguyur gerimis hujan.
Bunyi perkutut sesekali masih kami dengar bersamaan dengan alunan langgam jawi yang samar samar terdengar diantara petuah ilmu dari para Kyai PCNU Salatiga hasil pendalaman singkat kitab kitab kuno tersebut telah menghujam kedalam rohani spiritual saya yang susah untuk dilukiskan dengan kata kata sementara Sahabat Adityo yang duduk disebelah saya tampak diam penuh takdzim tanpa mengurai kalimat apapun selain beberapa kali saya mendengar berguman lirih dengan bunyi kalimat “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah”
Angin malam itu berhembus dengan landai mengisyaratkan keberkahan yang makin sempurna dengan lantunan doa yang panjang lagi khusuk di sematkan oleh Simbah Yai Mohammad Nasikhun yang menderai memanah Qolbu saya untuk mentakdzimkan kalimah Amien Ya Robal Alamien.
Tabaruk ilmu semalam di Joglo Resto Ki Penjawi adalah penggalan kisah pengalaman yang tak terlupakan dan menjadi hari Jumat yang penuh Barokah
Semoga Allah SWT Meridhoi
Lahul Fatihah
Jawa Jawi, 11/01/20.
- WIB
Sofyan Mohammad
Pemerhati budaya dan sejarah sehari hari tinggal di desa bantaran sungai serang.
HUKUM ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL (Telaah singkat menggagas pembaharuan Hukum Nasional)
Globalisasi dengan jargon humam right, developmentalizm, gender dan lain sebagainya telah memicu membanjirnya akses informasi dan komunikasi dengan mengikis sekat sekat kebudayaan antar benua bahkan antar bangsa.
Indonesia sebagai negara berdaulat dengan memayungi ragam suku bangsa dan etnis yang masing masing memiliki tonggak penopang yang berupa kebudayaan dan adat istiadat sendiri sendiri, saat ini terancam dengan hadirnya jargon Global Village yang ditandai dengan membanjirnya arus informasi dan komunikasi yang nyata nyata telah menghilangkan sekat sekat kebudayaan.
Kebudayaan dan adat istiadat asli milik Indonesia yang merupakan kekayaan dan indentitas kebangsaan kini berangsur angsur mulai terkikis, padahal disadari jika adat istiadat tersebut merupakan salah satu sumber hukum nasional yang membedakan dengan hukum hukum di Negara lain. Kekayaan bangsa kita yang berupa adat istiadat adalah cermin dari keluhuran bangsa ini, meski kadang dimaknai sebagai penghambat pembangunan oleh para pihak yang terlanjur gandrung dengan pola pola bangsa asing, demikian padahal diketahui jika adat adalah hukum, peraturan, kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat yang memiliki nilai untuk dapat dijunjung tinggi serta dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Di Indonesia dari berbagai suku bangsa maka terdapat seperangkat aturan tentang segi kehidupan manusia yang mengikat kemudian disebut sebagai hukum adat, di berbagai daerah di Indonesia maka adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Bagi masyarakat Indonesia maka hukum adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga masyarakat yang melanggar adat-istiadat tersebut akan mendapatkan sangsi baik secara langsung maupun tidak secara langsung yang kesemuanya telah mengakibatkan efek jera bagi setiap pelanggarnya. Keragaman hukum adat di Indonesia pada prinsipnya bisa menjadi inspirasi untuk ditempatkan sebagai sumber hukum nasional karena berbagai literatur sejarah telah mengetengahkan ragam kisah yang tertoreh dalam berbagai kitab kitab hukum kuno seperti misalnya pada zaman Hindu, era Raja Dharmawangsa aturan hukum tertulis dalam kitab Civacasana, pada jaman Majapahit era Mahapatih Gajahmada (1331-1364) menulis kitab yang disebut Kitab Gajah Mada, pada era Kanaka Patih Majapahit (1413-1430) ada kitab hukum yang disebut dengan kitab Adigama serta di Bali sekitar tahun 1350 juga ditemukan kitab hukum Kutaramanava, selain itu masih banyak terdapat kitab-kitab hukum kuno yang mengatur kehidupan masyarakat agar tertib hukum.
Bahwa, keberadaan kitab kitab hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tersebut telah menandakan jika di Indonesia ini jauh sebelum orang –orang Eropa atau bahkan orang orang Asia lainya datang, maka di Indonesia telah memiliki sistem dan asas-asas hukumnya sendiri yang khas. Hukum Adat yang pada prinsipnya masih berlangsung di berbagai daerah tersebut merupakan hasil akulturasi antara peraturan dalam adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa dalam kultur agama yaitu Hindu, Budha, Islam maupun Nasrani, selanjutnya setelah terjadi akulturasi tersebut maka hukum adat atau hukum pribumi (Inladsrecht) tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum yang tidak ditulis (jus non scriptum) dan hukum yang ditulis (jus scriptum).
Hukum adat di berbagai daerah tumbuh dalam lingkungan masyarakat setempat yang berlandaskan pada ajaran agama yang berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat tersebut, oleh karenanya sering dijumpai dalam masyarakat hukum adat maka antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, seperti halnya di pulau Bali maka adat masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama Hindu, atau masyarakat Jawa di beberapa hal terikat hukum adat yang bersumber dari akulturasi kultur agama Islam dan seterusnya.
Bagi negara yang modern seperti halnya Indonesia pada saat ini maka hukum yang berlaku merupakan suatu sistem yang merupakan tatanan sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sistem hukum sebagai suatu kesatuan dari ragam unsur memiliki interaksi satu sama lainnya yang bersimbyosis guna mencapai tujuan bersama yaitu keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat.
Bahwa, selanjutnya diketahui jika keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional yang mana sistem hukum tersebut kini telah berkembang sesuai dengan dinamika zaman selanjutnya sistem tersebut memiliki sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap, oleh karena itu wujud dari sistem hukum nasional yang berbentuk hukum dapat dibedakan menjadi hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan diundangkannya dalam lembaran negara, dimana dalam berlakunya juga ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat. Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law). Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil. Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya.
Dalam perspektif umum maka hukum adat dapat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat yang dapat dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law dan secara filosofis maka berlakunya hukum adat sebenarnya karena adanya nilai-nilai dan sifat hukum adat itu sendiri yang identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila, misalnya padanan tentang religiusitas, magis, sifat gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan yang mana terkandung nyata dalam butir Pancasila sehingga dasar Negara kita yaitu Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia maka dalam prosesnya jauh lebih luwes, fleksibel dan tidak kaku yang nyata nyata sangat relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam butir butir Pancasila maupun sesuai pula dengan apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 yang merupakan manifestasi pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI tersebut.
Berlaku hukum adat dalam sistem hukum nasional pada prinsipnya merupakan hukum kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum adat mengatur tingkah laku manusia, dalam hubungannya satu dengan yang lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman,
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat karena dianut dan
dipertahankan oleh masyarakat itu sendiri maupun yang merupakan keseluruhan
pengaturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa atau tokoh adat yang memiliki otoritas untukmemberi keputusan dan sangsi.
Dalam lingkup penegakan hukum lingkup pidana maka terhadap aturan-aturan hukum tidak berbatas dengan tindakan menghukum dengan merampas kemerdekaan pelaku, namun yang lebih substansial adalah bagaimana upaya penegak hukum dapat
membimbing masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dalam terminologi hukum pidana disebut istilah “ultimatum remedium” atau obat terakhir. Dalam hal ini maka bekerjanya proses peradilan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian keputusan mengenai suatu tindak pidana oleh penegak hukum yang berwenang dalam kerangka interrelasi antara petugas dan sub-subsistem peradilan pidana, pendekatan
sistemik semacam ini maka diperlukan adanya tujuan yang pasti yaitu gunameningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan, mengembangkan sistem koordinasi diantara berbagai komponen peradilan serta bertujuan untuk mengawasi atau mengendalikan penggunaan otoritas oleh penegak hukum itu sendiri agar tidak abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang sering kita dengar akhir akhir ini.
Hukum adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat yang masih terikat adat, hal ini terjadi karena bertolak dari adanya perasaan keadilan yang merupakan nilai universal yang dimiliki oleh seluruh manusia sebagai subyek hukum, gambaran tentang berlakunya hukum adat rupanya adalah bagian untuk mewujudkan ketertiban umum yang secara garis besar maka ketertiban umum merupakan suatu keadaan lingkungan masyarakat yang aman, tenteram dan saling menghormati hak-hak yang satu dengan yang lain secara seimbang, hak demikian adalah tujuan hidup bermasyarakat, namun sering kali gambaran ideal tersebut terkadang susah terwujud tanpa peran beberapa komponen pendukung yaitu rohaniawan atau tokoh masyarakat, kepolisian, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri.
Bagi masyarakat Indonesia peran seorang rohaniawan dan tokoh masyarakat adalah yang paling utama, sering kita jumpai hanya lewat lisan dan kebijaksanaan dari rohaniawan maupun tokoh masyarakat maka segala pencegahan tindak pidana dalam arti pelanggaran ketertiban umum bisa teratasi, hal ini terjadi karena adanya panutan sehingga masyarakat dapat mematuhinya, selain peran rohaniawan atau tokoh masyarakat maka dalam penegakan hukum di arus bawah juga ada pula kepolisian yang dapat menjalankan fungsi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban umum, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab polisi secara limitatif dapat terbaca dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa bertindak
berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat
(1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Bertolak dari hal tersebut maka diperoleh garis besar jika penegakan hukum diperlukan aspek moral dan etika dari aparat penegak hukum itu sendiri, karena aspek moral dan etika dalam penegakan hukum merupakan suatu hal yang berkaitan dengan penegakan dalam sistem peradilan.
Sifat Hukum Adat di Desa Adat sifatnya lex spesialis terbatas, yaitu dibatasi oleh wilayah, orang dan jenis kegiatannya, misalnya di Bali maupun daerah daerah lain di Indonesia masih dapat dijumpai hukum adat yang mana masih terdapat hak-hak yang diakui dalam hukum positif dan hukum nasional, karenanya negara mengakui serta menghormati kesatuan -kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945)
Tukak Balian, BALI
24/01/20.
Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah
Sofyan Mohammad
Lawyer Daerah
Sehari hari tinggal di desa yang memiliki hobi bertani dan bercocok tanam.