Daily Archives: Februari 21, 2020

SEMUA ORANG SELAKU SUBYEK HUKUM DIANGGAP TAHU HUKUM (Penyuluhan hukum dan kualitas tertib hukum)


Dalam khasanah hukum kita maka dikenal ada asas fictie yaitu semua orang tahu hukum, karenanya penegakan hukum tidak akan berhenti karena pelaku pelanggar hukum berdalih tidak tahu menahu tentang adanya aturan spesifik dalam hukum.

Asas yang menganggap semua orang tanpa terkecuali (presumptio iures de iure) atau dalam istilah lain ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan (ignorantia jurist non excusat), bertolak dari hal ini maka seseorang tidak bisa menghindar dari aturan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dalam peraturan perundang -undangan yang telah disyahkan oleh otoritas yang berwenang (Pemerintah)

Dalam berlakunya peraturan perundang undangan setelah diundangkan melalui Lembaran Negara untuk pemerintah Pusat atau Lembaran Daerah untuk Pemerintah Daerah dan seterusnya maka semua orang dianggap tahu akan keberadaannya yang bersifat mengikat dengan melepas segala pretensi apakah itu adil atau tidak, karena semua orang tentu tidak tahu tentang muatan apa yang terkandung dalam peraturan perundang undangan tersebut bahkan tak kurang para sarjana sarjana hukum sekali pun belum tentu tahu kehadiran suatu undang-undang dan muatan hukum didalamnya meski undang-undang tersebut sudah diumumkan.

Perkembangan dan dinamika zaman tentu akan mempengaruhi proses hukum, misalnya pada saat ini masih terdapat banyak sekali produk hukum berupa peraturan perundang – undangan yang telah ditetapkan dan masih akan terus bertambah serta diperbaharui karenanya tentu saja banyak masyarakat yang belum mengetahui substansi atau bahkan tidak mengetahui keberadaan dari pada produk hukum yang pada saat ini terus bertambah dan akan terus diperbarui tersebut, namun demikian asas fiksi (fictie) hukum harus tetap terapkan, karena apabila tidak diterapkan maka akan menyulitkan dalam penerapan dan penegakan hukum, atas dasar ini lah maka kemudian diperlukan fungsi penyuluhan hukum oleh pemerintah yang tentu saja melibatkan peran serta masyarakat yang konsen dengan masalah hukum atau melalui organ yang berbentuk Lembaga Bantuan Hukum, yang disana secara subtansi adalah memastikan jika peraturan perundang undangan berlaku dapat diketahui oleh masyarakat umum selaku subyek hukum.

Yang dimaksud subyek hukum disini adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum, yaitu dalam kehidupan sehari-hari maka yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum kita adalah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Manusia (natuurlijk persoon) dalam arti tiap-tiap manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami, sejak anak-anak hingga dewasa tetap dianggap sebagai subyek hukum, namun demikian ada beberapa orang yang gugur haknya sebagai subyek hukum misalnya orang tersebut mengalami gangguan jiwa atau orang dibawah pengampunan hukum (curatele), sedangkan Badan Hukum, organisasi atau institusi (rechts persoon) juga merupakan subyek hukum oleh karena merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban, untuk itu badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia.

Penerapan asas fictie dan pemahaman tentang subyek hukum agaknya menjadi hal yang sangat urgent bagi berlakunya hukum terkait dengan penerapan dan penegakan hukum itu sendiri sehingga kegiatan penyuluhan hukum menjadi penting peran dan manfaatnya, saat ini kata penyuluhan hukum memang sudah familiar, namun demikian konsep penyuluhan hukum ini baru digagas pada tahun 80-an pada Era Orde Baru sebagai respon atas Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978 yang didalamnya melahirkan progres kesadaran hukum yang dalam amanahnya berbunyi :
“Bahwa tiap warga negara Indonesia harus selalu sadar dan taat kepada hukum, dan mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.”

Tanggung jawab negara dan peran serta masyarakat pegiat hukum melalui Organ lembaga bantuan hukum (LBH) atau lembaga lain yang konsen dengan masalah hukum didalam melakukan penyuluhan hukum rasa rasanya cukup koheren dengan kualitas kesadaran hukum bagi masyarakat selaku subyek hukum, yang memang penulis belum pernah membaca laporan adanya riset yang secara komprehensif meneliti tentang korelasi antara penyuluhan hukum dengan kualitas kesadaran hukum masyarakat, namun demikian secara nalar koherensi keduanya tak dapat dipisahkan, untuk itu metode dan konsep penyuluhan hukum menjadi penting untuk kembali diketengahkan terlebih dalam era serba digital seperti sekarang yang rupa rupanya ragam kejahatan dan pelanggaran hukum semakin komplek.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai representatif civil society dalam sistem demokrasi atau sesuai dalam tata pemerintahan kita maka LBH atau organ sejenisnya paling tidak harus mampu bergerak dan terlibat untuk mengurai berbagai acam problematik hukum di Indonesia, yang selanjutnya menuntut peran untuk dapat mendidik masyarakat selaku subyek hukum agar memiliki kesadaran kritis soal hukum sehingga harapan yang hendak dicapai selain terwujudnya tertib hukum dengan turunya indek angka kejahatan maka melalui penyuluhan hukum maka diharapkan masyarakat juga bisa memiliki kemampuan untuk memonitor kinerja aparat penegak hukum agar berjalan sesuai dengan fungsi dan perannya dan tidak bertindak secara abuse of power yang merugikan diri para pencari keadilan (yustaible)

Tanggung jawab pemerintah melalui Ornop (Organisasi Non Pemerintah) berbentuk LBH adalah memberi kesadaran hukum pada masyarakat tentang hukum materiil maupun formilnya, sehingga tujuan hukum dan keadilan akan terwujud tanpa adanya bentuk sikap yang saling merugikan hak masing masing pihak baik aparat selaku penegak hukum maupun masyarakat pencari keadilan.

Penyuluhan adalah kegiatan penyebarluasan informasi hukum dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundang -undangan yang berlaku, serta kegiatan untuk pengembangan kualitas hukum guna mewujudkan sekaligus mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundang undangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum itu sendiri.

Penyuluhan untuk mencapai kesadaran hukum adalah salah satu cara untuk mencapai salah satu tujuan hukum yaitu untuk mengatur secara pasti hak-hak dan kewajiban lembaga tinggi negara beserta seluruh pejabat negara dan warga negara supaya semuanya dapat melaksanakan tindakan-tindakan demi terwujudnya tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Sofyan Mohammad
Pegiat Hukum
Sehari hari menghabiskan paruh waktu di desa yang lumayan terpencil.

SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KANJENG SUNAN GIRI (Kebomas – Gresik – Jatim)


Malam beringsut dengan kabut yang pekat, awan mendung mulai menutupi cakrawala sejak senja mulai beriring menuju peraduan, begitu gelap mulai menutupi bumi maka buncahlah hujan mengguyur, maka tak pelak satupun daun dapat luput dari siraman air hujan yang tertumpah malam itu di diarea makam yang terletak kawasan Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur dimana wadag Kanjeng Sunan Giri beserta kerabat maupun santri santrinya dimakamkan.

Malam itu adalah malam tepat dihari pergantian tahun baru Imlek 2571 atau pada tahun 2020 M, sebagaimana ghalibnya pergantian tahun baru Imlek maka hujan deras adalah semacam tradisi yang selalu menyertainya karenanya hari raya Imlek tak hanya identik dengan petasan, warna merah, dan angpao saja, tapi juga pasti datangnya hujan yang berintensitas tinggi.

Berdasarkan sejarah dan dikutip dari berbagai sumber, hari raya Imlek sendiri berawal dari bentuk rasa syukur orang Tiongkok lantaran datangnya musim semi yang penuh keberkahan dan menurut para ahli fengshui yang dipercayai oleh orang orang Tionghua, maka hujan adalah simbol keberuntungan yang tak melulu soal hidup, tapi juga menyangkut berjalanya karier dan bisnis dalam dunia usaha sehingga intensitas hujan di hari raya Imlek sering dipakai sebagai parameter tentang nisbat keberuntungan, artinya jika hujan berupa rintik rintik atau gerimis saja maka kadar keberuntungan juga dianggap sedikit dan sempit, namun jika hujan berintensitas deras maka keberuntungan yang akan diperoleh dipercaya adalah lapang dan melimpah ruah.

Terlepas dari apapun keyakinannya namun yang jelas hujan telah memberi manfaat tak terkira bagi semua mahluk di bumi dan bagi keyakinan umat Islam maka hujan adalah Rahmat dan Barokah bagi semua mahluk di muka bumi, karena hujan merupakan karunia dari Allah SWT, sehingga menikmati hujan meski hanya mencium aroma hujan atau merasakan kesejukannya maka merupakan manifestasi rasa Syukur kita ke Hadirat Allah SWT atas segala Karunia Nya.

Hujan adalah wujud nyata Rahmat dari Allah SWT untuk seluruh makhluk sebagaimana bunyi QS. As Syura ayat 28 ” Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan Rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” Air hujan yang tertumpah juga merupakan Rizki bagi semua mahluk, media bersuci dan penguat hati, wujud nyata atas kekuasaan Allah SWT serta merupakan peringatan adzab bagi para pelaku maksiat, hikmah hujan sebagaimana tersebut diatas prinsipnya dapat terbaca pada Firman Allah SWT masing masing tersebut dalam QS.Adz-DZariyat : 22, QS.Al-Anfal :11, QS.An-Nahl :65 maupun dalam Qs. Hud : 44.

Hujan malam itu telah membawa kami pada pengembaraan spiritual untuk dapat menarik semampunya hikmah agar kami bisa Istiqomah menundukkan diri dengan kesadaran penuh jika kami adalah hamba – Nya yang lemah lagi kecil.

Media hujan malam itu diperkuat dengan adanya pemandangan yang memaksa kami menyaksikan dengan penuh khidmad atas banyaknya para peziarah yang pantang menyerah bahkan bisa dibilang justru menentang derasnya hujan, karena ratusan peziarah berbagai umur mulai anak anak, dewasa, tua renta muslimin muslimat yang tetap nekat menerabas guyuran hujan deras malam itu tak menghalangi langkah untuk satu persatu menapaki anak tangga menuju puncak area pemakaman.

Hujan deras mengguyur sama sekali tidak menghalangi kami dan ratusan peziarah lain untuk menjejakkan kaki menaiki anak tangga satu persatu, rasa capek dan dahaga rasanya sudah terbayar oleh tumpahan hujan yang membasahi tubuh, rasa diingin akibat basah kuyup pakaian kami tersebut nampaknya telah terbayar tunai pada saat kami mulai sampai pada pelataran utama anak tangga karena pandangan kami disuguhi dengan adanya arsitektur candi bentar yang berbentuk gugusan gapura yang disamping kanan dan kirinya berdiri gagah dua patung berkepala naga terbuat dari batu andesit yang nampak sudah berumur ratusan tahun dan setelah dicermati secara seksama adalah semacam condro sengkolo tentang tanggal wafatnya Kanjeng Sunan Giri kemudian dapat terbaca yaitu tanggal 24 Rabiul Awal tahun 913 Hijriah atau 1506 Masehi, selanjutnya diantara kanan dan kiri anak tangga sebelum mencapai puncak maka terdapat pelataran yang berisi puluhan makam dengan pusara kuno yang merupakan makam bagi para bupati terdahulu atau masyarakat terdahulu yang pernah memimpim dan bertempat tinggal di wilayah Gresik.

Hujan deras malam itu sama sekali bukan menjadi penghalang bahkan justru menjadi tantangan bagi kami maupun ratusan peziarah lain untuk dapat mencapai puncak area makam dan begitu sampai pada puncaknya maka kami sama sekali menjadi lupa akan rasa capek dan kelelahan karena telah bersusah payah memapaki ratusan anak tangga mulai dari bawah dan begitu sampai dipuncak tersebut maka kami disuguhi dengan lenskap bangunan komplek makam Kanjeng Sunan Giri yang berarsitektur klasik, unik dan artistik, dimana cungkup (bangunan pelindung makam) didominasi bahan dari kayu jati dengan motif berukir total nan rumit bertema bunga dengan dibalut cat berwarna gradasi coklat tua kemerahan, semantara terdapat dua patung kayu berbentuk ular naga berukir yang terletak tepat di depan pintu masuk cungkup makam.

Undak undakan anak tangga yang kami tapaki sampai puncak adalah bukit yang dahulu dipastikan adalah salah satu kawasan kraton Giri Kedaton karenanya tak heran jika area menuju pemakaman didesain dengan sangat artistik dan menakjubkan, konon Giri Kedaton adalah salah satu kerajaan Islam dan pesantren pusat dakwah yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri. Sesuai dengan namanya Giri berarti bukit dan Kedaton berarti kerajaan yang pada kurun waktu dari tahun 1470 sampai dengan tahun 1680 di kawasan itu telah terjadi beberapa kali suksesi kepemimpinan dan pemerintahan para sunan yang merupakan keturunan dari pada Kanjeng Sunan Giri (Dinasti Giri).

Kerajaan yang berfungsi sebagai pesantren untuk pusat dakwah agama Islam ini adalah Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang berdiri pada tahun 1470 yang pada saat itu Kerajaan Demak Bintoro belum berdiri, dengan demikian Kerajaan Giri Kedaton merupakan cikal bakal kerajaan Islam di tanah Jawa bahkan dikisahkan jika Kanjeng Sunan Giri lah yang melantik dan menobatkan Raden Patah ketika menjadi Sultan di Kerajaan Demak Bintoro. Raden Patah ketika menjadi Raja pertama Demak bergelar Sultan Syah Alam Al Fatah, Kerajaan Demak berdiri tahun 1478 sampai dengan tahun 1518.

Membaca berbagai literatur sejarah maka Kerajaan Giri Kedaton bisa dikatakan sebagai sebuah pesantren yang memiliki otoritas otonom penuh menyangkut wilayah maupun pemerintahan sendiri yang tak kurang hingga Kerajaan Demak berakhirpun maka otoritas Giri Kedaton juga memiliki peran terhadap pergantian kekuasaan ke Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo (1549-1582) bahkan juga dikisahkan pula otoritas Giri Kedaton juga berperan dalam fase transisi perpindahan kekuasaan kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.

Bahwa, dengan demikian dapat diyakini jika pusat dakwah yang telah didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri tersebut telah mengalami perkembangan fungsi, yang pada awalnya sebagai pusat aktivitas pendidikan dan dakwah agama Islam kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan politik, sebagaimana dapat terbaca dalam Babad Hing Gresik yaitu ‘Raden Paku hanggenipun babat – babat hung nedi kedaton dampun dados wewengkon dalem, saha sampun dados kedaton tunda sapta, sepale kangge shalat sepale kangge tilem”.

Menurut literatur sejarah maka Otoritas Kerajaan Giri Kedaton baru berakhir pada bulan April 1680 M akibat serangan besar-besaran terhadap Giri Kedaton yang dilakukan oleh Mataram Islam era Raja Amangkurat II melalui Panglima perang yaitu Panembahan Natapraja yang didukung oleh VOC–Belanda, yang dikisahkan pada saat itu Santri dari Giri Kedaton selaku Panglima Perang yang bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan setelah berduel melawan Panembahan Natapraja, karena hal tersebut maka pasukan Mataram Islam berhasil mengalahkan pasukan Giri kedaton yang menandai berakhirnya otoritas Kerajaan Giri Kedaton.

Kerajaan Giri Kedaton didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri yang merupakan salah satu anggota Dewan Walisongo periode populer yaitu periode awal awal terbentuknya dinasty Demak, dikisahkan beliau adalah putra Maulana Ishak yang menurut salah satu versi cerita mengisahkan jika Kanjeng Sunan Giri merupakan anak kandung dari pernikahan antara Maulana Ishaq (seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah) dengan Dewi Sekardadu (Putri Prabu Menak Sembuyu penguasa Blambangan), namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit maka oleh Prabu Menak Sembuyu memerintahkan untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, lantas bayi tersebut dihanyutkan ke laut/selat bali sekarang ini.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh kapal milik saudagar kaya yang bernama Nyai Gede Pinatih selanjutnya bayi tersebut diberi nama Joko Samudro, tatkala sudah cukup dewasa maka Joko Samudro dikirim untuk nyantri pada Kanjeng Sunan Ampel, setelah beberapa lama belajar dan dapat diketahui identitasnya maka selanjutnya Joko Samudro bersama dengan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang) dikirim untuk mendalami ajaran Islam di Pasai yang disana Joko Samudro bertemu dengan ayahandanya yaitu Syech Maulana Ishaq dan dari sinilah kemudian diketahui tentang asal usulnya dan setelah Raden Paku pulang ke tanah Jawa kemudian mendirikan Pesantren sekaligus Kerajaan dengan nama Giri Kedaton dengan gelar Prabu Satmata, atau para santri lain juga menyebut Sultan Abdul Faqih yang konon diruntut silsilahnya maka Kanjeng Sunan Giri dari jalur ayahnya Syekh Maulana Ishaq masih terhubung sampai pada Baginda Rasullulah SAW sedangkan silsilah dari ibunya Dewi Sekardadu maka masih ada hubungan dengan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk

Giri Kedaton yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri dan diteruskan oleh para keturunanya tersebut dikisahkan jika hasil dakwahnya memiliki pengaruh kuat di tanah Jawa bahkan sampai melintasi kepulauan di Nusantara yang tersambung sanad keilmuan dalam hubungan guru dan murid.

Pada waktu itu Kanjeng Sunan Giri melalui Giri Kedaton menjadi salah satu sumber keagamaan yang sangat masyur yang konon dikisahkan Kanjeng Sunan Giri lah yang menciptakan gending asmaradana dan pucung selain itu sebagai upaya untuk menarik minat kalangan anak anak maka Kanjeng Sunan Giri menciptakan tembang atau lagu serta beragam permainan dengan memasukkan unsur-unsur jiwa dan filosofi agama misalnya permainan tembang “Dolanan Bocah” dan “Ilir-ilir” atau permainan “Jelungan” /“Jitungan” hal hal tersebut merupakan salah satu metode dakwah dengan mengakulturasikan antara Ilmu Agama dengan adat dan kebudayaan lokal masyarakat sehingga kompleksitas ajaran Islam secara perlahan dapat dipahami dan diikuti oleh Umat yang nyata hasilnya sampai sekarang dapat dilihat jika penduduk Nusantara adalah Umat Islam terbesar di dunia.

Kanjeng Sunan Giri adalah salah satu Ulama Nusantara yang inspiratif dan penuh mabruk karena dari kisahnya kita dapat meneguk banyak keteladanan yang sekurang kurangnya adalah untuk tujuan melestarikan kedaulatan Nusantara maka diperlukan peran serta ulama yang tak hanya memiliki pengetahuan agama yang mumpuni namun juga kepintaran dalam hal pengetahuan umum tentang adat istiadat, budaya, ekonomi dan sosial sekaligus dilengkapi pula dengan kecakapan didalam olah politik untuk menjalankan otoritas kepemimpinan dan pemerintahan sehingga kedaulatan Nusantara melalui bingkai NKRI terus terjaga hingga terwujud kondisi “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yaitu kondisi Bangsa Indonesia yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya yang sejahtera, bahagia lahir dan batin karena Negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam arti tetap senantiasa bersyukur ke Hadirat Allah SWT atas segala Nikmat dan Karunia – Nya.

Didalam area makam terdengar lirih syarat makna dari lantunan para peziarah yang melafadzkan kalimah suci Alquran dengan bacaan tahlil maupun bacaan bacaan tahmid tak terputus yang sayup mengema menembus dinding gebyok merangsup pada sanubari kedalaman rohani yang menerka kehalusan rasa dan budi seraya berucap dalam qolbu inilah kemerdekaan seorang hamba yang Takdzim pada Tuhan Seru Sekalian Alam.

Pintu bangsal di Gapura depan maupun regol pintu sebelah kanan area makam terdengar berderit karena ditutup oleh para juru kunci makam yang berbarengan dengan sayup bunyi adzan subuh yang memanggil umat muslimin agar menunaikan Ibadah sholat subuh, sementara hujan masih mengguyur mengiringi langkah kaki para peziarah dengan seungging senyum bahagia tatkala menuruni anak tangga menuju area parkir bawah.

Dengan bertabaruk menziarahi makam Kanjeng Sunan Giri di Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur adalah salah satu cakrawala optik alternatif untuk mengingat segala kelemahan kita sebagai manusia yang tidak abadi hidup didunia sekaligus memperkaya rohani kita untuk senantiasa menebarkan segala kebaikan agar kita termasuk golongan orang orang yang beruntung.

Semoga Allah SWT meridhoi

Lahul Fatihah

Kebomas, Gresik. 24/01/20. 05. 40 WIB

Sofyan Mohammad
Santri Mogol/ gagal yang kini masih Istiqomah mengasuh pondok kecil di desa dengan santri yang terdiri dari 3 orang anak balita dan seorang istri.

HUKUM SEBAGAI BAGIAN DALAM KEHIDUPAN (Catatan dasar berlakunya hukum dalam kehidupan sehari hari)


Hukum adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, segala aktifitas kehidupan sejak lahir hingga kita meninggal dunia maka adalah peristiwa hukum yang karenanya semua memiliki konsekuensi hukum. Hukum adalah efek narturane yang berarti menjaga eksistensi kehidupan, dalam arti hukum ada dan diadakan adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia atau segala makhluk di alam semesta. Jika kemudian ternyata hukum itu tidak ada maka bagaimana kehidupan itu akan terjaga.

Dalam teoritik secara spesifik maka hukum dimaknai sebagai suatu sistem yang sengaja dibuat untuk mengatur, dalam arti untuk membatasi segala perilaku manusia agar tingkah laku manusia tersebut dapat terkontrol untuk saling menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban demikian hukum adalah aspek fundamental untuk mengatur alat kekuasaan kelembagaan dalam negara selaku pemangku kebijakan, karenanya hukum memiliki tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, untuk itu setiap anggota masyarat berhak untuk mendapatkan pembelaan didepan hukum baik sedang keadaan mengalami problematika hukum maupun sedang dalam menjalankan aktifitas hukum itu sendiri.

Untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam kehidupan sehari hari dalam bermasyarakat maka diperlukan adanya perangkat peraturan atau ketentuan hukum yang dapat diwujudkan dalam bentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis yang kesemuanya memiliki akibat maupun sangsi bagi pelanggarnya, hal tersebut secara subtansi adalah untuk mengatur ketertiban, keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam lalulintas kehidupan tentu terdapat persinggungan hak dan kepentingan antara satu dengan yang lainya maka ketika persinggungan tersebut mencapai puncak, maka kemudian timbul menjadi sebuah masalah atau perkara, demikian hukum dibentuk juga menyangkut upaya penyelesaian masalah atau perkara, sehingga dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui mekanisme dan proses yang disebut dengan tata cara, adapun mekanisme penyelesaian masalah hukum disebut dengan hukum formil, sedangkan aturan yang menyebutkan sangsi sangsi tertentu disebut hukum materiil. Proses hukum formil adalah untuk menegakan hukum materiil dan ending dari pada hukum materiil adalah putusan peradilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan demikian penegakan hukum materiil melalui hukum formil bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat main hakim sendiri (eingirechting).

Dalam kehidupan sosial sehari hari terdapat varian mainstream hukum yaitu hukum pidana dan hukum perdata, meski kemudian dapat diketahui jika hukum itu sedemikian komplek namun hukum pidana dan hukum perdata adalah ranah yang paling menyentuh dalam kehidupan sehari hari masyarakat.

Hukum pidana adalah hukum yang menyangkut publik, dimana pelaksanaannya sepenuhnya berada di dalam tangan negara selaku pemangku kebijakan hukum. Hal yang diluar kewenangan negara dilingkup pidana sebagai sebuah pengecualian adalah terhadap delik-delik aduan (klacht-delicht) yang berarti diperlukan adanya suatu pengaduan (klacht) terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar negara dapat menerapkannya. Penerapan Hukum Pidana dalam kehidupan sehari hari masyarakat pada saat sekarang lebih diorientasikan pada kepentingan umum, dimana hubungan antara pelaku dengan korban bukanlah hubungan antara yang dirugikan dengan yang merugikan sebagaimana dalam Hukum Perdata, namun hubungan itu ialah antara orang yang bersalah dengan Pemerintah yang bertugas menjamin kepentingan umum atau kepentingan masyarakat sebagaimana ciri dari hukum publik.

Menilik pada proses berlakunya maka hukum pidana dalam kehidupan sehari hari memiliki tujuan yaitu :

  1. Memperbaiki pelaku kejahatan agar bisa berubah dan bisa kembali hidup normal dan berguna bagi masyarakat (Reformations)
    2.Mengasingkan pelanggar dari
    masyarakat sebagai sebuah konsekuensi hukuman (Restraint)
  2. Pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan (Retribution)
  3. Pelaku tindak pidana sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat hukuman pidana yang dijatuhkan (Deterrence).

Bagi pelaku kejahatan yang dihukum dalam peradilan pidana maka bentuk hukumanya adalah :

  1. Perampasan kemerdekaan yang meliputi pidana penjara, pidana kurungan dan dahulu juga berlaku pidana pembuangan, pidana pengasingan, pidana pengusiran, pidana penawanan dan ada juga bentuk pidana kehormatan pelaku misalnya pencabutan hak tertentu misalnya pencabutan izin mengemudi, pencabutan hak politik dan ada juga hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
  2. Dahulu juga diberlakukan bentuk hukuman yang berupa pidana badan pelaku, pencambukan, pemotongan bagian badan (potong jari tangan), dicap bara dan lain sebagainya.
  3. Hukuman pidana atas harta benda/kekayaan, pidana denda, perampasan barang
    tertentu, membayar harga atau barang yang tidak belum dirampas sesuai taksiran dan lain sebaginya.

Pelaksanaan hukuman pidana umum secara materiil mengacu pada ketentuan yang di atur dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan untuk pidana khusus lainnya biasanya diatur dalam undang undang tersendiri secara khusus yang disebut dengan undang undang pidana diluar kodifikasi misalnya undang undang tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana HAM dan lain sebagainya yang pada intinya dalam peraturan tersebut juga menyangkut regulasi bentuk hukuman atas segala pelanggaran hukum (kejahatan)
yang ringan sampai dengan kejahatan yang berat serta pelanggaran yang ringan
sampai dengan pelanggaran yang berat.

Untuk memastikan adanya berjalannya hukum maka ada gerakan yang disebut dengan penegakan hukum yang dapat diartikan sebagai sebuah tindakan untuk menerapkan perangkat sarana hukum tertentu guna memaksakan sanksi hukum agar dapat menjamin penataan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, adapun tata cara penegakan hukum pidana secara umum yang disebut sebagai hukum formil diatur dalam ketentuan dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Penyelesaian perkara dengan jalan pidana adalah obat terakhir setelah semua cara yang bersifat kekeluargaan ditempuh namun tidak membuahkan hasil, penyelesaian hal ini dalam hukum pidana dikenal dengan istilah “ultimum remedium” yang merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang intinya mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum, hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.

Bahwa, keteraturan hidup bermasyarakat menjadi salah satu tujuan bernegara dan pemerintah selaku pihak yang menjalankan kebijakan hukum maka haruslah memiliki dasar dan untuk Negara Indonesia maka dasar penegakan hukum tertumpu pada konstitusi kita yang dapat terbaca bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang jelas sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Hukum (rechtaat) dalam kehidupan
bernegara, salah satu yang harus ditegakkan
adalah suatu kehidupan hukum di dalam
kehidupan bermasyarakat, dengan demikian jelas negara kita bukan negara kekuasaan (machtaat).

Sebagaimana telah disebutkan di atas jika dua mainstream hukum yang menyangkut kehidupan sehari hari masyarakat adalah hukum pidana dan hukum perdata yang mana keduanya memiliki perbedaan dalam aspek pemberlakuan maupun tata cara penegakannya yaitu jika hukum pidana sendiri bersifat publik dan mengenal asas ultimum remedium (upaya terakhir) untuk menyelesaikan suatu perkara maka berbeda halnya dengan hukum perdata yang lebih bersifat privat karena lebih menitik beratkan pada aspek pengaturan mengenai hubungan antara orang perorangan atau kepentingan antar subyek hukum, sehingga secara dasar dapat diketahui jika hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak dan kepentingan antar individu dalam masyarakat.

Dalam hukum perdata maka yang disebut dengan perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan (subjek hukum) yang satu dengan perseorangan (subjek hukum) yang lain mengenai hak dan kewajiban/perintah dan larangan dalam lapangan keperdataan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual beli, sewa, pembagian harta bersama, dsb). Berbeda dengan hukum pidana maka penerapan sangsi dalam hukum perdata biasanya menyangkut sisi materi misalnya tuntutan ganti kerugian, pengembalian pada keadaan semula dan lain sebagainya yang untuk memastikan berjalanya sebuah tuntutan atau agar tuntutan tidak sia sia (ilusionir) maka dalam perkara perdata juga dikenal pemberlakuan sita jaminan, uang dwangsong (ganti rugi sebagai konsekuensi atas keterlambatan pembayaran) maupun pelaksanaan eksekusi riil. Korelasi – perbedaan diantara keduanya secara singkat adalah jika dalam setiap perbuatan pidana maka ada unsur perdata namun dalam perbuatan keperdataan belum tentu ada unsur pidananya yang untuk membedakan maka diperlukan pencermatan secara utuh atas bentuk perbuatan hukum berikut mekanisme penyelesaianya.

Dengan memahami skema singkat tentang hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari hari maka diharapkan semua manusia selaku subyek hukum hendaknya dapat berperilaku yang seimbang antara hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat sehingga tidak terjadi benturan hak dan kepentingan antar sesama anggota masyarakat dengan demikian tercapai kehidupan yang tertib, berbudaya dan beradab.

Bertolak dari ilustrasi dasar tentang hukum adalah bagian dari kehidupan sehari hari kita sebagai manusia tersebut diatas maka pertanyaannya adalah apakah kita sudah merasa menjadi bagian dari hukum itu sendiri…?

Tengaran, 09/02/20.

Penyuluhan Hukum
LBH Ansor Kab. Semarang

  • Sofyan Mohammad
    Praktisi hukum yang sehari hari tinggal di Desa bantaran kali Serang.

SIRAH MAQOSIDANA Sambung Ruh Ulama Nusantara KI AGENG SINGOPRONO


Dalam beberapa kisah tutur yang berkembang maupun catatan sejarah maka kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M sebagaimana tertuang dalam Serat Kanda dengan candrasengka yang berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” yang berarti 1400 saka atau 1478 M, selanjutnya pusat kekuasaan bergeser ke Glagah Wangi sebagai pusat ibukota kerajaan Demak Bintoro dengan Raja adalah Raden Patah atau Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah yang merupakan anak kandung Prabu Brawijaya dengan istri selir yang bernama Siu Ban Chi yang juga dikenal dengan nama Putri Cina, Raden Patah memerintah kerajaan Demak hingga tahun 1518 M.

Prabu Brawijaya di kisahkan memiliki 117 orang anak dari dari perkawinannya dengan banyak istri mulai dari Permaisuri hingga selir selir dari berbagai suku bangsa, setelah kerajaan Majapahit runtuh maka para keturunan Prabu Brawijaya tersebut sebagian besar diantaranya pergi menjauh dari kekuasaan dan tinggal untuk menetap di berbagai wilayah pedalaman untuk memilih hidup sebagai seorang petani biasa yang menyamarkan gelar kebangsawanan, sebagian ada yang memilih pilihan hidup sebagai pertapa atau rohaniawan dan sebagian lainnya ada yang menjadi penguasa dibeberapa wilayah kekuasaan Demak.

Imbas dari pergeseran kekuasaan dari Trowulan ke Demak Bintoro juga menyisakan konflik politik berkepanjangan karenanya salah satu putra Prabu Brawijaya yaitu Jaka Bandem atau Joko Dandun yang merupakan anak urutan ke 32 bersama para pengikutnya keluar dari pusat kerajaan yang telah runtuh untuk mencari daerah yang dianggap aman dan tenang, mereka menyisir jalur pantai selatan jawa menuju arah barat yang pada saat itu merupakan kawasan yang tidak pernah dirambah orang dan disebut sebagai kawasan “jin buang anak” yang berarti kawasan yang asing dan menakutkan, dikisahkan dalam perjalananya tersebut bertemu dan berguru dengan Syeck Maulana Maghribi yang pada akhirnya setelah memasuki maqom spiritual tertentu maka Joko Dandun/ Joko Bandem dikenal masyarakat dengan sebutan Syech Bela Belu yang dikisahkan dengan kewaskitaan yang dimilikinya beliau berdakwah di kawasan Parangtritis hingga akhir hayatnya yang dapat dilihat sampai sekarang adalah keberadaan makamnya.

Syech Bela Belu memiliki keturunan salah satunya adalah Ki Ageng Wongsoprono I yang dahulu dari wilayah Parangtritis melakukan pengembaraan hingga sampai dan menetap di daerah Simo yang sekarang masuk wilayah Mlangen, Kelurahan Walen, Kec. Simo, Kabupaten Boyolali, selanjutnya Ki Ageng Wongsoprono I memiliki anak Ki Ageng Wongsoprono II dan menurunkan anak tunggal yang bernama Ki Ageng Singoprono, dengan demikian Ki Ageng Singoprono adalah keturunan atau Dzuriah Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit.

Semasa hidup Kita Ageng Singoprono menikah dengan Nyai Ageng Tasik Wulan mereka hidup bahagia sebagai seorang petani selain itu sang Istri juga ahli membuat dawet untuk dijual dipinggir jalan didekat rumah tinggalnya, aktifitas Ki Ageng Singoprono dan istri adalah salah satu media dakwah agama kepada masyarakat sekitar, dikisahkan beliau merupakan seorang sufiistik yang kuat dalam menjalani laku spiritualis Islam karenanya dengan kewaskitaanya yang dikemas dengan kebijaksanaan dan keluhuran budi maka Ki Ageng Singoprono selain mengajarkan tentang keluhuran laku Agama Islam maka juga mengajarkan tehnik bercocok tanam yang baik bahkan dikisahkan beliau ahli pula didalam menjinakkan hama tikus yang sering merusak tanaman pertanian, karena hal tersebut maka dahulu kawasan tersebut merupakan hutan yang kering namun selanjutnya bisa berubah menjadi lahan pertanian yang subur karenanya membawa Barokah dengan memberi kesejahteraan hidup bagi masyarakat sekitar.

Ki Ageng Singoprono mendakwahkan Agama Islam dengan penuh kearifan dimana kekompleksitaan fiqih Agama Islam diimplementasikan dengan cara yang sederhana dan bernas agar dapat diterima oleh masyarakat yaitu melalui bentuk ‘sanepan” yang simbolik misalnya minuman dawet yang sengaja dibuat dan dijual oleh Nyai Ageng Tasik Wulan adalah minuman yang menyegarkan ketika diminum pada saat dahaga yang merupakan perlambang jika Agama Islam ketika diamalkan secara benar dan baik maka akan menjadi pengobat kegersangan hidup menuju ketrentraman hidup, selain itu dawet dalam tradisi jawa dimaknai sebagai kebulatan tekad dalam arti kebulatan tekad masyarakat untuk memeluk agama Islam sebagai agama yang memberi keselamatan dunia dan akhirat karenanya dawet merupakan simbolik ajaran hidup yang pada hakikatnya kehidupan manusia di dunia sejatinya dimulai, ‘dinafkahi’ dan kembali berkalang dengan bumi.

Karena kebijaksanaan dan keteladanan tersebut maka secara perlahan wilayah sekitar Walen Simo menjadi ramai untuk dibangun perkampungan dan pemukiman dan para penduduk setempat merasa mendapatkan ketentraman dan kebahagian hidup karenanya kabar kemasyuran Ki Ageng Singoprono sampai kepada Raden Patah di Demak Bintoro, hingga pada akhirnya pada saat Ki Patih Wanasalam utusan Raden Patah sedang melakukan perjalanan menuju Pengging untuk memperingatkan (tabayun) sebelum diserang oleh pasukan Demak maka Patih Wanasalam dengan menyamar sebagai rakyat biasa, sendirian menemui Ki Ageng Singoprono yang dikisahkan Kyai Ageng Singoprono dengan kedalaman batin yang dimiliki mengetahui jika tamunya tersebut bukan orang biasa namun seorang Patih utusan Raja, maka saat sang tamu sudah masuk didalam rumah dipersilahkan duduk di atas bale bale, selanjutnya Ki Ageng Singoprono berturut-turut melakukan sembah penghormatan, karena hal tersebut sang tamu yang sebenarnya Patih Wanasalam turun dari bale dan Kyai Singoprono langsung dipeluk serta dipuji sebagai Kyai yang Waskitha, selanjutnya Ki Patih mengutarakan maksudnya meminta pendapat dalam rencana Demak untuk menyerang Pengging, atas hal tersebut Ki Ageng Singoprono tidak menyetujui gagasan itu dengan menerangkan jika Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging) pada dasarnya tidak akan memberontak kepada Kerajaan Demak karena Ki Ageng Pengging tersebut adalah pejabat yang jujur serta seorang yang alim dengan keluhuran ilmu yang dimiliki sehingga mempunyai karomah, Ki Ageng Singoprono berpendapat jika Ki Ageng Pengging hanya difitnah oleh orang yang tidak suka padanya terlebih setelah berguru pada Syech Siti Jenar, sehingga untuk menyadarkan Ki Ageng Pengging agar mau sowan untuk tunduk pada Demak maka Ki Ageng Singoprono menyarankan agar Demak tidak perlu menggunakan pasukan tetapi cukup dengan kebijaksanaan dan kesabaran.

Saran dan nasehat tersebut selanjutnya ditafsirkan oleh pihak Demak sebagai usaha Ki Ageng Singoprono untuk menghalangi maksud Demak menyerang Pengging, bahkan sempat muncul anggapan jika Ki Ageng Singoprono telah bersekutu dengan Ki Ageng Pengging yang dikaitkan dengan aktifitas keduanya yang sama sama hidup sederhana layaknya rakyat biasa padahal diketahui keduanya adalah berdarah Bangsawan keturunan Prabu Brawijaya yang masih memiliki hak tahta atas Majapahit.

Menurut mitos yang berkembang maka segala keluhuran budi dan kewaskitaan Ki Ageng Singoprono tersebar sampai di seluruh daerah sekitar, namun ternyata hal tersebut membuat Ki Rogo Runting yang notabebenya adalah sahabatnya sendiri menjadi iri dengki, karenanya Ki Rogo runting ingin menguji kesaktian Ki Ageng Singoprono dengan cara memprovokasi melalui kesaktian yang dimilikinya yaitu dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Rogo Runting ke selatan (sekarang masuk Desa Nglembu, kecamatan Sambi, Boyolali) diatas benang dililitkan sebutir telur dan ajaibnya telur tersebut tidak jatuh justru terus menggelinding diatas benang hingga telur tersebut membentur gunung sebelah selatan yang merupakan wilayah Ki Ageng Singoprono, hingga terdengar suara keras dan menggelegar dan mengakibatkan gunung tersebut tugel / putus puncaknya yang pada akhirnya gunung tersebut hingga saat ini disebut dengan Gunung Tugel.

Atas provokasi tersebut tidak membuat Ki Ageng Singoprono melakukan pembalasan dan rupanya justru dianggap oleh Ki Rogo Gunting sebagai bentuk sikap yang meremehkan hingga Ki Rogo Gunting terus melakukan tindakan provokatif lainnya, karena hal tersebut maka Ki Ageng Singoprono meladeni dengan cara yang sama yaitu mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan wilayah Rogo Runting, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung tersebut rusak, namun justru membuat tubuh Ki Rogo Runting hancur berkeping keping berkalang tanah dan tewas seketika dan jasadnya kemudian dimakamkan di daerah perbatasan kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo runting.

Segala keteladanan, sifat tawadlu’ dan keluhuran budi dan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Singoprono nampaknya masih menjadi inspirasi bagi warga sekitar hingga saat ini yang dapat dilihat betapa banyaknya para peziarah yang nyaris tak pernah sepi melakukan ziaroh di Makam Ki Ageng Singoprono dengan melafadzkan kalam kalam illahi dengan penuh ketakdziman dan kekhususan untuk mendapatkan barokah karomah dari sosok Ki Ageng Singoprono.

Semoga Allah SWT Meridhoi

Lahul Fatihah

Sofyan Mohammad, Gunung Tugel, 14/02/20
02.30 WIB

SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) R. Ng. RONGGOWARSITO* (Palar, Trucuk, Klaten)


“amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawanwaspada”
(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)

Salah satu penggalan bait yang sangat populer dan familier bagi orang Jawa khususnya atau bahkan masyarakat Nusantara umumnya, bait syair tersebut tertuang dalam Serat Kalatida yang merupakan salah satu karya Agung R. Ng. Ronggowarsito semasa hidup. Syair penuh makna dalam Serat Kalatida tersebut secara subtansi rasa rasanya tidak akan usang oleh perkembangan zaman, karena maksud yang tersirat dalam bait tersebut tentu masih relevan untuk menggambarkan potret keadaan zaman ke zaman bahkan justru semakin relevan ketika diadopsi untuk menggambarkan situasi di zaman milineal serba digital seperti sekarang ini.

Raden Ngabehi Ronggowarsito masyur sebagai seorang Pujangga sekaligus sufistik yang sangat melegenda di tanah jawa pada abad 18an beliau seorang yang sangat produktif dengan mewariskan banyak karya tulis, sebagaimana diketahui jika dalam kapasitasnya sebagai seseorang sufistik maka dalam dunia tasawuf beliau pernah membuat karya yang sangat monumental yaitu Serat Wirid Hidayat Jati dan Serat Ma’lumat Jati yang di dalamnya merupakan sebuah medium dengan telaah tertinggi dari laku spritual dalam kehidupan sufistiknya, karya tersebut pada intinya mengupas secara mendalam risalah tentang Dzat, Shifah dan Af’al Allah yang dapat diurai secara komprehensif hingga mengerucut dalam bentuk manifestasi laku spritual yang disebut sebagai salat daim.

Salat daim adalah kontinuitas laku shalat dari saat ke saat yang dijelaskan sebagai, “Salat angiras nyambut gawe, anglakoni panggaweyan kasambi salat, alungguh sarwi lumaku, lumaku karo andheprok, lumayu sajroning mandheg, ambisu karo acarita, lunga karo aturu, aturu karo melek…” (Shalat sembari bekerja, bekerja sambil terus shalat, duduk dengan berjalan, berjalan dalam keadaan duduk, berlari dalam keadaan berhenti, membisu sambil bercerita, bepergian dengan tidur, tidur dalam keadaan terjaga)

Menurut beberapa catatan maka beliau mengawali proses intelektual dan spiritual yang dituangkan dalam karya adalah pada saat beliau berusia 20 tahun ketika menyusun sebuah karya yang berjudul Serat Jayengbaya, dimana karya ini adalah titik balik awal pengembaraan untuk menemukan puncak episentrum rohani dan intelektualnya sebagai seorang spiritualis sekaligus pujangga yang legendaris.

Penyusunan Serat Jayengbaya adalah ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko, dalam serat ini dinukilkan tentang tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang memiliki pribadi yang konyol dan lincah untuk mengembara dalam khayalannya tentang pekerjaan.

R. Ng. Ronggowarsito depanjang hidupnya sejak mulai serius menekuni dunia kasustraan sekaligus dunia spiritual yaitu sejak tahun 1826 hingga 1873 (47 tahun berkarya) maka R. Ng. Ronggowarsito telah menghasilkan tidak kurang dari 60 judul buku/ kitab/ serat dengan beragam bahasan, yang tertuang dalam karya tulis tentang falsafah, kebatinan, lakon-lakon wayang, cerita Panji, dongeng, babad, sastra, bahasa, kesusilaan, adat istiadat, pendidikan, primbon, ramalan, dan sebagainya, karena hal tersebut maka tak mengherankan jika beliau satu satunya Pujangga Nusantara yang sangat legendaris dengan karya yang belum dapat tertandingi hingga saat ini.

Sebagai seorang intelektual R. Ng. Ronggowarsito juga menulis banyak hal tentang sisi kehidupan dan setelah memasuki masa kematangannya sebagai seorang pujangga maka dengan cara yang cerdas, kreatif dan gemilang mampu merefkesikan suasana batin dengan merekam protet dinamika jaman secara utuh dan bernas melalui karya serat yang ditulisnya. Dalam kapasitasnya selaku intelektaul maka R. Ng. Ronggiwarsito menulis Serat Kalatidha mupun Serat Jaka Lodhang yang lebih fokus pada lingkup ramalan zaman bahkan melalui Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.

Dari berbagai literatur dapat terbaca jika gerak intelektual dan spiritual R. Ng. Ronggowarsito bisa bertolak dari beberapa hal yang pertama bisa dilihat dari garis nasab atau keturunan yang secara genetik maka R. Ng. Ronggowarsito berasal dari keturunan bangsawan yaitu dari garis ayahnya, adalah keturunan ke -10 dari Sultan Hadiwijoyo, pendiri Kerajaan Pajang dengan urutannya adalah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) berputra Pangeran Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya berputra Pangeran Mas atau Panembahan Radin berputra Pangeran Wiramenggala I (Kejaroan) berputra Pangeran Wiraatmaja berputra Pangeran Wirasewaya berputra Pengeran Danupati berputra Pangeran Danupaya berputra R.T. Padmanegara berputra R.T. Yasadipura I berputra R.T. Sastranegara
disebut pula Raden Ngabehi Yasadipura II dan juga disebut Raden Ngabehi Ronggowarsito I ketika masih berpangkat Panewuh. R.Ng. Ronggowarsito I berputra R.Ng. Ronggowarsito II berpangkat Carik. R.Ng. Ronggowarsito II
berputra R.Ng. Ronggowarsito III yang ketika masih kanak-kanak bernama Bagus Burham.

Sedangkan silsilah R. Ng. Ronggowarsito dari jalur ibu menurut sumberBabad Ronggowaristo dengan urutan adalah
Sultan Trenggana berputra R.T. Mangkurat berputra R.T. Sujanapura I (Pujangga Pajang). berputra R.T. Sujanaputra II (Pujangga
Pajang) berputra R.T. Wangsabaya I
berputra Kyai Ageng Wangsabaya II, berputra Kyai Ageng Wangsataruna (Dimakamkan di Palar Klaten satu komplek dengan R. Ng. Ronggowarsito)berputra Nayamenggala berputra Kyai Ageng Nayataruna berputra R.Ng. Sudiradirjka I mempunyai anak perempuan bernama Raden Nganten Ronggowarsito II yang terkenal dengan sebutan Nyai Ajeng Ronggowarsito berputra R.Ng. Ronggowarsito III atau nama kecilnya Bagus Burham

Faktor lain yang semakin menggeliatkan intelektual dan spiritual R.Ng. Ronggowarsito karena pendidikan yang dijalaninya yang dikisahkan jika sejak kecil beliau sudah diajarkan untuk membaca kitab kitab klasik bahkan sejak kecil pula sudah diperkenalkan dengan Kitab Nitisutri karya leluhurnya yaitu Raden Tumenggung Sujanaputra yang terkenal dengan sebutan Pangeran Karanggayam, seorang pujangga Kraton Pajang, kegemarannya membaca sejak kecil ditanamkan oleh R.T. Sastranagara, kakeknya, yang juga pujangga kraton Surakarta.

R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil yaitu Bagus Burhan pada tahun 1728 J atau 1802 M, selanjutnya kakeknya yang bernama R.T. Sastronagoro lah yang dapat menemukan bakat besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal dan nakal, karena hal tersebut maka selanjutnya Bagus Burham kecil di kirim untuk nyantri ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari. Karena sebagai seorang putra bangsawan maka Bagus Burham mempunyai seorang emban (pamomong) sekaligus guru mistiknya yang bernama Ki Tanujoyo. Dikisahkan Bagus Burham di Pondok Pesantren sangat bandel, nakal dan tidak disiplin bahkan malas malasan untuk belajar ilmu agama, karena lebih suka berkawan dengan para warok, bersabung ayam dan lebih senang mempelajari ilmu kesaktian dan Kanuragan, karena hal tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari menjadi sangat marah, bahkan Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sempat diusir dari pesantren, karena diusir keduanya lantas berkelana di kawasan Jawa Timur, namun beberapa lama setelah keluar dari lingkungan Pesantren justru membuat Kyai Kasan Baseri menjadi bingung dan menyesal hingga selanjutnya mengutus muridnya bernama Kromoleyo yang dianggap mengenal watak Bagus Burham untuk mencari dan menemukan dimana pun berada, setelah sekian lama mencari pada akhirnya dapat ditemukan di sebuah pasar di Madiun yaitu ketika Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sedang menonton “Rodad” kesenian tradisional berupa sendratari dan kanuragan, lalu keduanya diajak balik lagi ke pesantren dan setelah itu Kyai Kasan Besari lebih serius mendidik Bagus Burham yang menurut Babad Ronggowarsito di kisahkan pada saat itu Kyai Kasan Besari menghukum Bagus Burham dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren selama 40 hari yang sehari-harinya hanya makan sebuah pisang.

Setelah kejadian tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari benar benar mencurahkan ilmu agama pada Bagus Burham dan ternyata tidak butuh yang lama bagi Bagus Burham untuk menguasai berbagai ilmu yang diberikan Kyai Kasan Baseri bahkan hingga akhirnya Bagus Burham sempat diangkat sebagai badal atau wakil Kyai Kasan Besari di pesantren dan pada tahun 1815 Bagus Burham kembali ke rumah dengan bekal ilmu Agama dari Pesantren Kyai Kasan Besari itu kemudian dirumah Bagus Burham juga dididik secara disiplin oleh kakeknya, Sastronegoro dengan ilmu kasusastran serta bahasa Jawa kuno dan Kawi dari Panembahan Buminoto, maka akhirnya Bagus Burham tuntas mereguk ilmu spiritual dan kasusastran, melihat kepandaian dan bakat besar dari Bagus Burham maka Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V agar Bagus Burham yang saat itu berumur 19 tahun agar dapat diberi pekerjaan dan tempat yang layak di keraton, namun usul tersebut ditolak, padahal waktu itu Bagus Burham sudah menikah dengan Raden Ayu Gombak, karena tak memiliki pekerjaan maka akhirnya Bagus Burham mengajak serta Ki Tanujoyo untuk melakukan gembaraan lagi guna menyempurnakan ilmu yang didapat.

Pengembaraan Bagus Burham hanya berdua dengan Ki Tanujaya dan meninggalkan istrinya dirumah, pengembaraan menyusuri daerah bang wetan (Jawa Timur), Madura hingga sampai di Pulai Bali, di setiap daerah yang disinggahi maka Bagus Burham selalu berguru dengan “orang orang Waskito” yang ditemukan di manapun berada dalam pengembaraan tersebut.

Diriwayatkan setelah tampuk kekuasaan di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat beralih dipegang oleh Sinuwun Paku Buwono VI, maka pada tahun 1822 Bagus Burham diminta kembali ke keraton dan ditempatkan sebagai juru tulis dan sejak saat itu Bagus Burham memperoleh nama dan gelar yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito III.

Baru sekitar 2 tahun menjabat sebagai juru tulis di Kraton namun kemudian berlangsung hiruk pikuk Perang Diponegoro (1825-1830) yang berefek pada konstelasi di Kraton Kasunanan Surakarta karena diketahui jika Sinuwun Paku Buwono VI berpihak pada Pangeran Diponegoro dan tentu saja R. Ng Ronggowarsito juga demikian ikut berpihak pada perjuangan Pangeran Diponegoro sementara banyak diantara punggawa kraton justru berpihak pada Belanda, intrik demi intrik politik terus berlangsung di lingkungan Kraton yang sampai pada akhirnya membuat Sinuwun Paku Buwono VI menanggung konsekuensi yaitu harus dibuang ke Ambon hingga wafat di sana pada tahun 1849.

Kondisi politik yang berakhir pada pembuangan Sinuwun Pakubuwono IV juga berakibat kurang baik bagi R.Ng Ronggowarsito sendiri karena terus mendapatkan tekanan dari para pembesar Kraton yang pro Belanda bahkan tak kurang sering menjadi sasaran kesalahan yang dicari cari.

R. Ng. ‎‎Ronggowarsito meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 1873, tepat seperti apa yang beliau tulis sendiri dalam kitab Sabdajati yaitu pada hari Rebo Pon dan pada akhirnya R. Ng. Ronggowarsito dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten yang merupakan Desa tempat kelahirannya yang juga desa asal ibu Kandungnya, di Desa ini pula beliau dahulu menghabiskan waktu masa kecilnya.

Dengan bertabaruk sambang di makamnya sembari melafadzkan ayat suci Al Qur’an dan mengetam diri dengan bacaan tahlil dan tahmid dengan suingging doa yang tercurah untuk senantiasa mengharap Rahmad dan Hidayah dari Allah Wala Ja’ala Tuhan Seru Sekalian Alam, maka kita akan memasuki dimensi ritualitas konfirmasi diri untuk menyadarkan diri kita sendiri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dengan harapan menjadi orang yang bermanfaat dan penuh mabruk yang sekurang kurangnya mampu memiliki kesadaran perilaku untuk selalu “éling klawan waspada dalam memapaki
zaman édan” seperti pesan R. Ng. Ronggowarsito dalam bait serat kalatido.

Semoga Allah SWT Meridhoi.

Lahul Fatihah.

Pakar, Trucuk, Klaten
21/02/20.

  • Dioleh dari berbagai sumber dan wawancara dengan Juru Kunci Makam
    ** Sofyan Mohammad
    Ketua LPBHNU Kota Salatiga.

TERTIB ADMINISTRASI DAN SERTIFIKASI ASET ASET ADALAH KEHARUSAN BAGI JAMIYAH NU (Catatan singkat langkah awal mewujudkan visi Jam’iyah NU)


Nahdlatul ‘Ulama (NU) merupakan organisasi masa keagamaan Islam terbesar di Indonesia bahkan bisa jadi terbesar di dunia jika ditinjau dari jumlah pengikut yang mengamalkan amaliah dan aqidah Aswaja NU.
Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi yang dalam konstelasi sejarah bangsa Indonesia maka NU terekam telah memainkan peran dan perjuangan yang cukup signifikan dalam setiap periodisasi sejarah karenanya tak berlebihan dikatakan jika NU menjadi salah satu garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, konsisten untuk terlibat secara aktif dalam mengisi kemerdekaan dan kukuh didalam mempertahankan Pancasila dan kedaulatan NKRI.

Jam’iyah NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di Indonesia mulai dari masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga orde reformasi pada saat ini, dalam perjalanannya maka NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, pada masa-masa awal setelah didirikan maka NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan Indonesia, salah satu upaya adalah memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pondok pesantren.

NU sebagai Ormas keagamaan yang berdiri sebelum Indonesia merdeka maka NU tercatat sebagai Badan Hukum sejak jaman kolonial yang bisa terbaca dalam Gouverment Besluit sejak tanggal 6 Februari 1930 sebagaimana tercatat dalam Besluit Rechtspersoon No IX tahun 1930, lantas setelah Indonesia Merdeka maka status badan Hukum NU secara mutatis mutandis terkonversi melalui ketentuan Pasal 83 huruf b UU No. 7 tahun 2013 Tentang Ormas yang disebutkan bahwa Ormas yang sudah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 No 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum, yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dan konsisten mempertahankan NKRI maka tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa, karenanya tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai ketentuan UU ini.

Bahwa, dengan mengingat pertimbangan dalam UU No. 7 tahun 2013 Tentang Ormas tersebut, maka Organisasi NU sebagai badan hukum tidak perlu mendaftarkan ulang kepada Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, begitu juga badan otonom (BANOM) yang berada di bawah Organisasi NU, karenanya dapat diberikan Dana Hibah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 450.7/1003/POLPUM, tanggal 10 Maret 2016 maupun dapat pula terbaca dalam Surat Keputusan PBNU Nomor: 45/A.II.04/02/2016 Tentang penulisan Nama Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama di Dalam Buku Sertipikat tertanggal 4 Februari 2016, yang menyatakan: Pertama : Penulisan Nama Perkumpulan Badan Hukum Nahdlatul Ulama di dalam Buku Sertipikat Wakaf maupun Hak Milik Nahdlatul Ulama adalah PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA BERKEDUDUKAN DI JAKARTA. Kedua: Penulisan di dalam buku Sertifikat Wakaf yang diterima oleh Perkumpulan Nahdlatul Ulama agar tidak mencantumkan nama nama pengurus yang mewakili dan/atau bertindak atas nama Nahdlatul Ulama.

Bahwa, berdasarkan Surat Edaran PBNU Nomor: 497/C.I.34/03/2016 menyatakan bahwa : Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh tingkatan kepengurusan, Lembaga-Lembaga dan Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama, adalah suatu perangkat organisasi yang keberadaannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perkumpulan Jamiyyah Nahdlatul Ulama dan telah memiliki Badan Hukum, serta dapat menerima Dana Hibah dari Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Daerah

Sebagai badan hukum yang resmi dan legitimate maka dipandang perlu dan mendesak agar Jam’iyah NU dapat melakukan tertib administratif didalam melakukan sertifikasi atas aset aset yang dikuasai, dimanfaatkan, dipergunakan untuk keperluan kegiatan Jam’iyah NU, yang mana dapat dilihat dari usia NU yang sudah ada sejak Indonesia merdeka kemudian struktur kepengurusan yang terbentuk dari tingkat Pusat (PB), Wilayah (PW) Cabang (PC), Kecamatan (MWC), Desa (Ranting) dan tingkat Dukuh/ RW (Anak Ranting) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang disana tentu terdapat aset aset penunjang kegiatan misalnya bangunan Kantor organisasi, Madrasah, Pondok Pesantren, Masjid maupun unit unit usaha maka dapat dibayangkan berapa banyak aset penunjang yang dimiki oleh Jam’iyah NU. Tertib administrasi dan Sertifikasi aset sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat banyaknya problem yang muncul di berbagai daerah yang menyangkut status aset aset tersebut, dengan tertib administrasi dan Sertifikasi aset maka secara yuridis terdapat kepastian yang dapat meminimalisir konflik hukum antara Jam’iyah NU dengan pihak lain baik bersifat perorangan maupun badan hukum lain.

Problem yang sering ditemui oleh Jam’iyah NU pada umumnya adalah menyangkut pemanfaatan dan penguasaan atas aset aset baik yang berupa tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya karena dapat dimaklumi jika dahulu Jam’iyah NU sering tidak tertib didalam melakukan managemen pengelolaan aset yang berbasis tertib administratif dan sertifikasi aset dimaksud, sering kita jumpai aset aset tersebut tidak tersertifikasi atas nama Badan Hukum NU padahal diketahui aset aset tersebut secara berturut turut puluhan tahun dikuasi dan dimanfaatkan oleh Jam’iyah NU, lebih dari itu jika aset tersebut dahulu berupa Waqaf baik dari Waqif perorangan maupun dari Waqif badan hukum atau dari pemerintah yang dalam subtansi waqaf adalah untuk Jam’iyah NU namun kenyataannya apa yang tertuang dalam Ikar Waqaf maupun alas hak perolehan tidak secara spesifik menyebutkan untuk Badan Hukum NU namun sering ditulis secara general misalnya hanya ditulis untuk keperluan pendidikan dan dakwah Islam begitu saja, sehingga dikemudian hari menjadi depatable yang multi tafsir yang sangat berpotensi muncul permasalahan dikemudian hari. Demikian jika perolehan aset dari Waqaf maka banyak ditemui jika yang bertindak selaku Nadhir (pelaksana) adalah perorangan bukan Nahdir badan Hukum NU, maka hal hal ini yang menjadi salah satu akar problem dan atau perkara yang sering kita jumpai dalam Jam’iyah NU seluruh Indonesia.

Progres tertib administrasi dan Sertifikasi aset aset Jam’iyah NU mendesak sekali untuk dilakukan secara massif agar energi internal NU tidak terkuras untuk menghadapi konflik pengelolaan dan pemanfaatan aset aset dengan pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum/ ormas lain.

Pensertifikatan aset aset NU seyogyanya tetap menggunakan nama Badan Hukum NU baik yang berasal dari jual beli, lelang, hibah maupun Waqaf agar jelas dan pasti kepemilikan dan legal standing yang tentu jauh lebih terhindar dari perkara dikemudian hari.

Untuk badan hukum seperti halnya Jam’iyah NU maka sertifikasi tanah wakaf atas nama badan hukum sangat penting untuk dilakukan yang bertujuan agar tanah wakaf tersebut tidak bisa diagunkan dan memiliki perlindungan lebih kuat karena sertifikat wakaf setara memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi daripada ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf. Karena itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mendorong nazhir dan masyarakat untuk proaktif mensertifikatkan tanah wakaf ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Poses pendaftaran sertifikasi tanah wakaf bisa dilakukan setelah terjadinya ikrar wakaf di hadapan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), selanjutnya Kepala KUA akan meminta sertifikat tanah dari wakif dan menerbitkan akta ikrar wakaf (AIW). Bahwa, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf, maka disebutkan jika proses pensertifikatan tanah wakaf adalah sebagai berikut :

  1. PPAIW atas nama Nazhir menyampaikan AIW atau APAIW dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran Tanah Wakaf atas nama Nazhir kepada Kantor Pertanahan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan AIW atau APAIW. (pasal 2 ayat 2)
  2. Pemohon mengajukan permohonan kepada kantor BPN setempat dengan melampirkan:
  3. Asurat Permohonan
  4. Durat Ukur
  5. Sertipikat Hak Milik yang bersangkutan atau bukti kepemilikan yang sah
  6. AIW atau APAIW
  7. Surat Pengesahan Nazhir yang bersangkutan dari KUA dan
  8. Surat Pernyataan dari Nazhir bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sita, dan tidak dijaminkan.
  9. Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Tanah Wakaf atas nama Nazhir dan mencatat dalam Buku Tanah dan sertifikat Hak atas Tanah pada kolom yang telah disediakan.

Hal hal itulah tehnis persyaratan dan tahapan dalam proses sertifikasi tanah wakaf untuk mendapatkan sertipikat tanah wakaf di kantor BPN, hal lain terkait dengan pensertifikatan tanah Waqaf lebih rinci bisa dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf.

Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 angka 4 UU 41/2004). Nazhir wakaf tidak hanya ada 2 (dua), akan tetapi ada 3 (tiga) berdasarkan Pasal 9 UU 41/2004, yaitu:
a. Perseorangan;
b. Organisasi
c. Badan Hukum
Menurut Pasal 10 ayat (3) UU 41/2004, badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus Badan Hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir, perseorangan (dalam Pasal 10 ayat (1) UU 41/2004), yaitu
i. Warga Negara Indonesia
ii. Beragama Islam
iii. Dewasa
iv. Amanah
v. Mampu secara jasmani dan rohani, dan
vi. Tidak terhalang

b. Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
c. Badan Hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Selain persyaratan tersebut, Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menyebutkan beberapa persyaratan lainnya, yaitu:

  1. Nazhir badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia(“BWI”) melalui Kantor Urusan Agama setempat, jika tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, pendaftaran nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/ kabupaten/kota.
  2. Nazhir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran harus memenuhi persyaratan :
    a. Badan Hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
    b. Pengurus Badan Hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan.
    c. Salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada
    d. Memilik :
    i. Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang.
    ii. Daftar Susunan pengurus.
    iii. Anggaran Rumah Tangga.
    iv. Program Kerja dalam pengembangan wakaf.
    v. Daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum, dan
    vi. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
    Persyaratan-persyaratan tersebut dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagai nazhir badan hukum.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk dapat menjadi nazhir badan hukum, hal tersebut tidak secara otomatis terjadi ketika nazhir mendapatkan benda wakaf, namun untuk dapat menjadi nazhir badan hukum harus didaftarkan terlebih dahulu pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama.

Secara subtansi Waqaf adalah bentuk sedekah jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk kepentingan ummat, sehingga harta wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan, karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat. Dasar hukum Waqaf adalah Hadist yang diriwiyatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” sedangkan sumber hukum positif adalah UU No. 41 tahun 2004 tentang Waqaf jo
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tengtang Waqaf yang dalam peraturan itu disebutkan jika syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh fan keempat dia adalah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid), sehingga bagi orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang yang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) yaitu harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindah milikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan yaitu pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga, kedua harta yang diwakafkan itu haruslah diketahui kadarnya, sehingga apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih), maka dapat dilihat terlebih dahulu dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah dan yang kedua adalah tidak tertentu (ghaira mu’ayyan) yaitu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf, adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.

Syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan yaitu : Pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja, sedangkan syarat Shigah berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat : Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid), karenanya tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Bertolak dari uraian singkat tersebut diatas maka agar Jam’iyah NU energi internal tidak terkuras dengan adanya konflik hukum yang menyangkut status hukum atas aset aset penunjang kegiatan sehingga energi NU secara umum bisa lebih fokus didalam melakukan akselerasi gerakan mewujudkan visi menjadikan Jam’iyah diniyah Islamiyah ijtima’iyah yang memperjuangkan tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyyah dan upaya mewujudkan kemaslahan masyarakat, kemajuan bangsa, kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian khususnya warga NU serta terciptanya rahmat bagi semesta dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila.

Semoga bermanfaat
Semoga Allah SWT Meridhoi

Lahul Fatihah

Salatiga, 20/02/20

  • Sofyan Mohammad
    Ketua LPBHNU Kota Salatiga