SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KANJENG SUNAN GIRI (Kebomas – Gresik – Jatim)


Malam beringsut dengan kabut yang pekat, awan mendung mulai menutupi cakrawala sejak senja mulai beriring menuju peraduan, begitu gelap mulai menutupi bumi maka buncahlah hujan mengguyur, maka tak pelak satupun daun dapat luput dari siraman air hujan yang tertumpah malam itu di diarea makam yang terletak kawasan Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur dimana wadag Kanjeng Sunan Giri beserta kerabat maupun santri santrinya dimakamkan.

Malam itu adalah malam tepat dihari pergantian tahun baru Imlek 2571 atau pada tahun 2020 M, sebagaimana ghalibnya pergantian tahun baru Imlek maka hujan deras adalah semacam tradisi yang selalu menyertainya karenanya hari raya Imlek tak hanya identik dengan petasan, warna merah, dan angpao saja, tapi juga pasti datangnya hujan yang berintensitas tinggi.

Berdasarkan sejarah dan dikutip dari berbagai sumber, hari raya Imlek sendiri berawal dari bentuk rasa syukur orang Tiongkok lantaran datangnya musim semi yang penuh keberkahan dan menurut para ahli fengshui yang dipercayai oleh orang orang Tionghua, maka hujan adalah simbol keberuntungan yang tak melulu soal hidup, tapi juga menyangkut berjalanya karier dan bisnis dalam dunia usaha sehingga intensitas hujan di hari raya Imlek sering dipakai sebagai parameter tentang nisbat keberuntungan, artinya jika hujan berupa rintik rintik atau gerimis saja maka kadar keberuntungan juga dianggap sedikit dan sempit, namun jika hujan berintensitas deras maka keberuntungan yang akan diperoleh dipercaya adalah lapang dan melimpah ruah.

Terlepas dari apapun keyakinannya namun yang jelas hujan telah memberi manfaat tak terkira bagi semua mahluk di bumi dan bagi keyakinan umat Islam maka hujan adalah Rahmat dan Barokah bagi semua mahluk di muka bumi, karena hujan merupakan karunia dari Allah SWT, sehingga menikmati hujan meski hanya mencium aroma hujan atau merasakan kesejukannya maka merupakan manifestasi rasa Syukur kita ke Hadirat Allah SWT atas segala Karunia Nya.

Hujan adalah wujud nyata Rahmat dari Allah SWT untuk seluruh makhluk sebagaimana bunyi QS. As Syura ayat 28 ” Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan Rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” Air hujan yang tertumpah juga merupakan Rizki bagi semua mahluk, media bersuci dan penguat hati, wujud nyata atas kekuasaan Allah SWT serta merupakan peringatan adzab bagi para pelaku maksiat, hikmah hujan sebagaimana tersebut diatas prinsipnya dapat terbaca pada Firman Allah SWT masing masing tersebut dalam QS.Adz-DZariyat : 22, QS.Al-Anfal :11, QS.An-Nahl :65 maupun dalam Qs. Hud : 44.

Hujan malam itu telah membawa kami pada pengembaraan spiritual untuk dapat menarik semampunya hikmah agar kami bisa Istiqomah menundukkan diri dengan kesadaran penuh jika kami adalah hamba – Nya yang lemah lagi kecil.

Media hujan malam itu diperkuat dengan adanya pemandangan yang memaksa kami menyaksikan dengan penuh khidmad atas banyaknya para peziarah yang pantang menyerah bahkan bisa dibilang justru menentang derasnya hujan, karena ratusan peziarah berbagai umur mulai anak anak, dewasa, tua renta muslimin muslimat yang tetap nekat menerabas guyuran hujan deras malam itu tak menghalangi langkah untuk satu persatu menapaki anak tangga menuju puncak area pemakaman.

Hujan deras mengguyur sama sekali tidak menghalangi kami dan ratusan peziarah lain untuk menjejakkan kaki menaiki anak tangga satu persatu, rasa capek dan dahaga rasanya sudah terbayar oleh tumpahan hujan yang membasahi tubuh, rasa diingin akibat basah kuyup pakaian kami tersebut nampaknya telah terbayar tunai pada saat kami mulai sampai pada pelataran utama anak tangga karena pandangan kami disuguhi dengan adanya arsitektur candi bentar yang berbentuk gugusan gapura yang disamping kanan dan kirinya berdiri gagah dua patung berkepala naga terbuat dari batu andesit yang nampak sudah berumur ratusan tahun dan setelah dicermati secara seksama adalah semacam condro sengkolo tentang tanggal wafatnya Kanjeng Sunan Giri kemudian dapat terbaca yaitu tanggal 24 Rabiul Awal tahun 913 Hijriah atau 1506 Masehi, selanjutnya diantara kanan dan kiri anak tangga sebelum mencapai puncak maka terdapat pelataran yang berisi puluhan makam dengan pusara kuno yang merupakan makam bagi para bupati terdahulu atau masyarakat terdahulu yang pernah memimpim dan bertempat tinggal di wilayah Gresik.

Hujan deras malam itu sama sekali bukan menjadi penghalang bahkan justru menjadi tantangan bagi kami maupun ratusan peziarah lain untuk dapat mencapai puncak area makam dan begitu sampai pada puncaknya maka kami sama sekali menjadi lupa akan rasa capek dan kelelahan karena telah bersusah payah memapaki ratusan anak tangga mulai dari bawah dan begitu sampai dipuncak tersebut maka kami disuguhi dengan lenskap bangunan komplek makam Kanjeng Sunan Giri yang berarsitektur klasik, unik dan artistik, dimana cungkup (bangunan pelindung makam) didominasi bahan dari kayu jati dengan motif berukir total nan rumit bertema bunga dengan dibalut cat berwarna gradasi coklat tua kemerahan, semantara terdapat dua patung kayu berbentuk ular naga berukir yang terletak tepat di depan pintu masuk cungkup makam.

Undak undakan anak tangga yang kami tapaki sampai puncak adalah bukit yang dahulu dipastikan adalah salah satu kawasan kraton Giri Kedaton karenanya tak heran jika area menuju pemakaman didesain dengan sangat artistik dan menakjubkan, konon Giri Kedaton adalah salah satu kerajaan Islam dan pesantren pusat dakwah yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri. Sesuai dengan namanya Giri berarti bukit dan Kedaton berarti kerajaan yang pada kurun waktu dari tahun 1470 sampai dengan tahun 1680 di kawasan itu telah terjadi beberapa kali suksesi kepemimpinan dan pemerintahan para sunan yang merupakan keturunan dari pada Kanjeng Sunan Giri (Dinasti Giri).

Kerajaan yang berfungsi sebagai pesantren untuk pusat dakwah agama Islam ini adalah Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang berdiri pada tahun 1470 yang pada saat itu Kerajaan Demak Bintoro belum berdiri, dengan demikian Kerajaan Giri Kedaton merupakan cikal bakal kerajaan Islam di tanah Jawa bahkan dikisahkan jika Kanjeng Sunan Giri lah yang melantik dan menobatkan Raden Patah ketika menjadi Sultan di Kerajaan Demak Bintoro. Raden Patah ketika menjadi Raja pertama Demak bergelar Sultan Syah Alam Al Fatah, Kerajaan Demak berdiri tahun 1478 sampai dengan tahun 1518.

Membaca berbagai literatur sejarah maka Kerajaan Giri Kedaton bisa dikatakan sebagai sebuah pesantren yang memiliki otoritas otonom penuh menyangkut wilayah maupun pemerintahan sendiri yang tak kurang hingga Kerajaan Demak berakhirpun maka otoritas Giri Kedaton juga memiliki peran terhadap pergantian kekuasaan ke Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo (1549-1582) bahkan juga dikisahkan pula otoritas Giri Kedaton juga berperan dalam fase transisi perpindahan kekuasaan kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.

Bahwa, dengan demikian dapat diyakini jika pusat dakwah yang telah didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri tersebut telah mengalami perkembangan fungsi, yang pada awalnya sebagai pusat aktivitas pendidikan dan dakwah agama Islam kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan politik, sebagaimana dapat terbaca dalam Babad Hing Gresik yaitu ‘Raden Paku hanggenipun babat – babat hung nedi kedaton dampun dados wewengkon dalem, saha sampun dados kedaton tunda sapta, sepale kangge shalat sepale kangge tilem”.

Menurut literatur sejarah maka Otoritas Kerajaan Giri Kedaton baru berakhir pada bulan April 1680 M akibat serangan besar-besaran terhadap Giri Kedaton yang dilakukan oleh Mataram Islam era Raja Amangkurat II melalui Panglima perang yaitu Panembahan Natapraja yang didukung oleh VOC–Belanda, yang dikisahkan pada saat itu Santri dari Giri Kedaton selaku Panglima Perang yang bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan setelah berduel melawan Panembahan Natapraja, karena hal tersebut maka pasukan Mataram Islam berhasil mengalahkan pasukan Giri kedaton yang menandai berakhirnya otoritas Kerajaan Giri Kedaton.

Kerajaan Giri Kedaton didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri yang merupakan salah satu anggota Dewan Walisongo periode populer yaitu periode awal awal terbentuknya dinasty Demak, dikisahkan beliau adalah putra Maulana Ishak yang menurut salah satu versi cerita mengisahkan jika Kanjeng Sunan Giri merupakan anak kandung dari pernikahan antara Maulana Ishaq (seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah) dengan Dewi Sekardadu (Putri Prabu Menak Sembuyu penguasa Blambangan), namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit maka oleh Prabu Menak Sembuyu memerintahkan untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, lantas bayi tersebut dihanyutkan ke laut/selat bali sekarang ini.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh kapal milik saudagar kaya yang bernama Nyai Gede Pinatih selanjutnya bayi tersebut diberi nama Joko Samudro, tatkala sudah cukup dewasa maka Joko Samudro dikirim untuk nyantri pada Kanjeng Sunan Ampel, setelah beberapa lama belajar dan dapat diketahui identitasnya maka selanjutnya Joko Samudro bersama dengan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang) dikirim untuk mendalami ajaran Islam di Pasai yang disana Joko Samudro bertemu dengan ayahandanya yaitu Syech Maulana Ishaq dan dari sinilah kemudian diketahui tentang asal usulnya dan setelah Raden Paku pulang ke tanah Jawa kemudian mendirikan Pesantren sekaligus Kerajaan dengan nama Giri Kedaton dengan gelar Prabu Satmata, atau para santri lain juga menyebut Sultan Abdul Faqih yang konon diruntut silsilahnya maka Kanjeng Sunan Giri dari jalur ayahnya Syekh Maulana Ishaq masih terhubung sampai pada Baginda Rasullulah SAW sedangkan silsilah dari ibunya Dewi Sekardadu maka masih ada hubungan dengan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk

Giri Kedaton yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri dan diteruskan oleh para keturunanya tersebut dikisahkan jika hasil dakwahnya memiliki pengaruh kuat di tanah Jawa bahkan sampai melintasi kepulauan di Nusantara yang tersambung sanad keilmuan dalam hubungan guru dan murid.

Pada waktu itu Kanjeng Sunan Giri melalui Giri Kedaton menjadi salah satu sumber keagamaan yang sangat masyur yang konon dikisahkan Kanjeng Sunan Giri lah yang menciptakan gending asmaradana dan pucung selain itu sebagai upaya untuk menarik minat kalangan anak anak maka Kanjeng Sunan Giri menciptakan tembang atau lagu serta beragam permainan dengan memasukkan unsur-unsur jiwa dan filosofi agama misalnya permainan tembang “Dolanan Bocah” dan “Ilir-ilir” atau permainan “Jelungan” /“Jitungan” hal hal tersebut merupakan salah satu metode dakwah dengan mengakulturasikan antara Ilmu Agama dengan adat dan kebudayaan lokal masyarakat sehingga kompleksitas ajaran Islam secara perlahan dapat dipahami dan diikuti oleh Umat yang nyata hasilnya sampai sekarang dapat dilihat jika penduduk Nusantara adalah Umat Islam terbesar di dunia.

Kanjeng Sunan Giri adalah salah satu Ulama Nusantara yang inspiratif dan penuh mabruk karena dari kisahnya kita dapat meneguk banyak keteladanan yang sekurang kurangnya adalah untuk tujuan melestarikan kedaulatan Nusantara maka diperlukan peran serta ulama yang tak hanya memiliki pengetahuan agama yang mumpuni namun juga kepintaran dalam hal pengetahuan umum tentang adat istiadat, budaya, ekonomi dan sosial sekaligus dilengkapi pula dengan kecakapan didalam olah politik untuk menjalankan otoritas kepemimpinan dan pemerintahan sehingga kedaulatan Nusantara melalui bingkai NKRI terus terjaga hingga terwujud kondisi “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yaitu kondisi Bangsa Indonesia yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya yang sejahtera, bahagia lahir dan batin karena Negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam arti tetap senantiasa bersyukur ke Hadirat Allah SWT atas segala Nikmat dan Karunia – Nya.

Didalam area makam terdengar lirih syarat makna dari lantunan para peziarah yang melafadzkan kalimah suci Alquran dengan bacaan tahlil maupun bacaan bacaan tahmid tak terputus yang sayup mengema menembus dinding gebyok merangsup pada sanubari kedalaman rohani yang menerka kehalusan rasa dan budi seraya berucap dalam qolbu inilah kemerdekaan seorang hamba yang Takdzim pada Tuhan Seru Sekalian Alam.

Pintu bangsal di Gapura depan maupun regol pintu sebelah kanan area makam terdengar berderit karena ditutup oleh para juru kunci makam yang berbarengan dengan sayup bunyi adzan subuh yang memanggil umat muslimin agar menunaikan Ibadah sholat subuh, sementara hujan masih mengguyur mengiringi langkah kaki para peziarah dengan seungging senyum bahagia tatkala menuruni anak tangga menuju area parkir bawah.

Dengan bertabaruk menziarahi makam Kanjeng Sunan Giri di Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur adalah salah satu cakrawala optik alternatif untuk mengingat segala kelemahan kita sebagai manusia yang tidak abadi hidup didunia sekaligus memperkaya rohani kita untuk senantiasa menebarkan segala kebaikan agar kita termasuk golongan orang orang yang beruntung.

Semoga Allah SWT meridhoi

Lahul Fatihah

Kebomas, Gresik. 24/01/20. 05. 40 WIB

Sofyan Mohammad
Santri Mogol/ gagal yang kini masih Istiqomah mengasuh pondok kecil di desa dengan santri yang terdiri dari 3 orang anak balita dan seorang istri.

Tinggalkan Balasan