SIRAH MAQOSIDANA Sambung Ruh Ulama Nusantara KI AGENG SINGOPRONO
Dalam beberapa kisah tutur yang berkembang maupun catatan sejarah maka kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M sebagaimana tertuang dalam Serat Kanda dengan candrasengka yang berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” yang berarti 1400 saka atau 1478 M, selanjutnya pusat kekuasaan bergeser ke Glagah Wangi sebagai pusat ibukota kerajaan Demak Bintoro dengan Raja adalah Raden Patah atau Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah yang merupakan anak kandung Prabu Brawijaya dengan istri selir yang bernama Siu Ban Chi yang juga dikenal dengan nama Putri Cina, Raden Patah memerintah kerajaan Demak hingga tahun 1518 M.
Prabu Brawijaya di kisahkan memiliki 117 orang anak dari dari perkawinannya dengan banyak istri mulai dari Permaisuri hingga selir selir dari berbagai suku bangsa, setelah kerajaan Majapahit runtuh maka para keturunan Prabu Brawijaya tersebut sebagian besar diantaranya pergi menjauh dari kekuasaan dan tinggal untuk menetap di berbagai wilayah pedalaman untuk memilih hidup sebagai seorang petani biasa yang menyamarkan gelar kebangsawanan, sebagian ada yang memilih pilihan hidup sebagai pertapa atau rohaniawan dan sebagian lainnya ada yang menjadi penguasa dibeberapa wilayah kekuasaan Demak.
Imbas dari pergeseran kekuasaan dari Trowulan ke Demak Bintoro juga menyisakan konflik politik berkepanjangan karenanya salah satu putra Prabu Brawijaya yaitu Jaka Bandem atau Joko Dandun yang merupakan anak urutan ke 32 bersama para pengikutnya keluar dari pusat kerajaan yang telah runtuh untuk mencari daerah yang dianggap aman dan tenang, mereka menyisir jalur pantai selatan jawa menuju arah barat yang pada saat itu merupakan kawasan yang tidak pernah dirambah orang dan disebut sebagai kawasan “jin buang anak” yang berarti kawasan yang asing dan menakutkan, dikisahkan dalam perjalananya tersebut bertemu dan berguru dengan Syeck Maulana Maghribi yang pada akhirnya setelah memasuki maqom spiritual tertentu maka Joko Dandun/ Joko Bandem dikenal masyarakat dengan sebutan Syech Bela Belu yang dikisahkan dengan kewaskitaan yang dimilikinya beliau berdakwah di kawasan Parangtritis hingga akhir hayatnya yang dapat dilihat sampai sekarang adalah keberadaan makamnya.
Syech Bela Belu memiliki keturunan salah satunya adalah Ki Ageng Wongsoprono I yang dahulu dari wilayah Parangtritis melakukan pengembaraan hingga sampai dan menetap di daerah Simo yang sekarang masuk wilayah Mlangen, Kelurahan Walen, Kec. Simo, Kabupaten Boyolali, selanjutnya Ki Ageng Wongsoprono I memiliki anak Ki Ageng Wongsoprono II dan menurunkan anak tunggal yang bernama Ki Ageng Singoprono, dengan demikian Ki Ageng Singoprono adalah keturunan atau Dzuriah Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit.
Semasa hidup Kita Ageng Singoprono menikah dengan Nyai Ageng Tasik Wulan mereka hidup bahagia sebagai seorang petani selain itu sang Istri juga ahli membuat dawet untuk dijual dipinggir jalan didekat rumah tinggalnya, aktifitas Ki Ageng Singoprono dan istri adalah salah satu media dakwah agama kepada masyarakat sekitar, dikisahkan beliau merupakan seorang sufiistik yang kuat dalam menjalani laku spiritualis Islam karenanya dengan kewaskitaanya yang dikemas dengan kebijaksanaan dan keluhuran budi maka Ki Ageng Singoprono selain mengajarkan tentang keluhuran laku Agama Islam maka juga mengajarkan tehnik bercocok tanam yang baik bahkan dikisahkan beliau ahli pula didalam menjinakkan hama tikus yang sering merusak tanaman pertanian, karena hal tersebut maka dahulu kawasan tersebut merupakan hutan yang kering namun selanjutnya bisa berubah menjadi lahan pertanian yang subur karenanya membawa Barokah dengan memberi kesejahteraan hidup bagi masyarakat sekitar.
Ki Ageng Singoprono mendakwahkan Agama Islam dengan penuh kearifan dimana kekompleksitaan fiqih Agama Islam diimplementasikan dengan cara yang sederhana dan bernas agar dapat diterima oleh masyarakat yaitu melalui bentuk ‘sanepan” yang simbolik misalnya minuman dawet yang sengaja dibuat dan dijual oleh Nyai Ageng Tasik Wulan adalah minuman yang menyegarkan ketika diminum pada saat dahaga yang merupakan perlambang jika Agama Islam ketika diamalkan secara benar dan baik maka akan menjadi pengobat kegersangan hidup menuju ketrentraman hidup, selain itu dawet dalam tradisi jawa dimaknai sebagai kebulatan tekad dalam arti kebulatan tekad masyarakat untuk memeluk agama Islam sebagai agama yang memberi keselamatan dunia dan akhirat karenanya dawet merupakan simbolik ajaran hidup yang pada hakikatnya kehidupan manusia di dunia sejatinya dimulai, ‘dinafkahi’ dan kembali berkalang dengan bumi.
Karena kebijaksanaan dan keteladanan tersebut maka secara perlahan wilayah sekitar Walen Simo menjadi ramai untuk dibangun perkampungan dan pemukiman dan para penduduk setempat merasa mendapatkan ketentraman dan kebahagian hidup karenanya kabar kemasyuran Ki Ageng Singoprono sampai kepada Raden Patah di Demak Bintoro, hingga pada akhirnya pada saat Ki Patih Wanasalam utusan Raden Patah sedang melakukan perjalanan menuju Pengging untuk memperingatkan (tabayun) sebelum diserang oleh pasukan Demak maka Patih Wanasalam dengan menyamar sebagai rakyat biasa, sendirian menemui Ki Ageng Singoprono yang dikisahkan Kyai Ageng Singoprono dengan kedalaman batin yang dimiliki mengetahui jika tamunya tersebut bukan orang biasa namun seorang Patih utusan Raja, maka saat sang tamu sudah masuk didalam rumah dipersilahkan duduk di atas bale bale, selanjutnya Ki Ageng Singoprono berturut-turut melakukan sembah penghormatan, karena hal tersebut sang tamu yang sebenarnya Patih Wanasalam turun dari bale dan Kyai Singoprono langsung dipeluk serta dipuji sebagai Kyai yang Waskitha, selanjutnya Ki Patih mengutarakan maksudnya meminta pendapat dalam rencana Demak untuk menyerang Pengging, atas hal tersebut Ki Ageng Singoprono tidak menyetujui gagasan itu dengan menerangkan jika Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging) pada dasarnya tidak akan memberontak kepada Kerajaan Demak karena Ki Ageng Pengging tersebut adalah pejabat yang jujur serta seorang yang alim dengan keluhuran ilmu yang dimiliki sehingga mempunyai karomah, Ki Ageng Singoprono berpendapat jika Ki Ageng Pengging hanya difitnah oleh orang yang tidak suka padanya terlebih setelah berguru pada Syech Siti Jenar, sehingga untuk menyadarkan Ki Ageng Pengging agar mau sowan untuk tunduk pada Demak maka Ki Ageng Singoprono menyarankan agar Demak tidak perlu menggunakan pasukan tetapi cukup dengan kebijaksanaan dan kesabaran.
Saran dan nasehat tersebut selanjutnya ditafsirkan oleh pihak Demak sebagai usaha Ki Ageng Singoprono untuk menghalangi maksud Demak menyerang Pengging, bahkan sempat muncul anggapan jika Ki Ageng Singoprono telah bersekutu dengan Ki Ageng Pengging yang dikaitkan dengan aktifitas keduanya yang sama sama hidup sederhana layaknya rakyat biasa padahal diketahui keduanya adalah berdarah Bangsawan keturunan Prabu Brawijaya yang masih memiliki hak tahta atas Majapahit.
Menurut mitos yang berkembang maka segala keluhuran budi dan kewaskitaan Ki Ageng Singoprono tersebar sampai di seluruh daerah sekitar, namun ternyata hal tersebut membuat Ki Rogo Runting yang notabebenya adalah sahabatnya sendiri menjadi iri dengki, karenanya Ki Rogo runting ingin menguji kesaktian Ki Ageng Singoprono dengan cara memprovokasi melalui kesaktian yang dimilikinya yaitu dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Rogo Runting ke selatan (sekarang masuk Desa Nglembu, kecamatan Sambi, Boyolali) diatas benang dililitkan sebutir telur dan ajaibnya telur tersebut tidak jatuh justru terus menggelinding diatas benang hingga telur tersebut membentur gunung sebelah selatan yang merupakan wilayah Ki Ageng Singoprono, hingga terdengar suara keras dan menggelegar dan mengakibatkan gunung tersebut tugel / putus puncaknya yang pada akhirnya gunung tersebut hingga saat ini disebut dengan Gunung Tugel.
Atas provokasi tersebut tidak membuat Ki Ageng Singoprono melakukan pembalasan dan rupanya justru dianggap oleh Ki Rogo Gunting sebagai bentuk sikap yang meremehkan hingga Ki Rogo Gunting terus melakukan tindakan provokatif lainnya, karena hal tersebut maka Ki Ageng Singoprono meladeni dengan cara yang sama yaitu mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan wilayah Rogo Runting, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung tersebut rusak, namun justru membuat tubuh Ki Rogo Runting hancur berkeping keping berkalang tanah dan tewas seketika dan jasadnya kemudian dimakamkan di daerah perbatasan kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo runting.
Segala keteladanan, sifat tawadlu’ dan keluhuran budi dan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Singoprono nampaknya masih menjadi inspirasi bagi warga sekitar hingga saat ini yang dapat dilihat betapa banyaknya para peziarah yang nyaris tak pernah sepi melakukan ziaroh di Makam Ki Ageng Singoprono dengan melafadzkan kalam kalam illahi dengan penuh ketakdziman dan kekhususan untuk mendapatkan barokah karomah dari sosok Ki Ageng Singoprono.
Semoga Allah SWT Meridhoi
Lahul Fatihah
Sofyan Mohammad, Gunung Tugel, 14/02/20
02.30 WIB
Alhamdulillah…bisa membaca sejarah singkat tentang keluhuran budi dari Eyang kami…
Syukron Katsir,,,,Jazakumulloh ahsanal jazaa