SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) R. Ng. RONGGOWARSITO* (Palar, Trucuk, Klaten)
“amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawanwaspada”
(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)
Salah satu penggalan bait yang sangat populer dan familier bagi orang Jawa khususnya atau bahkan masyarakat Nusantara umumnya, bait syair tersebut tertuang dalam Serat Kalatida yang merupakan salah satu karya Agung R. Ng. Ronggowarsito semasa hidup. Syair penuh makna dalam Serat Kalatida tersebut secara subtansi rasa rasanya tidak akan usang oleh perkembangan zaman, karena maksud yang tersirat dalam bait tersebut tentu masih relevan untuk menggambarkan potret keadaan zaman ke zaman bahkan justru semakin relevan ketika diadopsi untuk menggambarkan situasi di zaman milineal serba digital seperti sekarang ini.
Raden Ngabehi Ronggowarsito masyur sebagai seorang Pujangga sekaligus sufistik yang sangat melegenda di tanah jawa pada abad 18an beliau seorang yang sangat produktif dengan mewariskan banyak karya tulis, sebagaimana diketahui jika dalam kapasitasnya sebagai seseorang sufistik maka dalam dunia tasawuf beliau pernah membuat karya yang sangat monumental yaitu Serat Wirid Hidayat Jati dan Serat Ma’lumat Jati yang di dalamnya merupakan sebuah medium dengan telaah tertinggi dari laku spritual dalam kehidupan sufistiknya, karya tersebut pada intinya mengupas secara mendalam risalah tentang Dzat, Shifah dan Af’al Allah yang dapat diurai secara komprehensif hingga mengerucut dalam bentuk manifestasi laku spritual yang disebut sebagai salat daim.
Salat daim adalah kontinuitas laku shalat dari saat ke saat yang dijelaskan sebagai, “Salat angiras nyambut gawe, anglakoni panggaweyan kasambi salat, alungguh sarwi lumaku, lumaku karo andheprok, lumayu sajroning mandheg, ambisu karo acarita, lunga karo aturu, aturu karo melek…” (Shalat sembari bekerja, bekerja sambil terus shalat, duduk dengan berjalan, berjalan dalam keadaan duduk, berlari dalam keadaan berhenti, membisu sambil bercerita, bepergian dengan tidur, tidur dalam keadaan terjaga)
Menurut beberapa catatan maka beliau mengawali proses intelektual dan spiritual yang dituangkan dalam karya adalah pada saat beliau berusia 20 tahun ketika menyusun sebuah karya yang berjudul Serat Jayengbaya, dimana karya ini adalah titik balik awal pengembaraan untuk menemukan puncak episentrum rohani dan intelektualnya sebagai seorang spiritualis sekaligus pujangga yang legendaris.
Penyusunan Serat Jayengbaya adalah ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko, dalam serat ini dinukilkan tentang tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang memiliki pribadi yang konyol dan lincah untuk mengembara dalam khayalannya tentang pekerjaan.
R. Ng. Ronggowarsito depanjang hidupnya sejak mulai serius menekuni dunia kasustraan sekaligus dunia spiritual yaitu sejak tahun 1826 hingga 1873 (47 tahun berkarya) maka R. Ng. Ronggowarsito telah menghasilkan tidak kurang dari 60 judul buku/ kitab/ serat dengan beragam bahasan, yang tertuang dalam karya tulis tentang falsafah, kebatinan, lakon-lakon wayang, cerita Panji, dongeng, babad, sastra, bahasa, kesusilaan, adat istiadat, pendidikan, primbon, ramalan, dan sebagainya, karena hal tersebut maka tak mengherankan jika beliau satu satunya Pujangga Nusantara yang sangat legendaris dengan karya yang belum dapat tertandingi hingga saat ini.
Sebagai seorang intelektual R. Ng. Ronggowarsito juga menulis banyak hal tentang sisi kehidupan dan setelah memasuki masa kematangannya sebagai seorang pujangga maka dengan cara yang cerdas, kreatif dan gemilang mampu merefkesikan suasana batin dengan merekam protet dinamika jaman secara utuh dan bernas melalui karya serat yang ditulisnya. Dalam kapasitasnya selaku intelektaul maka R. Ng. Ronggiwarsito menulis Serat Kalatidha mupun Serat Jaka Lodhang yang lebih fokus pada lingkup ramalan zaman bahkan melalui Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Dari berbagai literatur dapat terbaca jika gerak intelektual dan spiritual R. Ng. Ronggowarsito bisa bertolak dari beberapa hal yang pertama bisa dilihat dari garis nasab atau keturunan yang secara genetik maka R. Ng. Ronggowarsito berasal dari keturunan bangsawan yaitu dari garis ayahnya, adalah keturunan ke -10 dari Sultan Hadiwijoyo, pendiri Kerajaan Pajang dengan urutannya adalah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) berputra Pangeran Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya berputra Pangeran Mas atau Panembahan Radin berputra Pangeran Wiramenggala I (Kejaroan) berputra Pangeran Wiraatmaja berputra Pangeran Wirasewaya berputra Pengeran Danupati berputra Pangeran Danupaya berputra R.T. Padmanegara berputra R.T. Yasadipura I berputra R.T. Sastranegara
disebut pula Raden Ngabehi Yasadipura II dan juga disebut Raden Ngabehi Ronggowarsito I ketika masih berpangkat Panewuh. R.Ng. Ronggowarsito I berputra R.Ng. Ronggowarsito II berpangkat Carik. R.Ng. Ronggowarsito II
berputra R.Ng. Ronggowarsito III yang ketika masih kanak-kanak bernama Bagus Burham.
Sedangkan silsilah R. Ng. Ronggowarsito dari jalur ibu menurut sumberBabad Ronggowaristo dengan urutan adalah
Sultan Trenggana berputra R.T. Mangkurat berputra R.T. Sujanapura I (Pujangga Pajang). berputra R.T. Sujanaputra II (Pujangga
Pajang) berputra R.T. Wangsabaya I
berputra Kyai Ageng Wangsabaya II, berputra Kyai Ageng Wangsataruna (Dimakamkan di Palar Klaten satu komplek dengan R. Ng. Ronggowarsito)berputra Nayamenggala berputra Kyai Ageng Nayataruna berputra R.Ng. Sudiradirjka I mempunyai anak perempuan bernama Raden Nganten Ronggowarsito II yang terkenal dengan sebutan Nyai Ajeng Ronggowarsito berputra R.Ng. Ronggowarsito III atau nama kecilnya Bagus Burham
Faktor lain yang semakin menggeliatkan intelektual dan spiritual R.Ng. Ronggowarsito karena pendidikan yang dijalaninya yang dikisahkan jika sejak kecil beliau sudah diajarkan untuk membaca kitab kitab klasik bahkan sejak kecil pula sudah diperkenalkan dengan Kitab Nitisutri karya leluhurnya yaitu Raden Tumenggung Sujanaputra yang terkenal dengan sebutan Pangeran Karanggayam, seorang pujangga Kraton Pajang, kegemarannya membaca sejak kecil ditanamkan oleh R.T. Sastranagara, kakeknya, yang juga pujangga kraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil yaitu Bagus Burhan pada tahun 1728 J atau 1802 M, selanjutnya kakeknya yang bernama R.T. Sastronagoro lah yang dapat menemukan bakat besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal dan nakal, karena hal tersebut maka selanjutnya Bagus Burham kecil di kirim untuk nyantri ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari. Karena sebagai seorang putra bangsawan maka Bagus Burham mempunyai seorang emban (pamomong) sekaligus guru mistiknya yang bernama Ki Tanujoyo. Dikisahkan Bagus Burham di Pondok Pesantren sangat bandel, nakal dan tidak disiplin bahkan malas malasan untuk belajar ilmu agama, karena lebih suka berkawan dengan para warok, bersabung ayam dan lebih senang mempelajari ilmu kesaktian dan Kanuragan, karena hal tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari menjadi sangat marah, bahkan Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sempat diusir dari pesantren, karena diusir keduanya lantas berkelana di kawasan Jawa Timur, namun beberapa lama setelah keluar dari lingkungan Pesantren justru membuat Kyai Kasan Baseri menjadi bingung dan menyesal hingga selanjutnya mengutus muridnya bernama Kromoleyo yang dianggap mengenal watak Bagus Burham untuk mencari dan menemukan dimana pun berada, setelah sekian lama mencari pada akhirnya dapat ditemukan di sebuah pasar di Madiun yaitu ketika Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sedang menonton “Rodad” kesenian tradisional berupa sendratari dan kanuragan, lalu keduanya diajak balik lagi ke pesantren dan setelah itu Kyai Kasan Besari lebih serius mendidik Bagus Burham yang menurut Babad Ronggowarsito di kisahkan pada saat itu Kyai Kasan Besari menghukum Bagus Burham dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren selama 40 hari yang sehari-harinya hanya makan sebuah pisang.
Setelah kejadian tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari benar benar mencurahkan ilmu agama pada Bagus Burham dan ternyata tidak butuh yang lama bagi Bagus Burham untuk menguasai berbagai ilmu yang diberikan Kyai Kasan Baseri bahkan hingga akhirnya Bagus Burham sempat diangkat sebagai badal atau wakil Kyai Kasan Besari di pesantren dan pada tahun 1815 Bagus Burham kembali ke rumah dengan bekal ilmu Agama dari Pesantren Kyai Kasan Besari itu kemudian dirumah Bagus Burham juga dididik secara disiplin oleh kakeknya, Sastronegoro dengan ilmu kasusastran serta bahasa Jawa kuno dan Kawi dari Panembahan Buminoto, maka akhirnya Bagus Burham tuntas mereguk ilmu spiritual dan kasusastran, melihat kepandaian dan bakat besar dari Bagus Burham maka Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V agar Bagus Burham yang saat itu berumur 19 tahun agar dapat diberi pekerjaan dan tempat yang layak di keraton, namun usul tersebut ditolak, padahal waktu itu Bagus Burham sudah menikah dengan Raden Ayu Gombak, karena tak memiliki pekerjaan maka akhirnya Bagus Burham mengajak serta Ki Tanujoyo untuk melakukan gembaraan lagi guna menyempurnakan ilmu yang didapat.
Pengembaraan Bagus Burham hanya berdua dengan Ki Tanujaya dan meninggalkan istrinya dirumah, pengembaraan menyusuri daerah bang wetan (Jawa Timur), Madura hingga sampai di Pulai Bali, di setiap daerah yang disinggahi maka Bagus Burham selalu berguru dengan “orang orang Waskito” yang ditemukan di manapun berada dalam pengembaraan tersebut.
Diriwayatkan setelah tampuk kekuasaan di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat beralih dipegang oleh Sinuwun Paku Buwono VI, maka pada tahun 1822 Bagus Burham diminta kembali ke keraton dan ditempatkan sebagai juru tulis dan sejak saat itu Bagus Burham memperoleh nama dan gelar yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito III.
Baru sekitar 2 tahun menjabat sebagai juru tulis di Kraton namun kemudian berlangsung hiruk pikuk Perang Diponegoro (1825-1830) yang berefek pada konstelasi di Kraton Kasunanan Surakarta karena diketahui jika Sinuwun Paku Buwono VI berpihak pada Pangeran Diponegoro dan tentu saja R. Ng Ronggowarsito juga demikian ikut berpihak pada perjuangan Pangeran Diponegoro sementara banyak diantara punggawa kraton justru berpihak pada Belanda, intrik demi intrik politik terus berlangsung di lingkungan Kraton yang sampai pada akhirnya membuat Sinuwun Paku Buwono VI menanggung konsekuensi yaitu harus dibuang ke Ambon hingga wafat di sana pada tahun 1849.
Kondisi politik yang berakhir pada pembuangan Sinuwun Pakubuwono IV juga berakibat kurang baik bagi R.Ng Ronggowarsito sendiri karena terus mendapatkan tekanan dari para pembesar Kraton yang pro Belanda bahkan tak kurang sering menjadi sasaran kesalahan yang dicari cari.
R. Ng. Ronggowarsito meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 1873, tepat seperti apa yang beliau tulis sendiri dalam kitab Sabdajati yaitu pada hari Rebo Pon dan pada akhirnya R. Ng. Ronggowarsito dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten yang merupakan Desa tempat kelahirannya yang juga desa asal ibu Kandungnya, di Desa ini pula beliau dahulu menghabiskan waktu masa kecilnya.
Dengan bertabaruk sambang di makamnya sembari melafadzkan ayat suci Al Qur’an dan mengetam diri dengan bacaan tahlil dan tahmid dengan suingging doa yang tercurah untuk senantiasa mengharap Rahmad dan Hidayah dari Allah Wala Ja’ala Tuhan Seru Sekalian Alam, maka kita akan memasuki dimensi ritualitas konfirmasi diri untuk menyadarkan diri kita sendiri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dengan harapan menjadi orang yang bermanfaat dan penuh mabruk yang sekurang kurangnya mampu memiliki kesadaran perilaku untuk selalu “éling klawan waspada dalam memapaki
zaman édan” seperti pesan R. Ng. Ronggowarsito dalam bait serat kalatido.
Semoga Allah SWT Meridhoi.
Lahul Fatihah.
Pakar, Trucuk, Klaten
21/02/20.
- Dioleh dari berbagai sumber dan wawancara dengan Juru Kunci Makam
** Sofyan Mohammad
Ketua LPBHNU Kota Salatiga.
Tinggalkan Balasan