Category Archives: Jagat Santri
SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KANJENG SUNAN GIRI (Kebomas – Gresik – Jatim)
Malam beringsut dengan kabut yang pekat, awan mendung mulai menutupi cakrawala sejak senja mulai beriring menuju peraduan, begitu gelap mulai menutupi bumi maka buncahlah hujan mengguyur, maka tak pelak satupun daun dapat luput dari siraman air hujan yang tertumpah malam itu di diarea makam yang terletak kawasan Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur dimana wadag Kanjeng Sunan Giri beserta kerabat maupun santri santrinya dimakamkan.
Malam itu adalah malam tepat dihari pergantian tahun baru Imlek 2571 atau pada tahun 2020 M, sebagaimana ghalibnya pergantian tahun baru Imlek maka hujan deras adalah semacam tradisi yang selalu menyertainya karenanya hari raya Imlek tak hanya identik dengan petasan, warna merah, dan angpao saja, tapi juga pasti datangnya hujan yang berintensitas tinggi.
Berdasarkan sejarah dan dikutip dari berbagai sumber, hari raya Imlek sendiri berawal dari bentuk rasa syukur orang Tiongkok lantaran datangnya musim semi yang penuh keberkahan dan menurut para ahli fengshui yang dipercayai oleh orang orang Tionghua, maka hujan adalah simbol keberuntungan yang tak melulu soal hidup, tapi juga menyangkut berjalanya karier dan bisnis dalam dunia usaha sehingga intensitas hujan di hari raya Imlek sering dipakai sebagai parameter tentang nisbat keberuntungan, artinya jika hujan berupa rintik rintik atau gerimis saja maka kadar keberuntungan juga dianggap sedikit dan sempit, namun jika hujan berintensitas deras maka keberuntungan yang akan diperoleh dipercaya adalah lapang dan melimpah ruah.
Terlepas dari apapun keyakinannya namun yang jelas hujan telah memberi manfaat tak terkira bagi semua mahluk di bumi dan bagi keyakinan umat Islam maka hujan adalah Rahmat dan Barokah bagi semua mahluk di muka bumi, karena hujan merupakan karunia dari Allah SWT, sehingga menikmati hujan meski hanya mencium aroma hujan atau merasakan kesejukannya maka merupakan manifestasi rasa Syukur kita ke Hadirat Allah SWT atas segala Karunia Nya.
Hujan adalah wujud nyata Rahmat dari Allah SWT untuk seluruh makhluk sebagaimana bunyi QS. As Syura ayat 28 ” Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan Rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” Air hujan yang tertumpah juga merupakan Rizki bagi semua mahluk, media bersuci dan penguat hati, wujud nyata atas kekuasaan Allah SWT serta merupakan peringatan adzab bagi para pelaku maksiat, hikmah hujan sebagaimana tersebut diatas prinsipnya dapat terbaca pada Firman Allah SWT masing masing tersebut dalam QS.Adz-DZariyat : 22, QS.Al-Anfal :11, QS.An-Nahl :65 maupun dalam Qs. Hud : 44.
Hujan malam itu telah membawa kami pada pengembaraan spiritual untuk dapat menarik semampunya hikmah agar kami bisa Istiqomah menundukkan diri dengan kesadaran penuh jika kami adalah hamba – Nya yang lemah lagi kecil.
Media hujan malam itu diperkuat dengan adanya pemandangan yang memaksa kami menyaksikan dengan penuh khidmad atas banyaknya para peziarah yang pantang menyerah bahkan bisa dibilang justru menentang derasnya hujan, karena ratusan peziarah berbagai umur mulai anak anak, dewasa, tua renta muslimin muslimat yang tetap nekat menerabas guyuran hujan deras malam itu tak menghalangi langkah untuk satu persatu menapaki anak tangga menuju puncak area pemakaman.
Hujan deras mengguyur sama sekali tidak menghalangi kami dan ratusan peziarah lain untuk menjejakkan kaki menaiki anak tangga satu persatu, rasa capek dan dahaga rasanya sudah terbayar oleh tumpahan hujan yang membasahi tubuh, rasa diingin akibat basah kuyup pakaian kami tersebut nampaknya telah terbayar tunai pada saat kami mulai sampai pada pelataran utama anak tangga karena pandangan kami disuguhi dengan adanya arsitektur candi bentar yang berbentuk gugusan gapura yang disamping kanan dan kirinya berdiri gagah dua patung berkepala naga terbuat dari batu andesit yang nampak sudah berumur ratusan tahun dan setelah dicermati secara seksama adalah semacam condro sengkolo tentang tanggal wafatnya Kanjeng Sunan Giri kemudian dapat terbaca yaitu tanggal 24 Rabiul Awal tahun 913 Hijriah atau 1506 Masehi, selanjutnya diantara kanan dan kiri anak tangga sebelum mencapai puncak maka terdapat pelataran yang berisi puluhan makam dengan pusara kuno yang merupakan makam bagi para bupati terdahulu atau masyarakat terdahulu yang pernah memimpim dan bertempat tinggal di wilayah Gresik.
Hujan deras malam itu sama sekali bukan menjadi penghalang bahkan justru menjadi tantangan bagi kami maupun ratusan peziarah lain untuk dapat mencapai puncak area makam dan begitu sampai pada puncaknya maka kami sama sekali menjadi lupa akan rasa capek dan kelelahan karena telah bersusah payah memapaki ratusan anak tangga mulai dari bawah dan begitu sampai dipuncak tersebut maka kami disuguhi dengan lenskap bangunan komplek makam Kanjeng Sunan Giri yang berarsitektur klasik, unik dan artistik, dimana cungkup (bangunan pelindung makam) didominasi bahan dari kayu jati dengan motif berukir total nan rumit bertema bunga dengan dibalut cat berwarna gradasi coklat tua kemerahan, semantara terdapat dua patung kayu berbentuk ular naga berukir yang terletak tepat di depan pintu masuk cungkup makam.
Undak undakan anak tangga yang kami tapaki sampai puncak adalah bukit yang dahulu dipastikan adalah salah satu kawasan kraton Giri Kedaton karenanya tak heran jika area menuju pemakaman didesain dengan sangat artistik dan menakjubkan, konon Giri Kedaton adalah salah satu kerajaan Islam dan pesantren pusat dakwah yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri. Sesuai dengan namanya Giri berarti bukit dan Kedaton berarti kerajaan yang pada kurun waktu dari tahun 1470 sampai dengan tahun 1680 di kawasan itu telah terjadi beberapa kali suksesi kepemimpinan dan pemerintahan para sunan yang merupakan keturunan dari pada Kanjeng Sunan Giri (Dinasti Giri).
Kerajaan yang berfungsi sebagai pesantren untuk pusat dakwah agama Islam ini adalah Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang berdiri pada tahun 1470 yang pada saat itu Kerajaan Demak Bintoro belum berdiri, dengan demikian Kerajaan Giri Kedaton merupakan cikal bakal kerajaan Islam di tanah Jawa bahkan dikisahkan jika Kanjeng Sunan Giri lah yang melantik dan menobatkan Raden Patah ketika menjadi Sultan di Kerajaan Demak Bintoro. Raden Patah ketika menjadi Raja pertama Demak bergelar Sultan Syah Alam Al Fatah, Kerajaan Demak berdiri tahun 1478 sampai dengan tahun 1518.
Membaca berbagai literatur sejarah maka Kerajaan Giri Kedaton bisa dikatakan sebagai sebuah pesantren yang memiliki otoritas otonom penuh menyangkut wilayah maupun pemerintahan sendiri yang tak kurang hingga Kerajaan Demak berakhirpun maka otoritas Giri Kedaton juga memiliki peran terhadap pergantian kekuasaan ke Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo (1549-1582) bahkan juga dikisahkan pula otoritas Giri Kedaton juga berperan dalam fase transisi perpindahan kekuasaan kerajaan Pajang ke Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Panembahan Senopati.
Bahwa, dengan demikian dapat diyakini jika pusat dakwah yang telah didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri tersebut telah mengalami perkembangan fungsi, yang pada awalnya sebagai pusat aktivitas pendidikan dan dakwah agama Islam kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan politik, sebagaimana dapat terbaca dalam Babad Hing Gresik yaitu ‘Raden Paku hanggenipun babat – babat hung nedi kedaton dampun dados wewengkon dalem, saha sampun dados kedaton tunda sapta, sepale kangge shalat sepale kangge tilem”.
Menurut literatur sejarah maka Otoritas Kerajaan Giri Kedaton baru berakhir pada bulan April 1680 M akibat serangan besar-besaran terhadap Giri Kedaton yang dilakukan oleh Mataram Islam era Raja Amangkurat II melalui Panglima perang yaitu Panembahan Natapraja yang didukung oleh VOC–Belanda, yang dikisahkan pada saat itu Santri dari Giri Kedaton selaku Panglima Perang yang bernama Pangeran Singosari gugur dalam peperangan setelah berduel melawan Panembahan Natapraja, karena hal tersebut maka pasukan Mataram Islam berhasil mengalahkan pasukan Giri kedaton yang menandai berakhirnya otoritas Kerajaan Giri Kedaton.
Kerajaan Giri Kedaton didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri yang merupakan salah satu anggota Dewan Walisongo periode populer yaitu periode awal awal terbentuknya dinasty Demak, dikisahkan beliau adalah putra Maulana Ishak yang menurut salah satu versi cerita mengisahkan jika Kanjeng Sunan Giri merupakan anak kandung dari pernikahan antara Maulana Ishaq (seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah) dengan Dewi Sekardadu (Putri Prabu Menak Sembuyu penguasa Blambangan), namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit maka oleh Prabu Menak Sembuyu memerintahkan untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, lantas bayi tersebut dihanyutkan ke laut/selat bali sekarang ini.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh kapal milik saudagar kaya yang bernama Nyai Gede Pinatih selanjutnya bayi tersebut diberi nama Joko Samudro, tatkala sudah cukup dewasa maka Joko Samudro dikirim untuk nyantri pada Kanjeng Sunan Ampel, setelah beberapa lama belajar dan dapat diketahui identitasnya maka selanjutnya Joko Samudro bersama dengan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang) dikirim untuk mendalami ajaran Islam di Pasai yang disana Joko Samudro bertemu dengan ayahandanya yaitu Syech Maulana Ishaq dan dari sinilah kemudian diketahui tentang asal usulnya dan setelah Raden Paku pulang ke tanah Jawa kemudian mendirikan Pesantren sekaligus Kerajaan dengan nama Giri Kedaton dengan gelar Prabu Satmata, atau para santri lain juga menyebut Sultan Abdul Faqih yang konon diruntut silsilahnya maka Kanjeng Sunan Giri dari jalur ayahnya Syekh Maulana Ishaq masih terhubung sampai pada Baginda Rasullulah SAW sedangkan silsilah dari ibunya Dewi Sekardadu maka masih ada hubungan dengan Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk
Giri Kedaton yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Giri dan diteruskan oleh para keturunanya tersebut dikisahkan jika hasil dakwahnya memiliki pengaruh kuat di tanah Jawa bahkan sampai melintasi kepulauan di Nusantara yang tersambung sanad keilmuan dalam hubungan guru dan murid.
Pada waktu itu Kanjeng Sunan Giri melalui Giri Kedaton menjadi salah satu sumber keagamaan yang sangat masyur yang konon dikisahkan Kanjeng Sunan Giri lah yang menciptakan gending asmaradana dan pucung selain itu sebagai upaya untuk menarik minat kalangan anak anak maka Kanjeng Sunan Giri menciptakan tembang atau lagu serta beragam permainan dengan memasukkan unsur-unsur jiwa dan filosofi agama misalnya permainan tembang “Dolanan Bocah” dan “Ilir-ilir” atau permainan “Jelungan” /“Jitungan” hal hal tersebut merupakan salah satu metode dakwah dengan mengakulturasikan antara Ilmu Agama dengan adat dan kebudayaan lokal masyarakat sehingga kompleksitas ajaran Islam secara perlahan dapat dipahami dan diikuti oleh Umat yang nyata hasilnya sampai sekarang dapat dilihat jika penduduk Nusantara adalah Umat Islam terbesar di dunia.
Kanjeng Sunan Giri adalah salah satu Ulama Nusantara yang inspiratif dan penuh mabruk karena dari kisahnya kita dapat meneguk banyak keteladanan yang sekurang kurangnya adalah untuk tujuan melestarikan kedaulatan Nusantara maka diperlukan peran serta ulama yang tak hanya memiliki pengetahuan agama yang mumpuni namun juga kepintaran dalam hal pengetahuan umum tentang adat istiadat, budaya, ekonomi dan sosial sekaligus dilengkapi pula dengan kecakapan didalam olah politik untuk menjalankan otoritas kepemimpinan dan pemerintahan sehingga kedaulatan Nusantara melalui bingkai NKRI terus terjaga hingga terwujud kondisi “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” yaitu kondisi Bangsa Indonesia yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya yang sejahtera, bahagia lahir dan batin karena Negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam arti tetap senantiasa bersyukur ke Hadirat Allah SWT atas segala Nikmat dan Karunia – Nya.
Didalam area makam terdengar lirih syarat makna dari lantunan para peziarah yang melafadzkan kalimah suci Alquran dengan bacaan tahlil maupun bacaan bacaan tahmid tak terputus yang sayup mengema menembus dinding gebyok merangsup pada sanubari kedalaman rohani yang menerka kehalusan rasa dan budi seraya berucap dalam qolbu inilah kemerdekaan seorang hamba yang Takdzim pada Tuhan Seru Sekalian Alam.
Pintu bangsal di Gapura depan maupun regol pintu sebelah kanan area makam terdengar berderit karena ditutup oleh para juru kunci makam yang berbarengan dengan sayup bunyi adzan subuh yang memanggil umat muslimin agar menunaikan Ibadah sholat subuh, sementara hujan masih mengguyur mengiringi langkah kaki para peziarah dengan seungging senyum bahagia tatkala menuruni anak tangga menuju area parkir bawah.
Dengan bertabaruk menziarahi makam Kanjeng Sunan Giri di Sidomukti, Kebomas, Gresik, Jawa Timur adalah salah satu cakrawala optik alternatif untuk mengingat segala kelemahan kita sebagai manusia yang tidak abadi hidup didunia sekaligus memperkaya rohani kita untuk senantiasa menebarkan segala kebaikan agar kita termasuk golongan orang orang yang beruntung.
Semoga Allah SWT meridhoi
Lahul Fatihah
Kebomas, Gresik. 24/01/20. 05. 40 WIB
Sofyan Mohammad
Santri Mogol/ gagal yang kini masih Istiqomah mengasuh pondok kecil di desa dengan santri yang terdiri dari 3 orang anak balita dan seorang istri.
SIRAH MAQOSIDANA Sambung Ruh Ulama Nusantara KI AGENG SINGOPRONO
Dalam beberapa kisah tutur yang berkembang maupun catatan sejarah maka kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M sebagaimana tertuang dalam Serat Kanda dengan candrasengka yang berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” yang berarti 1400 saka atau 1478 M, selanjutnya pusat kekuasaan bergeser ke Glagah Wangi sebagai pusat ibukota kerajaan Demak Bintoro dengan Raja adalah Raden Patah atau Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah yang merupakan anak kandung Prabu Brawijaya dengan istri selir yang bernama Siu Ban Chi yang juga dikenal dengan nama Putri Cina, Raden Patah memerintah kerajaan Demak hingga tahun 1518 M.
Prabu Brawijaya di kisahkan memiliki 117 orang anak dari dari perkawinannya dengan banyak istri mulai dari Permaisuri hingga selir selir dari berbagai suku bangsa, setelah kerajaan Majapahit runtuh maka para keturunan Prabu Brawijaya tersebut sebagian besar diantaranya pergi menjauh dari kekuasaan dan tinggal untuk menetap di berbagai wilayah pedalaman untuk memilih hidup sebagai seorang petani biasa yang menyamarkan gelar kebangsawanan, sebagian ada yang memilih pilihan hidup sebagai pertapa atau rohaniawan dan sebagian lainnya ada yang menjadi penguasa dibeberapa wilayah kekuasaan Demak.
Imbas dari pergeseran kekuasaan dari Trowulan ke Demak Bintoro juga menyisakan konflik politik berkepanjangan karenanya salah satu putra Prabu Brawijaya yaitu Jaka Bandem atau Joko Dandun yang merupakan anak urutan ke 32 bersama para pengikutnya keluar dari pusat kerajaan yang telah runtuh untuk mencari daerah yang dianggap aman dan tenang, mereka menyisir jalur pantai selatan jawa menuju arah barat yang pada saat itu merupakan kawasan yang tidak pernah dirambah orang dan disebut sebagai kawasan “jin buang anak” yang berarti kawasan yang asing dan menakutkan, dikisahkan dalam perjalananya tersebut bertemu dan berguru dengan Syeck Maulana Maghribi yang pada akhirnya setelah memasuki maqom spiritual tertentu maka Joko Dandun/ Joko Bandem dikenal masyarakat dengan sebutan Syech Bela Belu yang dikisahkan dengan kewaskitaan yang dimilikinya beliau berdakwah di kawasan Parangtritis hingga akhir hayatnya yang dapat dilihat sampai sekarang adalah keberadaan makamnya.
Syech Bela Belu memiliki keturunan salah satunya adalah Ki Ageng Wongsoprono I yang dahulu dari wilayah Parangtritis melakukan pengembaraan hingga sampai dan menetap di daerah Simo yang sekarang masuk wilayah Mlangen, Kelurahan Walen, Kec. Simo, Kabupaten Boyolali, selanjutnya Ki Ageng Wongsoprono I memiliki anak Ki Ageng Wongsoprono II dan menurunkan anak tunggal yang bernama Ki Ageng Singoprono, dengan demikian Ki Ageng Singoprono adalah keturunan atau Dzuriah Prabu Brawijaya raja terakhir Majapahit.
Semasa hidup Kita Ageng Singoprono menikah dengan Nyai Ageng Tasik Wulan mereka hidup bahagia sebagai seorang petani selain itu sang Istri juga ahli membuat dawet untuk dijual dipinggir jalan didekat rumah tinggalnya, aktifitas Ki Ageng Singoprono dan istri adalah salah satu media dakwah agama kepada masyarakat sekitar, dikisahkan beliau merupakan seorang sufiistik yang kuat dalam menjalani laku spiritualis Islam karenanya dengan kewaskitaanya yang dikemas dengan kebijaksanaan dan keluhuran budi maka Ki Ageng Singoprono selain mengajarkan tentang keluhuran laku Agama Islam maka juga mengajarkan tehnik bercocok tanam yang baik bahkan dikisahkan beliau ahli pula didalam menjinakkan hama tikus yang sering merusak tanaman pertanian, karena hal tersebut maka dahulu kawasan tersebut merupakan hutan yang kering namun selanjutnya bisa berubah menjadi lahan pertanian yang subur karenanya membawa Barokah dengan memberi kesejahteraan hidup bagi masyarakat sekitar.
Ki Ageng Singoprono mendakwahkan Agama Islam dengan penuh kearifan dimana kekompleksitaan fiqih Agama Islam diimplementasikan dengan cara yang sederhana dan bernas agar dapat diterima oleh masyarakat yaitu melalui bentuk ‘sanepan” yang simbolik misalnya minuman dawet yang sengaja dibuat dan dijual oleh Nyai Ageng Tasik Wulan adalah minuman yang menyegarkan ketika diminum pada saat dahaga yang merupakan perlambang jika Agama Islam ketika diamalkan secara benar dan baik maka akan menjadi pengobat kegersangan hidup menuju ketrentraman hidup, selain itu dawet dalam tradisi jawa dimaknai sebagai kebulatan tekad dalam arti kebulatan tekad masyarakat untuk memeluk agama Islam sebagai agama yang memberi keselamatan dunia dan akhirat karenanya dawet merupakan simbolik ajaran hidup yang pada hakikatnya kehidupan manusia di dunia sejatinya dimulai, ‘dinafkahi’ dan kembali berkalang dengan bumi.
Karena kebijaksanaan dan keteladanan tersebut maka secara perlahan wilayah sekitar Walen Simo menjadi ramai untuk dibangun perkampungan dan pemukiman dan para penduduk setempat merasa mendapatkan ketentraman dan kebahagian hidup karenanya kabar kemasyuran Ki Ageng Singoprono sampai kepada Raden Patah di Demak Bintoro, hingga pada akhirnya pada saat Ki Patih Wanasalam utusan Raden Patah sedang melakukan perjalanan menuju Pengging untuk memperingatkan (tabayun) sebelum diserang oleh pasukan Demak maka Patih Wanasalam dengan menyamar sebagai rakyat biasa, sendirian menemui Ki Ageng Singoprono yang dikisahkan Kyai Ageng Singoprono dengan kedalaman batin yang dimiliki mengetahui jika tamunya tersebut bukan orang biasa namun seorang Patih utusan Raja, maka saat sang tamu sudah masuk didalam rumah dipersilahkan duduk di atas bale bale, selanjutnya Ki Ageng Singoprono berturut-turut melakukan sembah penghormatan, karena hal tersebut sang tamu yang sebenarnya Patih Wanasalam turun dari bale dan Kyai Singoprono langsung dipeluk serta dipuji sebagai Kyai yang Waskitha, selanjutnya Ki Patih mengutarakan maksudnya meminta pendapat dalam rencana Demak untuk menyerang Pengging, atas hal tersebut Ki Ageng Singoprono tidak menyetujui gagasan itu dengan menerangkan jika Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging) pada dasarnya tidak akan memberontak kepada Kerajaan Demak karena Ki Ageng Pengging tersebut adalah pejabat yang jujur serta seorang yang alim dengan keluhuran ilmu yang dimiliki sehingga mempunyai karomah, Ki Ageng Singoprono berpendapat jika Ki Ageng Pengging hanya difitnah oleh orang yang tidak suka padanya terlebih setelah berguru pada Syech Siti Jenar, sehingga untuk menyadarkan Ki Ageng Pengging agar mau sowan untuk tunduk pada Demak maka Ki Ageng Singoprono menyarankan agar Demak tidak perlu menggunakan pasukan tetapi cukup dengan kebijaksanaan dan kesabaran.
Saran dan nasehat tersebut selanjutnya ditafsirkan oleh pihak Demak sebagai usaha Ki Ageng Singoprono untuk menghalangi maksud Demak menyerang Pengging, bahkan sempat muncul anggapan jika Ki Ageng Singoprono telah bersekutu dengan Ki Ageng Pengging yang dikaitkan dengan aktifitas keduanya yang sama sama hidup sederhana layaknya rakyat biasa padahal diketahui keduanya adalah berdarah Bangsawan keturunan Prabu Brawijaya yang masih memiliki hak tahta atas Majapahit.
Menurut mitos yang berkembang maka segala keluhuran budi dan kewaskitaan Ki Ageng Singoprono tersebar sampai di seluruh daerah sekitar, namun ternyata hal tersebut membuat Ki Rogo Runting yang notabebenya adalah sahabatnya sendiri menjadi iri dengki, karenanya Ki Rogo runting ingin menguji kesaktian Ki Ageng Singoprono dengan cara memprovokasi melalui kesaktian yang dimilikinya yaitu dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Rogo Runting ke selatan (sekarang masuk Desa Nglembu, kecamatan Sambi, Boyolali) diatas benang dililitkan sebutir telur dan ajaibnya telur tersebut tidak jatuh justru terus menggelinding diatas benang hingga telur tersebut membentur gunung sebelah selatan yang merupakan wilayah Ki Ageng Singoprono, hingga terdengar suara keras dan menggelegar dan mengakibatkan gunung tersebut tugel / putus puncaknya yang pada akhirnya gunung tersebut hingga saat ini disebut dengan Gunung Tugel.
Atas provokasi tersebut tidak membuat Ki Ageng Singoprono melakukan pembalasan dan rupanya justru dianggap oleh Ki Rogo Gunting sebagai bentuk sikap yang meremehkan hingga Ki Rogo Gunting terus melakukan tindakan provokatif lainnya, karena hal tersebut maka Ki Ageng Singoprono meladeni dengan cara yang sama yaitu mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan wilayah Rogo Runting, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung tersebut rusak, namun justru membuat tubuh Ki Rogo Runting hancur berkeping keping berkalang tanah dan tewas seketika dan jasadnya kemudian dimakamkan di daerah perbatasan kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo runting.
Segala keteladanan, sifat tawadlu’ dan keluhuran budi dan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Singoprono nampaknya masih menjadi inspirasi bagi warga sekitar hingga saat ini yang dapat dilihat betapa banyaknya para peziarah yang nyaris tak pernah sepi melakukan ziaroh di Makam Ki Ageng Singoprono dengan melafadzkan kalam kalam illahi dengan penuh ketakdziman dan kekhususan untuk mendapatkan barokah karomah dari sosok Ki Ageng Singoprono.
Semoga Allah SWT Meridhoi
Lahul Fatihah
Sofyan Mohammad, Gunung Tugel, 14/02/20
02.30 WIB
SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) R. Ng. RONGGOWARSITO* (Palar, Trucuk, Klaten)
“amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawanwaspada”
(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)
Salah satu penggalan bait yang sangat populer dan familier bagi orang Jawa khususnya atau bahkan masyarakat Nusantara umumnya, bait syair tersebut tertuang dalam Serat Kalatida yang merupakan salah satu karya Agung R. Ng. Ronggowarsito semasa hidup. Syair penuh makna dalam Serat Kalatida tersebut secara subtansi rasa rasanya tidak akan usang oleh perkembangan zaman, karena maksud yang tersirat dalam bait tersebut tentu masih relevan untuk menggambarkan potret keadaan zaman ke zaman bahkan justru semakin relevan ketika diadopsi untuk menggambarkan situasi di zaman milineal serba digital seperti sekarang ini.
Raden Ngabehi Ronggowarsito masyur sebagai seorang Pujangga sekaligus sufistik yang sangat melegenda di tanah jawa pada abad 18an beliau seorang yang sangat produktif dengan mewariskan banyak karya tulis, sebagaimana diketahui jika dalam kapasitasnya sebagai seseorang sufistik maka dalam dunia tasawuf beliau pernah membuat karya yang sangat monumental yaitu Serat Wirid Hidayat Jati dan Serat Ma’lumat Jati yang di dalamnya merupakan sebuah medium dengan telaah tertinggi dari laku spritual dalam kehidupan sufistiknya, karya tersebut pada intinya mengupas secara mendalam risalah tentang Dzat, Shifah dan Af’al Allah yang dapat diurai secara komprehensif hingga mengerucut dalam bentuk manifestasi laku spritual yang disebut sebagai salat daim.
Salat daim adalah kontinuitas laku shalat dari saat ke saat yang dijelaskan sebagai, “Salat angiras nyambut gawe, anglakoni panggaweyan kasambi salat, alungguh sarwi lumaku, lumaku karo andheprok, lumayu sajroning mandheg, ambisu karo acarita, lunga karo aturu, aturu karo melek…” (Shalat sembari bekerja, bekerja sambil terus shalat, duduk dengan berjalan, berjalan dalam keadaan duduk, berlari dalam keadaan berhenti, membisu sambil bercerita, bepergian dengan tidur, tidur dalam keadaan terjaga)
Menurut beberapa catatan maka beliau mengawali proses intelektual dan spiritual yang dituangkan dalam karya adalah pada saat beliau berusia 20 tahun ketika menyusun sebuah karya yang berjudul Serat Jayengbaya, dimana karya ini adalah titik balik awal pengembaraan untuk menemukan puncak episentrum rohani dan intelektualnya sebagai seorang spiritualis sekaligus pujangga yang legendaris.
Penyusunan Serat Jayengbaya adalah ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko, dalam serat ini dinukilkan tentang tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang memiliki pribadi yang konyol dan lincah untuk mengembara dalam khayalannya tentang pekerjaan.
R. Ng. Ronggowarsito depanjang hidupnya sejak mulai serius menekuni dunia kasustraan sekaligus dunia spiritual yaitu sejak tahun 1826 hingga 1873 (47 tahun berkarya) maka R. Ng. Ronggowarsito telah menghasilkan tidak kurang dari 60 judul buku/ kitab/ serat dengan beragam bahasan, yang tertuang dalam karya tulis tentang falsafah, kebatinan, lakon-lakon wayang, cerita Panji, dongeng, babad, sastra, bahasa, kesusilaan, adat istiadat, pendidikan, primbon, ramalan, dan sebagainya, karena hal tersebut maka tak mengherankan jika beliau satu satunya Pujangga Nusantara yang sangat legendaris dengan karya yang belum dapat tertandingi hingga saat ini.
Sebagai seorang intelektual R. Ng. Ronggowarsito juga menulis banyak hal tentang sisi kehidupan dan setelah memasuki masa kematangannya sebagai seorang pujangga maka dengan cara yang cerdas, kreatif dan gemilang mampu merefkesikan suasana batin dengan merekam protet dinamika jaman secara utuh dan bernas melalui karya serat yang ditulisnya. Dalam kapasitasnya selaku intelektaul maka R. Ng. Ronggiwarsito menulis Serat Kalatidha mupun Serat Jaka Lodhang yang lebih fokus pada lingkup ramalan zaman bahkan melalui Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Dari berbagai literatur dapat terbaca jika gerak intelektual dan spiritual R. Ng. Ronggowarsito bisa bertolak dari beberapa hal yang pertama bisa dilihat dari garis nasab atau keturunan yang secara genetik maka R. Ng. Ronggowarsito berasal dari keturunan bangsawan yaitu dari garis ayahnya, adalah keturunan ke -10 dari Sultan Hadiwijoyo, pendiri Kerajaan Pajang dengan urutannya adalah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) berputra Pangeran Benawa yang juga bernama Sultan Prabuwijaya berputra Pangeran Mas atau Panembahan Radin berputra Pangeran Wiramenggala I (Kejaroan) berputra Pangeran Wiraatmaja berputra Pangeran Wirasewaya berputra Pengeran Danupati berputra Pangeran Danupaya berputra R.T. Padmanegara berputra R.T. Yasadipura I berputra R.T. Sastranegara
disebut pula Raden Ngabehi Yasadipura II dan juga disebut Raden Ngabehi Ronggowarsito I ketika masih berpangkat Panewuh. R.Ng. Ronggowarsito I berputra R.Ng. Ronggowarsito II berpangkat Carik. R.Ng. Ronggowarsito II
berputra R.Ng. Ronggowarsito III yang ketika masih kanak-kanak bernama Bagus Burham.
Sedangkan silsilah R. Ng. Ronggowarsito dari jalur ibu menurut sumberBabad Ronggowaristo dengan urutan adalah
Sultan Trenggana berputra R.T. Mangkurat berputra R.T. Sujanapura I (Pujangga Pajang). berputra R.T. Sujanaputra II (Pujangga
Pajang) berputra R.T. Wangsabaya I
berputra Kyai Ageng Wangsabaya II, berputra Kyai Ageng Wangsataruna (Dimakamkan di Palar Klaten satu komplek dengan R. Ng. Ronggowarsito)berputra Nayamenggala berputra Kyai Ageng Nayataruna berputra R.Ng. Sudiradirjka I mempunyai anak perempuan bernama Raden Nganten Ronggowarsito II yang terkenal dengan sebutan Nyai Ajeng Ronggowarsito berputra R.Ng. Ronggowarsito III atau nama kecilnya Bagus Burham
Faktor lain yang semakin menggeliatkan intelektual dan spiritual R.Ng. Ronggowarsito karena pendidikan yang dijalaninya yang dikisahkan jika sejak kecil beliau sudah diajarkan untuk membaca kitab kitab klasik bahkan sejak kecil pula sudah diperkenalkan dengan Kitab Nitisutri karya leluhurnya yaitu Raden Tumenggung Sujanaputra yang terkenal dengan sebutan Pangeran Karanggayam, seorang pujangga Kraton Pajang, kegemarannya membaca sejak kecil ditanamkan oleh R.T. Sastranagara, kakeknya, yang juga pujangga kraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil yaitu Bagus Burhan pada tahun 1728 J atau 1802 M, selanjutnya kakeknya yang bernama R.T. Sastronagoro lah yang dapat menemukan bakat besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal dan nakal, karena hal tersebut maka selanjutnya Bagus Burham kecil di kirim untuk nyantri ke Pondok Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari. Karena sebagai seorang putra bangsawan maka Bagus Burham mempunyai seorang emban (pamomong) sekaligus guru mistiknya yang bernama Ki Tanujoyo. Dikisahkan Bagus Burham di Pondok Pesantren sangat bandel, nakal dan tidak disiplin bahkan malas malasan untuk belajar ilmu agama, karena lebih suka berkawan dengan para warok, bersabung ayam dan lebih senang mempelajari ilmu kesaktian dan Kanuragan, karena hal tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari menjadi sangat marah, bahkan Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sempat diusir dari pesantren, karena diusir keduanya lantas berkelana di kawasan Jawa Timur, namun beberapa lama setelah keluar dari lingkungan Pesantren justru membuat Kyai Kasan Baseri menjadi bingung dan menyesal hingga selanjutnya mengutus muridnya bernama Kromoleyo yang dianggap mengenal watak Bagus Burham untuk mencari dan menemukan dimana pun berada, setelah sekian lama mencari pada akhirnya dapat ditemukan di sebuah pasar di Madiun yaitu ketika Bagus Burham dan Ki Tanujoyo sedang menonton “Rodad” kesenian tradisional berupa sendratari dan kanuragan, lalu keduanya diajak balik lagi ke pesantren dan setelah itu Kyai Kasan Besari lebih serius mendidik Bagus Burham yang menurut Babad Ronggowarsito di kisahkan pada saat itu Kyai Kasan Besari menghukum Bagus Burham dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat pesantren selama 40 hari yang sehari-harinya hanya makan sebuah pisang.
Setelah kejadian tersebut maka membuat Kyai Kasan Besari benar benar mencurahkan ilmu agama pada Bagus Burham dan ternyata tidak butuh yang lama bagi Bagus Burham untuk menguasai berbagai ilmu yang diberikan Kyai Kasan Baseri bahkan hingga akhirnya Bagus Burham sempat diangkat sebagai badal atau wakil Kyai Kasan Besari di pesantren dan pada tahun 1815 Bagus Burham kembali ke rumah dengan bekal ilmu Agama dari Pesantren Kyai Kasan Besari itu kemudian dirumah Bagus Burham juga dididik secara disiplin oleh kakeknya, Sastronegoro dengan ilmu kasusastran serta bahasa Jawa kuno dan Kawi dari Panembahan Buminoto, maka akhirnya Bagus Burham tuntas mereguk ilmu spiritual dan kasusastran, melihat kepandaian dan bakat besar dari Bagus Burham maka Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku Buwono V agar Bagus Burham yang saat itu berumur 19 tahun agar dapat diberi pekerjaan dan tempat yang layak di keraton, namun usul tersebut ditolak, padahal waktu itu Bagus Burham sudah menikah dengan Raden Ayu Gombak, karena tak memiliki pekerjaan maka akhirnya Bagus Burham mengajak serta Ki Tanujoyo untuk melakukan gembaraan lagi guna menyempurnakan ilmu yang didapat.
Pengembaraan Bagus Burham hanya berdua dengan Ki Tanujaya dan meninggalkan istrinya dirumah, pengembaraan menyusuri daerah bang wetan (Jawa Timur), Madura hingga sampai di Pulai Bali, di setiap daerah yang disinggahi maka Bagus Burham selalu berguru dengan “orang orang Waskito” yang ditemukan di manapun berada dalam pengembaraan tersebut.
Diriwayatkan setelah tampuk kekuasaan di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat beralih dipegang oleh Sinuwun Paku Buwono VI, maka pada tahun 1822 Bagus Burham diminta kembali ke keraton dan ditempatkan sebagai juru tulis dan sejak saat itu Bagus Burham memperoleh nama dan gelar yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito III.
Baru sekitar 2 tahun menjabat sebagai juru tulis di Kraton namun kemudian berlangsung hiruk pikuk Perang Diponegoro (1825-1830) yang berefek pada konstelasi di Kraton Kasunanan Surakarta karena diketahui jika Sinuwun Paku Buwono VI berpihak pada Pangeran Diponegoro dan tentu saja R. Ng Ronggowarsito juga demikian ikut berpihak pada perjuangan Pangeran Diponegoro sementara banyak diantara punggawa kraton justru berpihak pada Belanda, intrik demi intrik politik terus berlangsung di lingkungan Kraton yang sampai pada akhirnya membuat Sinuwun Paku Buwono VI menanggung konsekuensi yaitu harus dibuang ke Ambon hingga wafat di sana pada tahun 1849.
Kondisi politik yang berakhir pada pembuangan Sinuwun Pakubuwono IV juga berakibat kurang baik bagi R.Ng Ronggowarsito sendiri karena terus mendapatkan tekanan dari para pembesar Kraton yang pro Belanda bahkan tak kurang sering menjadi sasaran kesalahan yang dicari cari.
R. Ng. Ronggowarsito meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 1873, tepat seperti apa yang beliau tulis sendiri dalam kitab Sabdajati yaitu pada hari Rebo Pon dan pada akhirnya R. Ng. Ronggowarsito dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten yang merupakan Desa tempat kelahirannya yang juga desa asal ibu Kandungnya, di Desa ini pula beliau dahulu menghabiskan waktu masa kecilnya.
Dengan bertabaruk sambang di makamnya sembari melafadzkan ayat suci Al Qur’an dan mengetam diri dengan bacaan tahlil dan tahmid dengan suingging doa yang tercurah untuk senantiasa mengharap Rahmad dan Hidayah dari Allah Wala Ja’ala Tuhan Seru Sekalian Alam, maka kita akan memasuki dimensi ritualitas konfirmasi diri untuk menyadarkan diri kita sendiri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi dengan harapan menjadi orang yang bermanfaat dan penuh mabruk yang sekurang kurangnya mampu memiliki kesadaran perilaku untuk selalu “éling klawan waspada dalam memapaki
zaman édan” seperti pesan R. Ng. Ronggowarsito dalam bait serat kalatido.
Semoga Allah SWT Meridhoi.
Lahul Fatihah.
Pakar, Trucuk, Klaten
21/02/20.
- Dioleh dari berbagai sumber dan wawancara dengan Juru Kunci Makam
** Sofyan Mohammad
Ketua LPBHNU Kota Salatiga.
SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) KI AGENG GIRING III
Dalam berbagai kisah yang tertulis dalam Babad tanah Jawi maupun cerita yang berkembang turun temurun maka sosok ulama yang berjuluk Ki Ageng Giring III adalah legenda yang tidak dapat dipisahkan dengan terbangunnya kerajaan Mataram Islam yang merupakan salah satu cikal bakal bersatunya Nusantara.
Dikisahkan Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pamanahan sejak masih muda merupakan santri dari pada Kanjeng Sunan Kalijogo “guru suci ini tanah jawi”. Ketekunan, kesalehan dan ketakdziman kedua santri ini dalam mengamalkan ilmu laku topo broto dan petuah dari pada gurunya maka pada akhirnya membuahkan hasil yaitu keduanya mendapatkan Hidayah yang berupa Wahyu Keraton untuk menjadi leluhur cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini melalui pewarisnya yaitu Kasunanan Surokarto Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, Mangkunegaran Surokarto dan Paku Alaman Ngayogyokarto yang pada saat ini setia bergabung dalam wadah NKRI.
Dikisahkan dua santri Kanjeng Sunan Kalijogo tersebut telah menerima Wahyu Keraton yang disebut dengan Wahyu “Gagak Emprit” saat keduanya menjalankan laku topo broto di Gunungkidul. Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Lampir, Girisekar, Kec. Panggang sedangkan Ki Ageng Giring III laku topo broto di alas Paliyan yang sekarang menjadi tempat makam beliau yaitu di Ds. Sodo, Kec. Paliyan, Gunung Kidul.
Wahyu “Gagak Emprit” diwujudkan dalam bentuk “degan” atau kelapa muda yang pohonnya ditanam sendiri oleh Ki Ageng Giring III buahya yang memetik juga Ki Ageng Giring III namun pada akhirnya air kelapa yang meminum adalah Ki Ageng Pamanahan, hal inilah yang menjadikan terjadinya negoisasi yang berujung pada islah diantara keduanya untuk membagi keturunannya masing masing sebagai Raja Mataram.
Dikisahkan setelah 7 raja dari keturunan Ki Ageng Pamanahan lenggah dalam singgasana sebagai Raja Mataram Islam maka kemudian bergeser ke pada keturunan Ki Ageng Giring III atau persilangan dari keduanya yang meneruskan menjadi Raja Mataram Islam hingga saat ini.
Menurut babad maka Ki Ageng Giring III maupun Ki Ageng Pamanahan sama sama berinduk dari nasab yang sama yaitu Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri yang lebih jauh lagi juga berinduk pada trah Rajasa yaitu Ken Arok – Ken Dedes sehingga pada prinsipnya kedua santri ini juga merupakan saudara sama sama berdarah biru pewaris kerajaan Majapahit.
Semasa hidup Ki Ageng Giring menikah dengan Nyi Talang Warih yang kemudian lahir dua orang anak, yaitu Kanjeng Rara Lembayung yang kemudian menikah dengan Panembahan Senopati anak Ki Ageng Pamanahan yang menjadi Raja pertama Kerajaan Mataram, sehingga Rara Lembayung merupakan Ratu Mataram dengan gelar Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari. Adapun anak kedua Ki Ageng Giring III yaitu Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Pada tahun 1704 M yaitu ketika Pangeran Poeger naik tahta menjadi Raja yang bergelar Sri Susuhunan Paku Buwono I maka dari sinilah diyakini babak baru sejarah Dinasti Mataram mulai bergeser karena jika diurutkan sejak Panembahan Senopati sebagai Raja Pertama maka Pangeran Poeger merupakan raja ke-8 yang merupakan keturunan Ki Ageng Giring III sehingga islah dan kesepakatan antara Ki Ageng Gribig III dengan Ki Ageng Pamanahan benar benar terealisasi.
Diyakini jika Pangeran Poeger merupakan keturunan Ki Ageng Giring III atau setidaknya sudah terjadi persilangan genetik antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III karena Penambahan Senopati menikah dengan Kanjeng Roro Lembayung sehingga antara Ki Ageng Pamanahan dengan Ki Ageng Giring III juga berbesanan, karenanya keturunan yang didapat juga merupakan persilangan diantaranya, meskipun ada kisah lain yang membenarkan jika Pangeran Puger adalah keturunan Ki Ageng Giring III yaitu dikisahkan dalam Babad Nitik Sultan Agung jika Ratu Labuhan, permaisuri Sinuwun Amangkurat I melahirkan seorang bayi yang kurang sempurna dan bersamaan dengan itu, istri Pangeran Arya Wiramanggala dari Kajoran, Klaten yang masih keturunan Ki Ageng Giring III melahirkan seorang bayi sehat dan tampan, selanjutnya dikisahkan Sinuwun Amangkurat I mengenal Panembahan Kajoran sebagai orang yang linuwih sehingga bayi yang kondisinya kurang sempurna tersebut di bawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhan dan oleh Panembahan Kajoran merasa inilah momentum untuk menjadikan keturunannya sebagai Raja sehingga dengan cerdik, bayi Pangeran Arya Wiramanggala dikembalikan ke Sinuwun Amangkurat I dengan menyatakan upaya penyembuhan berhasil.
Terlepas dari kebenaran kisah tersebut diatas maka terjadinya persilangan keturunan dalam perkawinan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Roro Lembayung adalah jawaban atas tafsiran jika Wahyu keraton “Gagak Emprit” yang berwujud banyu degan (air kelapa muda) bukan merupakan makna sesungguhnya karena merupakan bentuk sasmita alias bahasa isyarat – isyaroh jika banyu degan itu sebenarnya wanita, karena dalam banyak literatur kisah menceritakan pembawa wahyu kekuasaan di tanah Jawa ada pada faktor perempuan.
Dikisahkan jika Ki Juru Mertani telah menasehati Panembahan Senopati yaitu walaupun Ki Ageng Pemanahan dapat meminum banyu degan sebagai Wahyu Keraton, tetapi jika tidak bersatu dengan Ki Ageng Giring III maka tidak akan kuat untuk memegang tampuk kekuasaan, atas nasehat tersebut maka Panembahan Senopati selanjutnya memperistri Kanjeng Roro Lembayung dan dari pernikahan tersebut melahirkan Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya atau berjuluk Banteng Mataram yang merupakan cucu dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III.
Sewaktu masih hidup maka Ki Ageng Giring III hidup bersahaja sebagai seorang santri di Desa, selain bercocok tanam maka juga menyadap nira kelapa, karenanya di tempat tersebut Ki Ageng Giring III juga memiliki sebutan nama yaitu Ki Panderesan karena profesi penyadap nira (deres legen) kelapa.
Kehidupan sederhana di desa tanpa embel embel kebangsawanan adalah proses Riyadloh (prihatin) atau laku topo broto yang merupakan petuah dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kalijogo, dengan demikian Ki Ageng Giring III adalah seorang murid yang sangat Takdzim dengan gurunya karenanya bisa menjadi seorang santri yang sholeh dan penuh mabruk hingga dapat mencapai maqom spiritual yang tinggi.
Keistiqomahan proses laku spiritual yang dijalani oleh Ki Ageng Giring III terbukti bisa menjadikan dirinya sebagai salah satu cikal bakal atau pepunden Dinasty Mataram Islam dimana kerajaan ini selama berabad abad lamanya telah berproses menciptakan keluhuran budi dan peradaban di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, sehingga amal kebaikannya tersebut merupakan ladang amal sholeh tak berkesudahan hingga saat ini.
Sebagai seorang santri yang menjalani laku spiritual dan hidup di desa maka diyakini semasa hidupnya Ki Ageng Giring III juga berdakwah untuk syiar Islam khususnya di kawasan Gunung Kidul, dikisahkan beliau membimbing umat dengan cara yang sangat sempurna yaitu dengan keteladanan sikap yang mencerminkan Islam yang Rahmatan Lil Alamien, sehingga tak heran jika sampai saat ini Ki Ageng Giring III tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat luas meski beliau sudah berada di alam kelanggengan.
Didalam komplek makam Ki Ageng Giring III maka di bagian depan sebelum masuk tajuk terdapat makam para santri atau abdi beliau yang setia yaitu Eyang Purwosodo, Eyang Mandung, Eyang Manten, Eyang Jampianom dan juru kunci pertama yaitu Madiyo Kromo atau disebut Suto Reko, sedangkan disebelah kanan tajuk makam Ki Ageng Giring III terdapat makam Kanjeng Ratu Lembayung Niken Purwosari.
Bertabaruk dengan sowan ziaroh ke komplek makam Ki Ageng Giring III adalah salah satu cara bermedium dalam dimensi spiritual untuk napak tilas sejarah sekaligus meneladani segala keluhuran yang telah diwariskannya sehingga kita bisa meneguk barokah dan karomahnya agar dapat menjadi insan yang sholeh bermanfaat marang sapodo podo.
Lahul Fatihah
Oleh: Sofyan Mohammad
Sodo, Paliyan, Gunung Kidul D.I.Y. 09/01/20. 02.31 WIB
Note :
Dirangkum dari keterangan Mas Bekel Anom Surakso Fajarudin selaku juru kunci makam serta dari literatur buku sejarah.
MELACAK JEJAK SEJARAH CIKAL BAKAL DESA SURUH (Peran Kyai dalam membangun peradaban di Desa Suruh)
Suruh merupakan salah satu Desa yang masuk di Wilayah Kabupaten Semarang – Jateng, terletak 33 KM dari pusat ibukota Kabupaten. Desa Suruh merupakan ibukota pemerintahan Kecamatan Suruh yang membawahi 17 Desa.
Diyakini sebelum abad 15 M disekitar desa Suruh saat ini sudah ada peradaban yang ditandai dengan berdirinya beberapa Desa disekitar Desa Suruh, namun khusus Desa Suruh maka peradaban secara teratur mulai terbentuk setelah adanya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yaitu perjanjian yang dilakukan antara Sri Susuhunan Paku Buwono III Raja Surakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono 1 (Pangeran Mangkubumi) Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dan dengan Pangeran Sambernyowo (KGPA Mangkunegaran 1), perjanjian ini adalah bagian penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan kerajaan Mataram Islam.
Dalam perjanjian itu adalah pembagian wilayah untuk kekuasaan Pangeran Sambernyowo dan merupakan episode lanjutan dari adanya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang menandai pecahnya kekuasaan wilayah Kerajaan Mataram Islam.
Perjanjian Gianti maupun perjanjian Salatiga tidak lepas dari adanya campur tangan VOC dan perjanjian Salatiga tersebut berlangsung di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang sekarang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.
Setelah berlangsung Perjanjian Salatiga tersebut maka diceritakan ada salah satu Ulama berdarah Ningrat yang bersimpati dengan Perjuangan Pangeran Sambernyowo dan tidak sependapat dengan campur tangan Belanda didalam melakukan manuver pecah belah karena VOC sudah sedemikian jauh mengurusi urusan pemerintahan di Keraton Surakarta Hadiningrat bahkan dikisahkan Sri Susuhunan Paku Buwono III yang melantik adalah pihak Belanda karenanya merupakan raja Mataram pertama yang dilantik oleh pihak Belanda
Ulama dari golongan bangsawan tersebut melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara memilih keluar dari pusat Ibukota dan memilih hijrah untuk mencari wilayah lain guna menghindari hiruk pikuk konflik politik di pusat pemerintahan Surakarta Hadiningrat, salah satu Ulama dimaksud adalah Raden Setiyo Manggolo, yang merupakan murid dari Kyai Mas Ngabehi Astra Wijoyo atau sering disebut Kyai Encik Domo yang merupakan salah satu Ulama sekaligus Punggawa di Wilayah Kadipaten Semarang yang pada saat itu masuk wilayah dibawah kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat waktu itu.
Dikisahkan Raden Setiyo Menggolo hijrah bersama putra keduanya yang bernama Raden Aji Manggala Putro yang diikuti oleh 2 Punggawa setia yaitu Raden Gus Kento Sastra dan Raden Gus Kento Sahab serta beberapa abdi dalem dan para santri tentunya
Dalam perjalanan mencari tempat tinggal baru tersebut maka sampailah di salah satu hutan kecil arah timur umbul Senjoyo atau Desa Tingkir yang saat itu sudah terbentuk peradaban yang cukup ramai, setelah berada di daerah inilah maka kemudian Raden Setiyo Manggolo bersama para pengikutnya membabat hutan kecil dan membangun pemukiman yang selanjutnya diberi nama Desa Suruh.
Diyakini rumah prabon tempat tinggal Raden Setiyo Menggolo beserta keluarganya sekarang terletak di Dusun Pandean, sedang Punggawa Raden Gus Kento Sastra bermukim di daerah sekarang masuk Dusun Kauman dan Punggawa Raden Gus Kento Sahab bermukim sekarang masuk Dusun Banggirejo sementara para abdi dalem dan santri membuat rumah Magersari di sekitar ndalem poro ndoronya masing masing
Untuk menarik minat para penduduk sekitar agar mau bermukim di Desa Suruh maka dibuatlah jalan jalan tembus yang menghubungkan dengan desa desa sekitar, setalah cukup banyak penduduk yang bermukim di Desa Suruh maka untuk lebih meramaikan Desa selanjutnya Raden Setiyo Manggolo membuat kios / warung yang dalam perkembangannya menjadi pusat perniagaan yang sekarang menjadi Pasar Suruh.
Setelah penduduk yang bermukim semakin banyak maka sebagai media Dakwah Raden Setiyo Menggolo bermaksud mendirikan masjid yang pada awalnya akan dibangun disekitar rumahnya di Dusun Pandean, namun setelah berkonsultasi dengan gurunya yaitu Kyai Mas Ngabehi Encik Domo maka sesuai dengan petunjuk gurunya tersebut pada akhirnya disepakati Masjid Besar Suruh dibangun di Dusun Kauman sekarang karena disekitar wilayah tersebut terdapat umbul air atau sendang Naga Ngakak yang airnya dapat dipergunakan untuk keperluan Masjid.
Dikisahkan sebelum Pembangunan Masjid selesai ternyata Raden Setiyo Menggolo meninggal dunia maka pada akhirnya kepemimpinan Desa Suruh diambil alih oleh Kyai Mas Ngabehi Encik Domo atau R Ng. Astra Wijoyo, termasuk Putra mendiang Radrn Setiyo Menggolo yaitu Raden Aji Menggolo Putro diasuh pula oleh Kyai Encik Domo.
Oleh Kyai Encik Domo pembangunan masjid dimulai yang berdasarkan tarikh (sejarah) yang tertuang dalam piagam berhuruf Pegon Arab ditandatangani oleh Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo yang sampai saat ini masih terpasang pada dinding masjid, maka Masjid Besar Suruh diresmikan pada Hari Ahad (Minggu) delapan belas hari, bulan Muharam tahun Bi Hijratan Nabi Shollahhu Alaihi Wasallam 1232 H atau bertepatan tahun 1816 Masehi.
Masjid Besar Suruh oleh Kyai Astro Widjojo benar benar dipergunakan untuk media syiar Agama Islam sekaligus difungsikan sebagai pusat untuk mengatur pemerintahan Desa Suruh. Kyai Encik Domo sebagai pemimpin Desa Suruh didampingi oleh Gus Raden Kentho Sastro selaku Wakilnya maupun Raden Gus Kentho Sahab selaku pamong pemerintahan.
Sebagai seorang ulama maka Kyai Encik Domo menggunakan cara yang luhur dan santun didalam mendidik umat karenanya dikisahkan untuk pengelolaan Pemerintahan melalui Masjid maka pada saat itu sudah dilakukan manajerial yang sedemikian sistematis dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang dapat dijalankan dengan penuh amanah oleh masing masing penerima tugas misalnya Raden Gus Kento Sastro (Mbah Wakil) bertugas untuk mengadakan tarikan restribusi pasar yang saat itu berupa hasil yang diperdagangkan, hasil yang diperoleh dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan sekaligus untuk kesejahteraan umat sedangkan Raden Gus Kento Sahab bertugas untuk mencerdaskan kehidupan seluruh warga Desa Suruh.
Untuk mempercepat proses pembangunan maka Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo mendatangkan ahli pertukangan kayu yang ditempatkan di Dusun Mesu, ahli kuningan ditempatkan di Dusun Kauman, ahli gerabah ditempatkan di Dusun Morangan, ahli peralatan pertanian dan kemasan ditempatkan di Dusun Pandean, selanjutnya para ahli ahli tersebut bertugas mengajarkan keahlian yang dimilikinya tersebut kepada penduduk Desa Suruh.
Sepeninggal Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo maka santri sekaligus anak angkatnya yaitu Raden Aji Manggolo Putro meneruskan pemerintahan Desa Suruh, yang dikisahkan selain waskita dengan ilmu keagamaan yang tinggi maka Raden Aji Menggolo Putro juga mahir dalam ilmu tata pemerintahan sehingga dibawah kepemimpinannya maka Desa Suruh berkembang dengan sistem yang sangat baik pada era itu, secara prinsip kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Desa Suruh waktu itu dapat terlihat dari sisa sisa bangunan maupun planologi tata ruang desa suruh yang bisa kita pelajari hari ini.
Diyakini jika Raden Aji Menggolo Putro didalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dengan pendekatan roso dan simbolik yang menjadi ciri orang Jawa, syiar Islam tidak melalui dalil dalil yang kaku, kompleksitas dalil dalam Kitab Al Qur’ an, Hadist, usul Fiqh, Furu’i dll diterjemahkan dengan penyampaian yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh umat, karenanya hasil yang didapat adalah predikat Desa Suruh dari dahulu terkenal sebagai basis Agama dengan penduduk yang sangat relegius.
Raden Aji Menggolo Putro setelah memiliki kematangan ilmu keagamaan maka kemudian mengganti namanya menjadi Kyai Abdul Karim dan menurut penuturan sumber nasabnya Kyai Abdul Karim atau Raden Aji Mangala Putra memiliki keturunan yaitu empat orang yaitu Hasan Arif, Muhammad Qirom, Muhammad Muchsin dan Roro Sireng yang kesemuanya hingga saat ini telah melahirkan generasi turun temurun menjadi Penduduk Desa Suruh dan sebagian diantaranya juga menyebar ke beberapa daerah dengan membawa nasab genetik keturunan Raden Setiyo Menggolo dan Raden Aji Menggolo Putro alias Kyai Abdul Karim.
Kehalusan budi pekerti, tauladan serta kebijaksanaan memimpin yang dilakukan oleh Kyai Abdul Karim maka perlahan namun pasti telah membentuk kebudayaan dan peradaban yang Adi luhur di Desa Suruh, karenanya warisan kebudayaan yang melekat menjadi kearifan lokal tersebut harus dilestarikan oleh Warga Suruh meski juga harus mengikuti perkembangan zaman kekinian yang serba digital.
Susunan puzzle jejak sejarah Desa Suruh ini kami susun dalam Tabaruk ilmi dengan KH Abdul Karim yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al Mansyur, Gundi Suruh seusai rapat Pengurus Ranting NU Desa Suruh di Ponpes HIKMATUL FATHILAH Watu Agung Suruh.
Kepekatan kabut malam menjadi saksi guyuran wejangan Romo Yai Abdul Karim sehingga mampu menggugah kesadaran dan semangat sahabat sahabat Ansor Banser Anak Cabang Suruh untuk melestarikan keluhuran budaya yang diwariskan oleh leluhur cikal bakal Desa Suruh yang merupakan seorang Kyai atau Ulama
Petuah Romo Yai Pengasuh Ponpes Al Mansyur tersebut beringsut masuk kedalam sanubari rohani para Sahabat Ansor Banser Suruh bersamaan dengan nikmatnya kopi hitam yang kami seruput setelah kami tuang sendiri dari ceret berwarna perak.
Kepulan asap rokok filter yang di hisap oleh Rois Syuriah Ranting NU Suruh tersebut laksana hizib yang membawa berkah semangat bagi semua sahabat Ansor Banser Suruh yang hadir saat itu untuk meneguhkan tekad meneruskan perjuangan para ulama cikal bakal Desa Suruh.
Semoga keberkahan dan petuah ilmu yang diberikan oleh Romo Yai Abdul Karim dapat menjadi pemantik bagi bersatunya kesadaran Para Penduduk Suruh untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik untuk memulai hari hari pada tahun 2020 ini.
Matur nuwun Yai atas segala curahan illmunya semoga membawa Barokah bagi semua
Lahul Fatihah
Watu Agung Suruh, 2 Januari 2020. 01. 45 WIB
Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)
Mbah Ali Ma’shum dan Pak Ali As’ad
Selain dikenal sebagai kyai yang ‘alim allamah, mbah ali, salah satu panggilan salah satu rois ‘am NU, juga dikenal sebagai pribadi humoris dan gemar mengerjai santrinya. Kala itu beliau juga salah satu pengajar di IAIN Sunan Kalijaga Jogja. Konon anugerah Profesor dari salah satu perguruan tinggi tertua itu juga pernah beliau tolak.
Adalah ‘Ali As’ad (alm. KH Ali As’ad), salah satu santri kepercayaan beliau yang mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKB, orang yang pernah dikerjai oleh beliau.
Suatu hari para mahasiswa sowan untuk belajar ke rumah beliau Mbah Ali di Komplek Pondok Pesantran al Munawwir Krapyak Jogja. Cara ini menjadi salah satu belaiau untuk mendekatkan mahasiswa dengan pesantren. Hari itu beliau memanggil Ali ‘As’ad untuk menggantikan beliau mengajar mahasiswa beliau. Dengan berat hati Pak Ali ngestoaken dawuh beliau.
Di tengah asyik kang santri Ali As’ad mengajar, tiba tiba Mbah Ali memanggilnya dan tanpa basa basi langsung memarahinya di depan para mahasiswa. Kontan kang Ali kaget karena tidak tahu apa kesalahannya. Namun sebagai santri dia hanya diam dan sam’an wa tha’atan.
Setelah pengajaran selesai beliau dipanggil oleh sang kyai dan ditanya: kowe ngerti ra tak seneni mau (kamu tahu nggak kenapa tadi saya marahi)?. Beliau hanya menjawab tidak tahu. Beliau lalu mengatakan: aku ben ketok berwibawa nang ngarep mahasiswa mau (agar saya terlihat berwibawa di hadapan mahasiswa tadi). Keduanya lalu tertawa terbahak bahak, yang menjadi ciri khas beliau. Lahumal fatihah.
Oleh: Kang Din….
Diceritakan oleh alm, KH Ali As’ad kepada Saudara Ibadurrahman di tahun 2010 an.
Misteri Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid Sunan Ampel Yang Meninggal 9 Kali
Masjid Ampel mempunyai cerita tersendiri dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Masjid peninggalan Sunan Ampel yang terletak di Surabaya ini menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam dan merupakan salah satu Masjid tertua di Indonesia.
Banyak cerita unik di seputar masjib Ampel ini, Mbah Bolong yang bisa melihat ka’bah hanya melalui lubang yang dia buat di pemgimaman masjid tersebut. Dan salah satu yang paling terkenal adalah cerita Mbah Sholeh, tukang sapu masjid yang meninggal 9 kali. 9 makam yang terletak di samping Masjid Ampel pun kesemuanya merupakan makam Mbah Sholeh.
Dilansir dari hello-pet.com, Mbah soleh ini dulunya adalah seorang santri Sunan Ampel yang paling rajin. Sifat rajinnya ini ditunjukkan dengan selalu membersihkan masjid setiap waktu. Mbah Sholeh memang sangat terkenal sebagai sosok yang biasa menjaga kebersihan. Hal itu banyak diakui teman sesama santri dan juga Sunan Ampel, gurunya sendiri. Bisa dikatakan Mbah Sholeh ini adalah tukang sapu masjid Ampel ini.
Hingga akhirnya Mbah Sholeh meninggal dan kemudian beliau dimakamkan di samping masjid. Setelah meninggalnya Mbah Sholeh, masjid jadi kurang terurus dan agak kotor, karena tidak ada sosok santri yang bisa serajin Mbah Sholeh. Sampai pada suatu malam Sunan Ampel teringat kepada sosok Mbah Sholeh
“Kalau Mbah Sholeh masih ada, masjid pasti bersih,”
Tiba tiba tidak lama muncul sosok serupa Mbah Sholeh dan menjalankan rutinitas yang tiap hari dilakukan Mbah Sholeh. Dan masjid milik Sunan Ampel kembali terawat dan bersih. Tapi tidak lama sosok serupa Mbah Sholeh ini meninggal dan dimakamkan di samping Mbah Sholeh sebelumnya. Dan terulang lagi dan lagi hingga sembilan kali.
Peristiwa tersebut terulang hingga sembilan kali. Menurut cerita, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel wafat. Setiap meninggal, Mbah Sholeh selalu dimakamkan di samping makam yang sebelumnya. Karena meninggal hingga 9 kali, maka makamnya yang ada di samping Masjid Ampel pun ada 9. Sumber https://www.kompasiana.com/yokowidito/55c2242961afbd5309c9cbf7/misteri-mbah-sholeh-tukang-sapu-masjid-sunan-ampel-yang-meninggal-9-kali
Kisah Karomah Kiai Shaleh Darat yang Diperlihatkan kepada Belanda
Muhammad Shaleh ibn Umar Al-Samarani atau Kiai Shaleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar tahun 1820/1235 H.
Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia acap menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih ibn Umar Al-Samarani.
Pemberian nama Darat diselempangkan ke pundak beliau karena tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang, yakni tempat berlabuhnya orang-orang dari luar Jawa.
Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang.
Ayahnya yaitu KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-Qawim, dan Syarb al-Khatib).
Kiai Shaleh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, ia banyak berjumpa dengan kiai-kiai mashur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin, dan kemudian menjadi gurunya.
Di antara nama kondang tersebut salah satunya adalah KH M Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di zaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18.
Dari Syaikhnya itulah, ia belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Terdapat catatan bahwa, karena kitab-kitab tersebut bukanlah kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.
Safari perjalanan keilmuannya berlanjut kepada Kiai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari padanya beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti.
Di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kiai Iskak Damaran, kemudian belajar ilmu falak dari Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni.
Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali.
Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.
Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.
Kemudian Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan lain-lain.
Karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Mekkah.
Selama di Mekah ini beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya.
Beliau kemudian mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang dan karenanya beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat.
Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu.
Menurut beliau inti alquran adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat. Beberapa santri seangkatannya, antara lain KH. Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan.
Sepulang dari Makkah, Muhammad Shaleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadlo.
Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Di
pesantren inilah lahir ulama-ulama seperti, Hadratus Syekh Hasyim
Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Mahfuz Termas yang pakar
hadis dan pendiri Pesantren Termas Pacitan.
Kemudian Kiai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, Kiai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kiai Haji Bisri Syamsuri, Kiai Haji Dalhar.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa.
Menurut catatan cucu Kiai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat.
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini.
Beliau menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.
Sebagai Wali Allah Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).
Meski meninggal di bulan Ramadhan, Haul Mbah Shaleh Darat diperingati setiap tanggal 10 Syawal di makamnya, yakni di kompleks pemakaman Bergota, Semarang.
Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil.
Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.
Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat.
Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.
Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu.
Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.
Kiai Shaleh Darat wafat di Semarang pada hari Jumat Wage tanggal 28 Ramadan 1321 H atau 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum ‘Bergota’ Semarang. dalam usia 83 tahun. Sumber https://daerah.sindonews.com/read/1119737/29/kisah-karomah-kiai-shaleh-darat-yang-diperlihatkan-kepada-belanda-1466879711
KISAH HARU MBAH YAI SYAFA’AT DENGAN KYAI HAMID PASURUAN
Pernah suatu ketika saat saya berbincang-bincang dengan salah satu wali santri PP. Darussalam Blokagung Banyuwangi warga asrama Al-Hikmah. Santri itu bernama kang Ilman. Saat itu tanpa sengaja karena terdapat sebuah masalah akhirnya kita berbincang-bincang panjang.
Tidak tahu bagaiman ceritanya wali santri tersebut berceritia banyak tentang pengalamannya saat mondok. Wali santri itu bukan Alumni Blokagung. Saya sudah lupa nama pondoknya, tapi sejauh yang saya ingat ia berkata pernah nyantri di pesantren Jakarta.
Dia bercerita banyak sekali tentang uswah-uswah para kiai dalam memberikan percontohan kepada para santri dan masyarakatnya. Terngiang-ngiang saat itu dia berkata kepada saya, “mungkin ini bisa dijadikan sedikit cerita hikmah yang bisa diambil manfaatnya, mas!.” Saya senang sekali mendengar hal itu. Karena saya merasa mendapat mutiara ilmu yang tiba-tiba datang sendiri kepada saya.
Setelah cukup lama wali santri asal jember itu bercerita tentang sosok kyai yang ia kenal di pondoknya, barulah kemudina ia bercerita tentang kisah KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saya keget saat dia berkata ada cerita tentang kiai yang sangat tidak asing lagi bagi saya, yakni KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur. Menarik sekali. Apalagi ada hubungannya dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan yang dikenal dengan kealiman, kezuhudan dan kewaliannya. Masya Allah. Saya benar-benar tidak sabar menunggu bagaimana ceritanya.
Bapak dari kang Ilman Santri Blokagung itu, menceritakan tentang Ketawadhu’an KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan. Sempat bingung sih, kenapa dia bisa punya cerita Kyai Mukhtar Syafa’at dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan? Tapi ternyata hal itu pun sedikit terjawab karena ternyata istrinya adalah santri dari KH. Abdul Hamid Pasuruan. Pantas saja dia punya cerita itu.
Begini Ceritanya:
Suatu hari ada sebuah halaqoh/perkumpulan yang mengundang kyai-kyi besar di Pasuruan. Termasuk yang hadir dalam perkumpulan itu adalah KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur Blokagung Banyuwangi dan KH. Abdul Hamid pasuruan.
Di tempat halaqoh tersebut, setelah banyak orang yang datang dan berkumpul, tibalah sosok kiai karismatik dari Pasuruan yang karib di panggil Kyai Hamid itu, langsung disambut dengan hormat oleh tuan rumah. Selang beberapa saat kemudian setelah Kiai Hamid menunggu di dalam, barulah menyusul sosok Kyai Blokagung yang oleh masyarakat dan santrinya karib dipanggil Mbah Yai, yakni KH. Muktar Syafa’at Abdul Ghofur.
Kedatangan Mbah Yai disambut sama dengan tamu-yang lain. Namun, ada satu tindakan yang tidak sama dilakukan oleh tamu-tamu yang lainnya, saat Mbah Yai ingin masuk dalam halaqoh tersebut, pandangannya tertuju pada sepasang sandal yang berada di antara ratusan sandal-sandal. Sepasang sandal itu terlihat menghadap lurus dengan tempat halaqoh yang berada di dalam. Mbah Yai tiba-tiba langsung mengambil sepasang sandal itu dan kemudian membaliknya dengan tujuan agar orang yang punya sandal tersebut bisa dengan mudah menggunakannya saat keluar. Dan Masya Allah, dari puluhan bahkan mungkin ratusan sandal yang ada disitu, ternyata yang diambil oleh Mbah Yai adalah sandal milik KH. Abdul Hamid Pasuruan.
***
“Kok
mbah yai bisa taahu..! Padahal Mbah Yai datang sudah terlambat. Dan
sandalnya Kyai Hamid sudah sangat sulit untuk ditentukan karena sudah
bercampur dengan ratusan sandal yang lainnya. Secara nalar ndak mungkin
bisa tahu ini sandal siapa. Kecuali mereka yang setiap hari bertemu
langsung dan paham dengan sandal Kiai Hamid. Dan lagi Mbah Yai datangnya
juga terlambat,” itulah kurang lebih bahasa yang disampaikan wali
santri kepada saya seraya meyakinkan ketidak masuk akalan kejadian itu.
“Inilah kehebatan Mbah Yai, la ya’riful waali illal waali, tidak ada seseorang yang tahu kewalian seseorang, kecuali seorang wali,” tandasnya mantap.
***
Namun
belum di sini kejadian tidak masuk akal itu terhenti. Tapi, di sinilah
kejadian yang lebih menakjubkan lagi yang sangat tidak masuk akal. Saat
kedua sandal Kiai Hamid selesai diputar berbalik arah oleh Mbah Yai,
tiba-tiba sepasang sandal itu bergerak memutar kembali dengan sendirinya
Ke arah semula. Masya Allah. Melihat kejadian itu, Mbah Yai dengan
cepat memutar sepasang sandal Kiai Hamid ke arah berlawanan dengan
membaliknya kembali dengan tujuan yang sama. Namun, kejadian serupa
terjadi lagi, yakni sandal Kiai Hamid yang sudah di balik oleh Mbah Yai
kembali berputar seperti semula. Dan hal itu terulang sampai 3 kali.
Terakhir saat Mbah Yai ingin membalik untuk yang keempat kalinya,
tiba-tiba keluar dengan bergegas dari dalam majlis sosok berwibawa yang
sekarang dikenal waliyullah yakni KH. Abdul Hamid. Tidak ada yang
memberi tahu apa yang dilakukan Mbah Yai di luar saat itu kepada Kiai
Hamid, karena Beliau sudah ada di dalam bersama para tamu yang lain.
Tapi, Kyai Hamid tiba-tiba datang dan langsung mencegah Mbah Yai yang
ingin membalikkan sandalnya seraya memegangi ke dua pundak Mbah Yai dan
memeluknya sambil berkata “ampon ngooooten kyai…ampon ngoooooten kyai”
seakan Kiai Hamid merasa malu menerima perlakuan Mbah Yai kepadanya. Dan
selanjutnya Kyai Hamid sendirilah yang mengantarkan Mbah yai masuk ke
dalam majlis itu.
SUBHANALLAH. Inilah uswatun hasanah ketadziman dan ketawadhu’an Mbah Yai kepada sosok alim yang dikenal waliyyullah itu, yakni KH. Abdul Hamid Pasuruan. Dengan kewalian dan segudang ilmunya, Mbah Yai masih tetap mengutamakan akhlaq kepada orang alim. Namun di sisi lain, saat melihat kejadian sandal yang tiba-tiba bergerak berbalik seperti semula, seakan sosok Kiai Hamid pun tidak merasa pantas untuk diperlakukan seperti itu oleh sosok kiai dari Banyuwangi yang sekarang dikenal dengan laqob Imam Ghozalinya Tanah Jawa, itu. Terbukti saat Mbah Yai ingin membalikkan sandal Kyai Hamid untuk yang ke 4 kalinya, dengan bergegas Kiai Hamid mencegah sendiri Mbah Yai dengan memegang pundaknya dan merangkulnya sambil berucap “ampon ngooooten kyai…ampon ngoooten kyai (jangan seperti itu kyai….jangan seperti itu kyai)” sampai dua kali, kemudian mengantarkannya masuk ke dalam halaqoh tersebut.
Masya Allah, indah sekali kejadian itu. Mudah-mudahan kita semua selalu mendapatkan limpahan berkah dari ke dua Waliyyullah tersebut KH. Abdul Hamid Pasuruan dan KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur Blokagung Banyuwangi. Amin. Amin. Amin. Ya Rabbal Alamin. Al-Fatihah! Sumber http://blokagung.net/10030/kisah-haru-mbah-yai-syafaat-dengan-kyai-hamid-pasuruan/
(Kisah ini diambil dari catatan Asngadi Rofiq)
Karomah Kiai Maksum Krapyak
Beberapa kiai atau ulama sering dianggap punya karomah atau ajian-ajian sakti. Padahal, tidak sedikit kiai yang sebenarnya tidak punya kelebihan itu. Cara-cara mendidik santri dan masyarakat yang kerap aneh dan di luar dari perkiraan membuat dugaan soal karomah itu muncul. Salah satunya adalah kisah Kiai Ali Maksum saat mengajak jalan-jalan santrinya yang sering membolos. “Kang Majidun, dipanggil Pak Kiai Ali,” kata seorang santri. Entah mimpi apa Ahmad Majidun tadi malam. Pagi-pagi itu K.H. Ali Maksum, pengasuh Pesantren Krapyak, mencarinya. Bagi santri, dipanggil seorang kiai itu bisa mengandung beragam kemungkinan dan arti. Dipanggil karena pernah melakukan kesalahan di pesantren, misalnya. Ini jelas bukan panggilan yang menyenangkan. Rasanya malah sangat menakutkan. Bisa juga dipanggil karena kiai hapal dengan si santri. Dalam beberapa aspek, tentu saja ini menyenangkan. Akan tetapi, perlu diketahui, dikenal dan dihapal oleh pengasuh sebenarnya lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Dan hal ini disadari betul oleh Majidun yang bersiap-siap menuju kediaman Kiai Ali. Kedatangan Kiai Ali di Krapyak Kiai Ali merupakan putra dari K.H. Ma’shum (di kalangan pesantren sering dikenal panggilan “Mbah Ma’shum Lasem”), kiai legendaris pengasuh pesantren Al-Hidayah di Lasem, Rembang. Setelah belajar mengaji ke beberapa pesantren (termasuk ke Pesantren Tremas, Pacitan), Kiai Ali menikahi Rr. Hasyimah, putri dari K.H. M. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, pada 1938. Sepeninggal Kiai Munawwir, Kiai Ali kembali ke pesantren ayahnya di Lasem. Mengelola pesantren ayahnya dan membuat pesantren Lasem ini berkembang pesat. Di saat bersamaan di Yogyakarta (saat itu zaman pendudukan Jepang), keadaan pesantren Krapyak tidak begitu baik. Maka, dikirimlah utusan ke Lasem beberapa kali untuk membujuk Kiai Ali ikut serta membantu Pesantren Krapyak. Sayang, permintaan ini ditolak. Barangkali bagi Kiai Ali, putra-putra Kiai Munawwir lebih punya hak untuk memimpin pesantren Krapyak daripada dirinya yang hanya menantu. Sampai beberapa kali utusan ke Lasem tidak membuahkan hasil, akhirnya Nyai Sukis (istri Kiai Munawwir sekaligus ibu mertua Kiai Ali) bersama K.H. Raden Abdullah Afandi Munawwir (putra Kiai Munawwir) datang langsung membujuk Kiai Ali. Pada 1943, Kiai Ali menerima permintaan tersebut. Di Kraypak, ia membuat sistem pengasuhan “tiga serangkai”. Pertama, KH. Raden Abdullah Affandi Munawwir, pengasuh yang menangani urusan relasi pesantren dengan dunia luar. Posisi ini diperlukan sebab di periode tersebut, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota negara dan menjadi sasaran serangan militer, baik oleh Jepang maupun Belanda pada periode pasca-kemerdekaan. Pengasuh kedua, KH. Raden Abdul Qadir Munawwir, adik dari Kiai Raden Abdullah, pengasuh yang menangani program hafalan Alquran. Kemudian terakhir Kiai Ali, sebagai pengasuh yang bertanggung jawab menangani pendidikan santri, termasuk mengelola pengajian kitab kuning. Sayangnya, baik Kiai Raden Abdullah dan Kiai Raden Qadir tidak berumur panjang. Keduanya meninggal dunia di periode 1960-an. Pada akhirnya, Kiai Ali menjadi satu-satunya kiai besar yang tersisa mengelola pondok pesantren Krapyak sampai wafat pada 1989 di usia 74 tahun. Dekat dengan santri Salah satu yang dikenal dari sosok Kiai Ali adalah kedekatannya dengan anak didik. Ada banyak kisah yang bisa menjadi contoh. Seperti memberi uang kepada santri-santrinya yang ingin melihat acara sekaten tetapi, karena kere, mereka hanya bisa melihat acara sekaten dari jauh tanpa berani mendekat. Selain itu, Kiai Ali juga dikenal selalu mencoba mengenal lebih jauh santri-santrinya yang nakal. Mencoba akrab, agar tahu apa sebenarnya permasalahan yang dialami santrinya tersebut. Dan inilah yang dialami oleh Ahmad Majidun, santri pesantren Krapyak sekaligus mahasiswa semester akhir IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada periode awal 1980-an. Seperti halnya mahasiswa aktif lain, Majidun adalah tipe mahasiswa yang sibuk dengan komunitas dan organisasi kampus. Dan yang namanya organisasi kampus, kadang Majidun harus berkegiatan dan menginap di luar kota. Itu artinya Majidun sering tidak kembali ke pondok selama beberapa hari dan jelas membuat Majidun hampir setiap saat membolos ngaji. Bahkan termasuk jadwal ngaji yang diajar oleh Kiai Ali sendiri. Itulah membuat Kiai Ali memanggil Majidun pagi-pagi. “Injih, Pak Kiai. Ada apa, ya?” kata Majidun menghadap Kiai Ali. “Oh, Kang Majidun. Aku mau tanya, hari ini lagi ada acara tidak, ya?” tanya Kiai Ali. Majidun heran. Ada urusan apa Kiai Ali menanyakan jadwal acara seorang santri seperti dirinya? “Tidak ada Kiai,” kata Majidun. “Oh, kalau begitu ikut saya jalan-jalan,” kata Kiai Ali. Majidun tentu kaget bukan kepalang. Tanpa alasan yang jelas, Kiai Ali tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan. Dalam pikiran Majidun, ini jelas sebuah kehormatan bisa diajak jalan-jalan dengan Kiai Ali. “Jalan-jalannya naik mobil, ya?” kata Kiai Ali. Majidun bingung. “Oh, Pak Kiai mau saya supiri?” “Oh, ndak perlu. Kamu duduk aja jadi penumpang,” kata Kiai Ali. Majidun semakin bingung. Di perjalanan percakapan tidaklah terjadi begitu intens. Tentu saja Majidun kikuk. Ia satu kendaraan dengan pengasuh pesantrennya, di saat bersamaan Majidun menyadari ia sering membolos mengaji. Dadanya berdegup kencang karena mendapati ada sesuatu yang tidak beres. “Anu, ini kita mau kemana, Pak Kiai?” tanya Majidun sambil takut-takut. Kiai Ali diam sejenak. “Mau ke kampus,” kata Kiai Ali. “Hah? Kampus mana Kiai?” “Ke Kampus IAIN,” jawab Kiai Ali. Deg! Tentu saja muka Majidun jadi tidak enak. Adalah wajar ketika Majidun menggunakan statusnya sebagai mahasiswa untuk jadi alasan ketidakaktifannya mengaji. Alasan yang sama untuk jawaban kenapa ia jarang pulang ke pondok. Jika Kiai Ali sampai tahu bahwa ia juga jarang masuk kuliah dan ke kampus karena cuma aktif di organisasi saja, masalah bisa tambah runyam. Bisa-bisa Majidun tidak akan punya alasan lagi. Ali Maksum Sesampainya di kampus IAIN, Majidun memberanikan diri bertanya. “Ada urusan apa Kiai ke IAIN?” Sambil tersenyum, Kiai Ali menjawab, “Ya mengantar anakku yang paling ganteng sendiri, Kang Mas Ahmad Majidun kuliah, toh,” kata Kiai Ali dengan jelas. Majudin rasanya ingin pingsan. Dalam pikirannya, Kiai Ali pasti juga tahu kalau ia juga jarang kuliah. Karena merasa tertangkap basah, Majidun pun turun dari mobil. Tanpa membawa buku dan alat tulis satu pun. Jadwal dan ruangan kelas pun tak tahu karena memang tidak mempersiapkan diri bahwa hari ini bakal ke kampus. “Sudah, ya? Aku pamit dulu,” kata Kiai Ali. “Oh, baik Kiai,” kata Majidun sambil menyalami Kiai Ali. Dalam pikiran Majidun cuma ada satu hal, kenapa Kiai Ali sampai tahu kalau ia jarang kuliah sampai mengantar dirinya ke kampus? Nalar yang biasa dipakai saat itu adalah Kiai Ali pasti punya semacam karomah, atau seperti ajian sakti yang bisa membaca mata batin santri-santrinya. Termasuk mata batin Majidun. Hal inilah yang membuat Kiai Ali tahu bahwa ternyata selama ini Majidun pamit ke kampus bukan untuk kuliah. Setelah ditinggal Kiai Ali, di perjalanan menuju fakultas, Majidun bertemu dengan salah satu temannya. “Wah, Majidun keren, ke kampus diantar pakai mobilnya Pak Kiai Ali sekarang,” kata temannya. “Lho, kok, kamu kenal? Sampai tahu mobilnya Kiai Ali segala?” tanya Majidun. “Ya, kenal. Pak Kiai Ali, kan, dosen kampus sini. Beliau, kan, sering ke kampus.” Mendengar itu, Majidun rasanya ingin pingsan beneran. Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik “Daffy al-Jugjawy”, julukan yang kami sematkan kepada penulisnya. Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi (tirto.id – Sosial Budaya)
Penulis: Ahmad Khadafi
sumber https://tirto.id/karomah-kiai-maksum-krapyak-cpYX