Category Archives: Opini
JELAJAH RUANG & WAKTU DENGAN KITAB KITAB KLASIK DI JOGLO KI PENJAWI SOLOTIGO
Malam itu saya serasa memasuki dimensi waktu yang berbeda, lorong waktu telah mengantarkan pada situasi dimana raga saya berada di zaman era digital namun imajinasi saya berada di zaman ketika syiar Agama Islam tengah massif dilakukan dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan oleh para ulama Nusantara.
Malam itu mesin waktu telah diciptakan oleh lembaran demi lembaran kitab kitab kuno koleksi Pak Gunawan Herdiyanto pemilik Joglo Resto Ki Penjawi yang beralamat Jl. Ki Penjawi No. 14 Salatiga. Jawa Tengah.
Resto unik yang berdiri diatas bangunan dan ruangan berarsitektur etnik Jawa total berbahan konstruksi dominan dari kayu jati yang dilengkapi dengan ragam furnitur dan ornamen hiasan dinding berupa topeng maupun pernak pernik property Jawa tempo dulu adalah tempat dimana saya menghabiskan malam itu bersama para Masyayikh mempelajari kitab kitab klasik karya para ulama Nusantara.
Alunan klonengan langgam Jawa mengalun berkolaborasi dengan bunyi rintik hujan yang jatuh di pelataran bangunan diikuti kepekatan malam berkabut yang lindap bersama harum aroma minyak hajar aswad, maka malam itu benar benar telah membawa kami untuk melesat jauh memasuki dimensi ruang dan waktu.
Kitab yang tengah di baca adalah kitab kitab kuno yang telah berusia ratusan tahun dimana secara fisik kitab kitab tersebut sebagian berbahan olahan kulit domba atau hewan sejenis dan sebagian lainnya berbahan kertas kuno, warnanya kuning kecoklat cokatan yang telah tertaburi jamur jamur secara alami. Sepintas tinta yang tergores dalam kitab tersebut berwarna hitam namun ada yang sudah kabur hingga menjadi keabu abuan, media tulisan itu terasa sedikit keras namun sebagian tampak lebih tajam, hal yang menandakan jika proses penulisan pada saat itu benar benar secara manual dan pengerjaan penulisan tidak dalam waktu yang bersamaan namun bertahap dalam rentang waktu yang cukup lama.
Dilihat dari model bentuk chord yang tidak konsisten dan goresan tinta yang dinamis menandakan pula jika kitab ini ditulis mengikuti mood dan suasana batin penulisnya waktu itu.
Hampir keseluruhan kitab kitab tersebut sudah sedemikian usang sehingga harus ekstra hati hati didalam membuka satu persatu halamanannya, jamur jamur yang melekat pada tiap halaman menjadikan lengket, jika tidak hati hati maka bisa membuat rusak atau robek kitab yang berbahan kertas.
Malam itu saya ikut membuka kitab kitab klasik tersebut dalam rangka ndereake – ngestoake (mengikuti) Poro Kyai dari PCNU Kota Salatiga yaitu Romo Yai Sumyani Aziz, beliau adalah Kyai yang telah meneguk secara tuntas ilmu dari Poro Masyayikh di Ponpes Al Falah Ploso Kediri maupun berbagai pondok pesantren di tanah Jawa, karenanya beliah dipandang telah cukup memiliki kepakaran dibidang kitab kitab klasik.
Simbah Yai Mohammad Nashihun Pengasuh Pondok Pesantren Al Salafiyah NU Blotongan Salatiga yang diketahui dahulu telah malang melintang nyantri di berbagai Pondok Pesantren di talatah bang Wetan atau Jawa Timur, ada juga Kyai Haji Doktor Miftahudin, MA yang memiliki rekam jejak sebagai seorang santri namun kini beraktifitas sebagai seorang Akademisi pengajar program pasca Sarjana IAIN Salatiga sekaligus aktif diberbagai lembaga profesional yang konsen masalah diskursus Islam Nusantara serta ada pula Sahabat Anshor Aditya Cahyo Putro yang dahulu seorang aktifis Mahasiswa dan sekarang aktif sebagai pegiat pada Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul (LPBHNU) Kota Salatiga.
Lembaran lembaran kitab yang dibaca oleh para Kyai tersebut menghasilkan diskusi tentang prediksi tentang sirah, kontent maupun hardware dari pada kitab kitab tersebut, pak Gunawan Herdiyanyo selaku pemilik mengawali dengan mereferensikan kisah bagaimana dahulu kitab kitab tersebut diperoleh yaitu dengan cara yang cukup mengharu biru karena melalui proses yang melibatkan pengalaman spiritualitas.
Menulis kitab merupakan salah satu upaya intelektual dari para ulama terdahulu, yang dilakukan dalam rangka mewariskan ilmu pengetahuan kepada generasi selanjutnya. Dalam proses penulisanya maka diyakini para Ulama tersebut kerap melakukan ikhtiar batin atau laku spiritual dengan sangat istiqomah dan berkelanjutan dalam waktu waktu tertentu.
Dari telaah Romo Yai Sumyani Aziz setelah membuka lembaran demi lembaran kitab tersebut maka kita jadi mengetahui jika dahulu ketika ulama menulis kitab maka memerlukan syarat berupa Ilmu syar’i yang merupakan jalan panjang yang tidak mudah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta harus mampu menangggalkan kesenangan syahwat belaka, sehingga ulama yang hendak menulis kitab haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah serta Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).
Selain dari pada itu dalam penulisan kitab maka ulama dahulu selalu memperhatikan aspek manhaj atau metodolodi yang benar, hal yang dimaksudkan adalah untuk menjaga konsistensi dalam menulis sehingga tidak berhenti di tengah jalan.
Syarat penguasaan ilmu syar’i dan manhaj oleh ulama dahulu merupakan salah satu kiat untuk menghasilkan karya kitab yang memiliki kandungan isi yang bermanfaat fidunya wal akhiroh karenanya dalam aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ulama penghasil kitab kitab dimaksud mcendapatkan Taufiq dari Allah SWT dengan sebutan Aimmatul Huda yaitu para imam yang mengajarkan petunjuk Allah SWT.
Setelah secara seksama membuka lembaran lembaran kitab maka selanjutnya Simbah Yai Mohammad Nashikun melengkapi penjelasan yaitu untuk proses penulisan kitab kitab oleh para ulama maka memerlukan laku spritual panjang yang disebut dengan Riyadloh atau tirakat sebagai ajang pelatihan hawa nafsu seseorang.
Tirakat berarti meninggalkan ragam kenikmatan-kenikmatan dunia seperti nikmat kenyang, nikmat tidur maupun nikmat kesenangan duniawi dengan menjalankan Riyadloh maka dapat melatih hawa nafsunya untuk semakin mudah menjalankan tujuan secara istiqomah, qonaah, ikhlas, syukur, zuhud, dan wirai.
Kitab kitab klasik koleksi Pak Gunawan Herdiyanyo di Joglo Resto Ki Penjawi kesemuanya ditulis secara manual tulisan tangan sehingga belum terbentuk menjadi manuskrib (maḥṭūṭāt) seperti halnya kitab kitab yang dapat dinikmati oleh para santri saban hari di pondok pesantren. Kitab kitab tersebut sama sekali belum terbaca adanya judul kitab, pengarang kitab maupun muhaqqiq atau catatan editornya karena kitab kitab tersebut original sebagai sebuah karya intelektual manual yang tidak berwujud kitab edisi cetak atau printed edition.
Secara fisik kitab kitab kuno tersebut berisi tulisan tangan dengan huruf Arab yang sudah sangat usang, bahkan beberapa di antaranya sudah tak utuh karena termakan usia maupun rayap, meski demikian secara pelan pelan dan hati hati huruf demi huruf masih dapat terbaca meski gramatical bahasanya memerlukan telaah lebih lanjut.
Mencermati dan membaca kitab kitab tersebut maka KH. Dr. Mitahudin MA memprediksi usia kitab tersebut sudah ratusan tahun diperkirakan mulai abad 16 sampai dengan abad 18 Masehi hal itu didasarkan pada hardware kitab yang bertolak dari pada bentuk kertas atau kulit bahan dasar kitab, font atau chord huruf, harokat, kualitas tinta serta adanya petunjuk kalender penulisan yang berbentuk sengkolo huruf yang dapat ditafsirkan sebagai tarikh.
Dari sisi software Poro Kyai malam itu sementara berkesimpulan kandungan isi kitab kitab tersebut adalah menyangkut aspek pelajaran agama islam (diraasah al-islamiyyah), fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (ilmu nahwu dan ilmu sharf), hadits, tafsir,
ulumul qur’aan, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah), meskipun kitab kitab tersebut dapat dipastikan ada bagian bagian tertentu yang justru tertuang dalam kitab kitab lain yang masih tercecer.
KH. Dr. Miftahudin, MA menyampaikan jika beberapa kitab kitab tersebut ditulis oleh oleh ulama pada paruh abad 18 sezaman dengan era ulama KH.A.Rifa’i maupun Kiyai Sholeh Darat Semarang, karena sejak saat itu dimulailah penterjemahan kitab- kitab keilmuan Islam berbahasa Arab kedalam bahasa Jawa, Sunda, Betawi, Lombok, Madura maupun daerah daerah lain di Nusantara, era itu mulai menggeliat penerjemahan cabang seperti ilmu Aqidah (Ushuluddin), ilmu Ibadah (Fiqih), maupun ilmu tentang management qolbu (Tsawwuf/ Tazkiyyatun Nafs).
Penulisan kitab sendiri maupun penulisan melalui penerjemahan atas kitab kitab arab pegon oleh ulama Nusantara hingga saat ini masih memiliki tempat tersendiri bagi para santri, bahkan oleh para Kyai Pengasuh Pondok Pesantren benar benar merasa terbantu ketika harus mengajar pada para santri santrinya, sehingga kitab kitab tersebut sungguh telah memperkaya khazanah keilmuan Islam di Nusantara.
Hasil karya berupa kitab oleh para ulama tersebut ketika dibaca oleh para mubtadi’in maka akan menimbulkan sugesti adanya energi daya kesakralan dengan tuah yang “mbarokahi” dibanding membaca kitab kitab lain baik terjemahan dengan tulisan latin maupun kitab kajian ilmu Islam Komtemporer yang rasa rasanya tidak dianggap sebagai kitab yang mbarokahi, tapi hanya sekedar buku pengetahuan.
Selanjutnya Romo Yai Sumyani Aziz sesaat setelah khusuk membaca salah satu kitab kuno tersebut menyampaikan jika kitab kitab tersebut disusun dengan penuh ketelitian untuk menjaga marwah sanad keilmuan yang jelas, alim serta dapat dirunut silsilah sumber ilmunya sampai pada Rasulullah SAW, lebih lanjut Simbah Yai Nasikhun menerangkan jika seseorang bisa keliru pikiran dan keyakinannya disebabkan ilmu yang diperolehnya salah dan tidak jelas sanad keilmuannya, sehingga belajar agama harus melalui guru atau membaca kitab yang jelas sanad keilmuannya karenanya meremehkan otoritas ulama dan guru berikut kitab yang dihasilkan adalah salah satu awal adanya kesesatan yang bisa kita lihat fenomena akhir akhir ini yaitu banyak orang mudah menjatuhkan vonis kepada sesama dengan tuduhan bid’ad maupun kafir.
Sementara KH. Miftahudin MA menjelaskan kenapa ulama Nusantara tetap runtut sanad keilmuannya hingga sampai Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah karena hubungan guru-murid lintas benua dan merentang dalam waktu panjang yang merupakan bagian dari poros jaringan ulama Timur Tengah yang berpusat di Tanah Suci Makkah dan Madinah, dari sana, ulama asal Indonesia belajar kepada ulama setempat setelah pulang ke Nusantara terjalin hubungan guru-murid yang dikenal sanad, hal demikian menjadi salah satu kunci untuk meneguhkan ghiroh perjuangan membentuk Nusantara.
Malam beringsut semakin kelam, kabut tipis pelan pelan membaur dengan asap rokok yang kami hisap, suguhan wedang uwuh habis kami seruput menyisakan ampas dalam teko sementara mangkuk hanya menyisakan sedikit kuah atas suguhan berupa sop iga dan bakmi jowo yang nikmatnya menciptakan sensasi hangat pada tubuh saya ditengah dingin malam yang masih terguyur gerimis hujan.
Bunyi perkutut sesekali masih kami dengar bersamaan dengan alunan langgam jawi yang samar samar terdengar diantara petuah ilmu dari para Kyai PCNU Salatiga hasil pendalaman singkat kitab kitab kuno tersebut telah menghujam kedalam rohani spiritual saya yang susah untuk dilukiskan dengan kata kata sementara Sahabat Adityo yang duduk disebelah saya tampak diam penuh takdzim tanpa mengurai kalimat apapun selain beberapa kali saya mendengar berguman lirih dengan bunyi kalimat “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah”
Angin malam itu berhembus dengan landai mengisyaratkan keberkahan yang makin sempurna dengan lantunan doa yang panjang lagi khusuk di sematkan oleh Simbah Yai Mohammad Nasikhun yang menderai memanah Qolbu saya untuk mentakdzimkan kalimah Amien Ya Robal Alamien.
Tabaruk ilmu semalam di Joglo Resto Ki Penjawi adalah penggalan kisah pengalaman yang tak terlupakan dan menjadi hari Jumat yang penuh Barokah
Semoga Allah SWT Meridhoi
Lahul Fatihah
Jawa Jawi, 11/01/20.
- WIB
Sofyan Mohammad
Pemerhati budaya dan sejarah sehari hari tinggal di desa bantaran sungai serang.
HUKUM ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL (Telaah singkat menggagas pembaharuan Hukum Nasional)
Globalisasi dengan jargon humam right, developmentalizm, gender dan lain sebagainya telah memicu membanjirnya akses informasi dan komunikasi dengan mengikis sekat sekat kebudayaan antar benua bahkan antar bangsa.
Indonesia sebagai negara berdaulat dengan memayungi ragam suku bangsa dan etnis yang masing masing memiliki tonggak penopang yang berupa kebudayaan dan adat istiadat sendiri sendiri, saat ini terancam dengan hadirnya jargon Global Village yang ditandai dengan membanjirnya arus informasi dan komunikasi yang nyata nyata telah menghilangkan sekat sekat kebudayaan.
Kebudayaan dan adat istiadat asli milik Indonesia yang merupakan kekayaan dan indentitas kebangsaan kini berangsur angsur mulai terkikis, padahal disadari jika adat istiadat tersebut merupakan salah satu sumber hukum nasional yang membedakan dengan hukum hukum di Negara lain. Kekayaan bangsa kita yang berupa adat istiadat adalah cermin dari keluhuran bangsa ini, meski kadang dimaknai sebagai penghambat pembangunan oleh para pihak yang terlanjur gandrung dengan pola pola bangsa asing, demikian padahal diketahui jika adat adalah hukum, peraturan, kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat yang memiliki nilai untuk dapat dijunjung tinggi serta dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Di Indonesia dari berbagai suku bangsa maka terdapat seperangkat aturan tentang segi kehidupan manusia yang mengikat kemudian disebut sebagai hukum adat, di berbagai daerah di Indonesia maka adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Bagi masyarakat Indonesia maka hukum adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga masyarakat yang melanggar adat-istiadat tersebut akan mendapatkan sangsi baik secara langsung maupun tidak secara langsung yang kesemuanya telah mengakibatkan efek jera bagi setiap pelanggarnya. Keragaman hukum adat di Indonesia pada prinsipnya bisa menjadi inspirasi untuk ditempatkan sebagai sumber hukum nasional karena berbagai literatur sejarah telah mengetengahkan ragam kisah yang tertoreh dalam berbagai kitab kitab hukum kuno seperti misalnya pada zaman Hindu, era Raja Dharmawangsa aturan hukum tertulis dalam kitab Civacasana, pada jaman Majapahit era Mahapatih Gajahmada (1331-1364) menulis kitab yang disebut Kitab Gajah Mada, pada era Kanaka Patih Majapahit (1413-1430) ada kitab hukum yang disebut dengan kitab Adigama serta di Bali sekitar tahun 1350 juga ditemukan kitab hukum Kutaramanava, selain itu masih banyak terdapat kitab-kitab hukum kuno yang mengatur kehidupan masyarakat agar tertib hukum.
Bahwa, keberadaan kitab kitab hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tersebut telah menandakan jika di Indonesia ini jauh sebelum orang –orang Eropa atau bahkan orang orang Asia lainya datang, maka di Indonesia telah memiliki sistem dan asas-asas hukumnya sendiri yang khas. Hukum Adat yang pada prinsipnya masih berlangsung di berbagai daerah tersebut merupakan hasil akulturasi antara peraturan dalam adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa dalam kultur agama yaitu Hindu, Budha, Islam maupun Nasrani, selanjutnya setelah terjadi akulturasi tersebut maka hukum adat atau hukum pribumi (Inladsrecht) tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum yang tidak ditulis (jus non scriptum) dan hukum yang ditulis (jus scriptum).
Hukum adat di berbagai daerah tumbuh dalam lingkungan masyarakat setempat yang berlandaskan pada ajaran agama yang berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat tersebut, oleh karenanya sering dijumpai dalam masyarakat hukum adat maka antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, seperti halnya di pulau Bali maka adat masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama Hindu, atau masyarakat Jawa di beberapa hal terikat hukum adat yang bersumber dari akulturasi kultur agama Islam dan seterusnya.
Bagi negara yang modern seperti halnya Indonesia pada saat ini maka hukum yang berlaku merupakan suatu sistem yang merupakan tatanan sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sistem hukum sebagai suatu kesatuan dari ragam unsur memiliki interaksi satu sama lainnya yang bersimbyosis guna mencapai tujuan bersama yaitu keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat.
Bahwa, selanjutnya diketahui jika keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional yang mana sistem hukum tersebut kini telah berkembang sesuai dengan dinamika zaman selanjutnya sistem tersebut memiliki sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap, oleh karena itu wujud dari sistem hukum nasional yang berbentuk hukum dapat dibedakan menjadi hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan) dan hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan diundangkannya dalam lembaran negara, dimana dalam berlakunya juga ada yang berlaku sebagai the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat. Hukum tertulis yang diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law). Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil. Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya.
Dalam perspektif umum maka hukum adat dapat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat berlaku di masyarakat yang dapat dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law dan secara filosofis maka berlakunya hukum adat sebenarnya karena adanya nilai-nilai dan sifat hukum adat itu sendiri yang identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila, misalnya padanan tentang religiusitas, magis, sifat gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan yang mana terkandung nyata dalam butir Pancasila sehingga dasar Negara kita yaitu Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia maka dalam prosesnya jauh lebih luwes, fleksibel dan tidak kaku yang nyata nyata sangat relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam butir butir Pancasila maupun sesuai pula dengan apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 yang merupakan manifestasi pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI tersebut.
Berlaku hukum adat dalam sistem hukum nasional pada prinsipnya merupakan hukum kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum adat mengatur tingkah laku manusia, dalam hubungannya satu dengan yang lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman,
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat karena dianut dan
dipertahankan oleh masyarakat itu sendiri maupun yang merupakan keseluruhan
pengaturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa atau tokoh adat yang memiliki otoritas untukmemberi keputusan dan sangsi.
Dalam lingkup penegakan hukum lingkup pidana maka terhadap aturan-aturan hukum tidak berbatas dengan tindakan menghukum dengan merampas kemerdekaan pelaku, namun yang lebih substansial adalah bagaimana upaya penegak hukum dapat
membimbing masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dalam terminologi hukum pidana disebut istilah “ultimatum remedium” atau obat terakhir. Dalam hal ini maka bekerjanya proses peradilan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian keputusan mengenai suatu tindak pidana oleh penegak hukum yang berwenang dalam kerangka interrelasi antara petugas dan sub-subsistem peradilan pidana, pendekatan
sistemik semacam ini maka diperlukan adanya tujuan yang pasti yaitu gunameningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan, mengembangkan sistem koordinasi diantara berbagai komponen peradilan serta bertujuan untuk mengawasi atau mengendalikan penggunaan otoritas oleh penegak hukum itu sendiri agar tidak abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang sering kita dengar akhir akhir ini.
Hukum adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat yang masih terikat adat, hal ini terjadi karena bertolak dari adanya perasaan keadilan yang merupakan nilai universal yang dimiliki oleh seluruh manusia sebagai subyek hukum, gambaran tentang berlakunya hukum adat rupanya adalah bagian untuk mewujudkan ketertiban umum yang secara garis besar maka ketertiban umum merupakan suatu keadaan lingkungan masyarakat yang aman, tenteram dan saling menghormati hak-hak yang satu dengan yang lain secara seimbang, hak demikian adalah tujuan hidup bermasyarakat, namun sering kali gambaran ideal tersebut terkadang susah terwujud tanpa peran beberapa komponen pendukung yaitu rohaniawan atau tokoh masyarakat, kepolisian, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri.
Bagi masyarakat Indonesia peran seorang rohaniawan dan tokoh masyarakat adalah yang paling utama, sering kita jumpai hanya lewat lisan dan kebijaksanaan dari rohaniawan maupun tokoh masyarakat maka segala pencegahan tindak pidana dalam arti pelanggaran ketertiban umum bisa teratasi, hal ini terjadi karena adanya panutan sehingga masyarakat dapat mematuhinya, selain peran rohaniawan atau tokoh masyarakat maka dalam penegakan hukum di arus bawah juga ada pula kepolisian yang dapat menjalankan fungsi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban umum, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas dan tanggung jawab polisi secara limitatif dapat terbaca dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Pejabat Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa bertindak
berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat
(1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Bertolak dari hal tersebut maka diperoleh garis besar jika penegakan hukum diperlukan aspek moral dan etika dari aparat penegak hukum itu sendiri, karena aspek moral dan etika dalam penegakan hukum merupakan suatu hal yang berkaitan dengan penegakan dalam sistem peradilan.
Sifat Hukum Adat di Desa Adat sifatnya lex spesialis terbatas, yaitu dibatasi oleh wilayah, orang dan jenis kegiatannya, misalnya di Bali maupun daerah daerah lain di Indonesia masih dapat dijumpai hukum adat yang mana masih terdapat hak-hak yang diakui dalam hukum positif dan hukum nasional, karenanya negara mengakui serta menghormati kesatuan -kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945)
Tukak Balian, BALI
24/01/20.
Semoga bermanfaat
Lahul Fatihah
Sofyan Mohammad
Lawyer Daerah
Sehari hari tinggal di desa yang memiliki hobi bertani dan bercocok tanam.
Gus Muwafiq dan mens rea pemilik akun FB Dhe Bedun dalam jejak digital
K.H. Ahmad Muwafiq adalah salah satu ikon milineal seorang Kyai, Dai dan Intelektual Nahdlatul Ulama’ (NU) pada saat ini dimana Gus Muwafiq (biasa disapa) dianggap memiliki keilmuan agama yang mumpuni sekaligus memiliki pemahaman yang komprehensif atas ilmu sejarah dan peradaban yang dikemas dengan narasi dan diksi yang sederhana namun bernas sehingga mudah dipahami oleh jama’ah ketika beliau memberikan ceramah dalam forum pengajian.
Gus Muwafiq pernah menjabat sebagai asisten pribadi – ajudan KH. Abdurrahman Wahid/ Gus Dur (Presiden RI ke 4) sebelum dikenal luas oleh umat sebagai seorang Kyai dan Dai yang berafiliasi dengan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Maqalah dalam Tausiyah Gus Muwafiq yang menekankan pada cara beragama yang humanis dengan aspek toleransi, egalitarian, tegaknya NKRI, penguatan idiologi bangsa, nasionalisme dan wawasan Nusantara rupanya telah membuat pihak pihak lain yang punya pemikiran Intoleransi dan cita cita transnasionalisme (khilafah dan negara Islam) rupanya menjadi sangat risau karenanya berbagai cara dilakukan untuk mencoba mendelegitimasi sekaligus merusak popularitas Gus Muwafiq dimata publik.
Seperti halnya Tausiyah Gus Muwafiq pada saat di Grobogan Purwodadi dalam acara Maulid Nabi pada awal Desember 2019 menyangkut materi tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW pada saat masih kecil,
beliau menyebut Nabi lahir biasa saja, sebab jika terlihat bersinar maka ketahuan oleh bala tentara Abrahah dan seterusnya dengan bentuk improvisasi guna menjelaskan ke kaum milenial, namun ternyata materi ceramah tersebut oleh pihak pihak lain dianggap menghina Nabi maka tak kurang ada salah satu Ormas melaporkan Gus Muwafiq ke Polisi, namun laporan tersebut oleh pihak kepolisian tidak dapat dilanjutkan karena secara hukum dianggap tidak memenuhi unsur.
Kejadian tersebut untuk beberapa pekan menjadi polemik di ruang publik, karenanya serangan dan cercaan terhadap Gus Muwafiq di jagad sosial media menjadi sedemikian masif meski Gus Muwafiq sendiri telah melakukan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf karenanya para pendukung Gus Muwafiq juga melakukan pembelaan di Sosmed dengan mendasarkan berbagai dalil dalil yang qathi’ maupun pembelaan yang rasionalitas, pro kontra menjadi keniscayaan dalam jagad dunia Maya.
Polemik atas ceramah Gus Muwafiq tersebut rupanya juga menyulut tindakan provokatif dan anarkis dari pihak lain yang mencoba menggagalkan rencana pengajian Gus Muwafiq di Ponpes Al Muayad Solo pada tanggal 7/12/2019, bentrokan fisik juga sempat berlangsung siang hari sebelum pengajian dimulai pada malam harinya. Namun pada akhirnya pengajian Gus Muwafiq tetap digelar dengan aman dan lancar dengan dihadiri ribuan jamaah yang meluber sampai jalan dan gang gang di sekitar Ponpes Al Muayaad Solo.
Kebencian pihak lain terhadap Gus Muwafiq rupanya masih terus berlangsung, ekspresi kebencian tersebut bisa dilihat dalam postingan oleh akun daring Facebook atas nama “Dhe Bedun” pada tanggal 1 Januari 2020 sekira pukul 09.00 WIB dalam postingan tersebut pemilik akun “Dhe Bedun” membuat profil dengan cara yang patut diduga mengedit photo asli wajah Gus Muwafiq sedemikian rupa dengan menampilkan kesan agar terbaca publik seolah olah foto hasil editan tersebut adalah orang yang memiliki wajah yang buruk rupa, hitam, ndomble dengan ekspresi wajah yang berkesan bodoh dan terbelakang, selanjutnya melihat editan gambar photo tersebut maka patut diduga puka jika pemilik akun FB “Dhe Bedun” memiliki motif jahat agar publik ketika melihat foto tersebut langsung dapat mengasosiasikan jika foto tersebut adalah Gus Muwafiq, karena jika dibandingkan dengan pakaian, songkok yang dipakai hingga background photo, maka foto editan ” Dhe Bedun” identik pakaian, songkok yang dipakai hingga background dalam foto asli Gus Muwafiq yang tersebar di ruang publik, sehingga tak diragukan lagi modusnya adalah menciptakan asosiasi dan penafsiran jika foto hasil editanya tersebut akan terbaca oleh publik sebagai Gus Muwafiq
Penyebaran berita hoaks, fitnah, penistaan, pencemaran nama baik dll merupakan tantangan serius lainnya yang muncul dalam era digital karena mudahnya penyebaran dan amplikasi via media sosial pada saat ini tidak dibarengi adanya literasi digital yang memadai menyebabkan tidak ada upaya pengecekan informasi yang diterima sebelum disebarkan. Informasi hoax maupun identifikasi yang bertendensi fitnah, penistaan maupun pencemaran nama baik hanya bergantung pada ujung jari ketika dipencet maka bisa menyebar ke mana-mana yang merupakan area publik, sehingga tak heran era kini telah bergeser peribahasa yang dahulu “mulutmu harimaumu” sekarang menjadi ” jarimu harimaumu”.
Pemilik akun Facebook “Dhe Bedun” setelah diidentifikasi adalah seseorang yang bernama asli Budi Santoso sebagaimana selanjutnya dapat dilihat dalam klarifikasinya pada postingan akun Facebook dimaksud.
Bertolak dari hal tersebut maka dalam perspektif hukum, maka tindakan dari pada pemilik akun FB “Dhe Bedun” atau seorang yang mengaku bernama asli Budi Santoso dimaksud telah memenuhi unsur mens rea suatu tindak pidana. Mens Rea sendiri adalah sikap batin atau keadaan psikis pelaku perbuatan pidana
Terkait dengan aktifitas dalam sosial media atau ITE maka telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Secara prinsip tindakan dari pada pemilik akun FB “Dhe Bedun” atau seorang yang mengaku bernama asli Budi Santoso adalah dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam 310 Jo 311 KUHP Jo Pasal Pasal 27 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Karena Gus Muwafiq adalah Kyai, Ulama dan sekaligus intelektual NU yang maqolah dan tausiyahnya dapat diikuti oleh para Nahdliyin maka tak berlebihan rasanya jika apa yang diperbuat Budi Santoso pemilik akun “Dhe Bedun” sebagaimana tersebut diatas membuat para Nahdliyin baik struktural dan kultural menjadi marah dan tidak terima, namun karena negara ini adalah negara hukum (rechtaats) maka perbuatan dan tindakan tersebut sudah sepantasnya dilakukan proses hukum sebagaimana mestinya agar mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Hingga
“Hikmah dapat terpetik karenanya…….”
Sofyan Mohammad
Ketua LPBHNU Kota Salatiga
6/01/2020
ANSOR – BANSER Potret Perjuangan dan Pengabdian
“Siapa yang mau ngurus NU saya anggap jadi santriku. Siapa yang jadi santriku, saya doakan husnul khatimah sekeluarganya.”
Demikian dawuhe Hadratus Syech Hasyim Asy’ari semasa hidup yang kini menjadi salah satu kalimat pemantik semangat untuk bergabung dan berkhidmad pada Jam’iyah Nahdlatul Ulama, selain faktor faktor lain yang bersifat koheren dengan amaliah spritual keagamaan maupun faktor ghiroh kebangsaan yang menjadi ciri khas Jam’iyah NU
Berkhidmad di Jam’iyah NU bisa dengan berbagai cara mulai dari masuk dalam struktur kepengurusan di semua tingkatan, bergabung pada badan otonom NU maupun hanya sededar penggembira non struktural namun amaliah, fikroh dan harokah NU tetap menjadi dasar perilaku dalam menjalani aktifitas sehari hari.
Bagi pemuda pemudi maka di NU ada badan otonom misalnya Fatayat untuk para pemudi dan Ansor bagi Para Pemuda. Khusus untuk Ansor maka rekam jejak sejarahnya sudah cukup panjang mengikuti proses perjalan bangsa ini.
Ide dasar pendirian Ansor, yaitu untuk menjaga NU dan NKRI karenanya semua program terpola untuk itu. Banser yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pada Ansor memiliki pola dalam skema paramiliter untuk menjaga perdamaian, harmoni dan hubungan antar agama. Pasukan Banser selama ini telah berperan untuk menjamin keamanan warga agama lain misalnya ketika terjadi perayaan Hari Raya di Gereja, Klenteng, Vihara dan rumah ibadah lainnya maupun ikut berperan melindungi kelompok minoritas lainya, hal inilah salah satu fungsi Banser yaitu menjadi penyeimbang demokrasi dari ancaman kelompok intoleransi ormas lain yang mentasnamakan Agama.
Khidmad sahabat sahabat Banser bertujuan untuk mendapatkan berkah (Tabarrukan) dan mengambil inspirasi atas semangat perjuangan para sahabat Nabi dalam memperjuangkan, membela serta menegakkan agama, karenanya hingga saat ini Banser tetap akan mengacu pada nilai-nilai dasar yang selalu bertindak dan bersikap sebagai pelopor dalam memberikan pertolongan untuk menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Itulah pencerahan sikap yang didapat oleh para Sahabat sahabat Ansor – Banser PAC Kec Susukan Kab. Semarang ketika melakukan touring “jajah deso milangkori” yang sesaat mampir silaturahmi di Ndalem Ayem Muncar yang merupakan markas komando (Mako) Ansor Desa Muncar Kec. Susukan, Kab. Semarang
Taouring ini dipimpin oleh Kasatkoryon Kecamatan Susukan sahabat Kukuh Wahyu Wicaksono beserta Kyai Zufni Alfatah selaku ketua Pagar Nusa Kecamatan Susukan dengan membawa serta para anggota Pendekar Pagar Nusa
Seperti sambutan yang disampaikan oleh sahabat M Zhamroni mewakili sahabat Riyadus Sholihin selaku ketua Anshor PAC Susukan maka salah satu tujuan Touring ” Jajah Deso Milangkori” kali ini adalah Shoowforce untuk menyemangati para pemuda kecamatan Suruh yang akan mengikuti PKD ( Pelatihan Kepemimpinan Dasar ) yang diselenggarakan oleh PAC. GP. ANSOR Kec. Susukan pada hari Sabtu – Minggu tanggal 11 – 12 Januari 2020 bertempat di Ponpes Al Huda Petak Susukan.
Diselenggarakanya PKD ini diharapkan dapat melahirkan kader kader Ansor yang memiliki kecakapan intelektual Profetik yaitu corak pemikiran yang seimbang antara akal dan spiritual sehingga kedepan bisa berperan menjadi kader yang berwawasan kebangsaan melalui harokah dan ubudiyah NU sehingga bisa men-jamiyah-kan jama’ah NU artinya menyatukan amaliah, fikrah, dan harakah dalam satu tarikan nafas
PKD yang digelar kali ini juga berikhtiar untuk membentuk kader yang memiliki spirit guna menguatkan khitah perjuangan wawasan kebangsaan yang bisa membawa NU menjadi jam’iyah, bukan sekadar jama’ah, sehingga memiliki cara berpikir jam’iyah yang terprogram, terstruktur, institusional, sistematis yang merupakan entri point harokah NU.
Mendung yang menyapa Desa Muncar siang itu tak menjadikan susutnya semangat para Sahabat sahabat Banser untuk meneguhkan komitmen menjada garda terdepan pembela NKRI, Pancasila dan UUD 45.
Mendung beringsut menumpahkan hujan deras mengakhiri silaturahmi di Ndalem Ayem Muncar setelah doa khusyuk terurai dari sahabat Mulyadi yang merupakan Hafidzul Qur’an, telah membanjiri kedalam rohani para sahabat sahabat Banser.
Semoga Allah SWT meridhoi.
Lahul Fatihah
Muncar, 5 Januari 2020.
Sofyan Mohammad (Ketua LPBHNU Salatiga)
Merangkai mimpi Menggagas Gerakan Intelektual Profetik bagi anak Muda Nahdliyin
Adakalanya diskusi akan menghasilkan kesadaran baru atas sebuah kegelisahan yang tertoreh karena gerak akal untuk menemukan format baru sebagai sebuah problem solver
Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan – keagamaan bila dilacak latar belakang berdirinya maka dahulu dilakukan oleh para Khaira Ummah dengan pemrakarsa salah satunya adalah KH. M. Hasyim Asy’ari, Khaira Ummah tersebut merupakan inspirator dalam gerakan amar ma’ruf nahi munkar, latar belakang ini tidak dapat dilepaskan dari aspek fundamental yaitu gerakan pemikiran melalui Taswirul Afkar atau konseptualisasi pemikiran dengan salah satunya tujuannya adalah Nahdlatul Wathon atau kebangkitan tanah air.
Dalam prosesnya maka Jam’iyah Nahdlatul Ulama ikut berperan secara nyata dalam proses pembentukan tanah air dan ketika Negara berdaulat (NKRI) sudah terbentuk maka NU secara kongkrit berperan aktif dalam mengisi dan menjaga kemerdekaan yaitu merealisasian gerakan mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara yang merupakan manifestasi dari gerakan pemikiran – Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran), gerakan ekonomi – Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para usahawan), dan gerakan pendidikan – Madrasah Nahlatul Wathon (kebangkitan tanah air), karenanya bagi NU berlaku semboyan bahkan dapat dikatakan berlaku pula sebagai hizib (doa) yang ampuh yaitu Hubbul Wathon Minal Iman
Gerakan Taswirul Afkar atau konseptualisasi pemikiran merupakan tradisi intelektual NU untuk melakukan konvergensi berbagai pemikiran dan metode, sehingga dalam tradisi itu tidak melahirkan cara pandang pemikiran yang monolitik dan tertutup bagi kritik untuk itu hingga saat ini NU masih tetap berkomitmen untuk menjadi salah satu benteng paling kokoh dalam melestarikan dan mempertahankan nilai kebangsaan, bagi NU segala persoalan kebangsaan ditelaah dan dicarikan jalan keluarnya secara terbuka dengan menggunakan hujjah (landasan pemikiran) yang solid dan koheren.
Laju perkembangan zaman adalah keniscayaan, globalisasi bak kereta cepat yang tak bisa dihentikan karenanya dibeberapa aspek menimbulkan implikasi secara positif maupun negatif – manfaat dan mudharat, namun demikian mau tidak mau harus dilewati bersama, segala persoalan sosial, politik dan budaya harus dapat disikapi secara tepat dengan menggunakan pisau analitik yang komprehensif.
Gerakan Taswirul Afkar menjadi hal yang perlu dilakukan pada saat ini oleh anak muda yang berafiliasi dengan Jam’iyah NU, segala problematika keumatan dan kebangsaan tetap menjadi tantangan baru untuk dapat dipecahkan karenanya diperlukan kesadaran, kepahaman, dan pemikiran yang merupakan buah dari gerak akal yang disebut dengan intelektual namun demikian gerak akal ini harus dipertautkan secara seimbang dengan gerak spriritual yang merupakan bagian inti yang merupakan ciri dari corak fikroh dan Harokah NU.
Gerak akal yang linier dengan gerak spiritual merupakan padanan lain dari apa yang kemudian disebut dengan Intelektual Profetik yaitu kecerdasan intelektual dan spiritual dengan misi mentransformasikan wahyu/ spritual dalam kehidupan sosial. Intelektual profetik merupakan wujud penyandingan antara ilmu dan agama, antara saintifik dengan teologis, antara orientasi dunia dan akhirat, antara keinginan manusia dengan kehendak langit, yang semuanya bermuara pada hasil penalaran akal dan penalaran spiritual.
Intelektual profetik adalah lawan dari pemikiran sekuler dan merupakan bentuk perlawanan atas hagemoni filsafat barat yang cenderung sekuler karena hanya gerak akal yang menjadi landasanya, salah satu problem kebangsaan saat ini adalah intoleransi oleh beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama, padahal dapat dipahami jika Bangsa ini adalah bangsa yang plural dengan keberagaman suku, etnis, budaya maupun agama, untuk itulah menjadi tantangan bagi anak muda NU untuk ikut berpartisipasi mencari alternatif penyelelesaian.
Dampak dari membanjirnya arus informasi dan komunikasi juga menyisakan persoalan yang sangat komplek termasuk gaung milinialisme dengan jargon revolusi industri 4.0 menjadi sebuah tuntutan yang harus direspon oleh Jam’iyah NU karenanya gerakan Intelektual Profetik menjadi sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh kalangan muda Nahdliyin.
Gagasan Intelektual Profetik bisa menjadi pisau gerakan bagi anak muda Nahdliyin untuk menemukan aspek inter-relasi sosial, bagaimana seorang individu/kelompok memandang sebuah perbedaan, karenanya toleransi adalah kunci untuk hidup berdampingan, namun tetap menjaga batas-batas aqidah agar tak terjebak pada toleransi (pluralisme) sesat.
Di kalangan NU maka santri sebagai kawulo muda Nahdliyin sejak dini harus diajarkan tentang fikrah seorang muslim yang harus memiliki sikap eksklusif, tetapi dalam konteks interaksi sosial tetap mengedepankan inklusifitas universal dalam upaya dakwah dan penerapan akhlaq, dengan demikian secara akal akan tetap terjaga sinergi berkesinambungan dan secara spritual juga tetap terjaga aqidah dan beberapa konteks-konteks lain yang merupakan ruang dialektis untuk menerapkan paradigma Intelektual Profetik hal ini adalah salah satu jawaban untuk menekan sikap primodialisme yang menghambat respon perkembangan zaman yang menjadi sebuah tuntutan.
Pokok pokok gagasan yang menyisakan asa atas mimpi mimpi idealisme anak muda NU Salatiga tersebut tercerahkan dalam diskusi sambil klepas klepus dengan suguhan kopi hitam dan satu tenggok penuh buah salak yang di suguhkan oleh Gus Hanif Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Tuntang, Kab. Semarang.
Dalam silaturahmi dengan KH. Muhamad Hanif, M. Hum atau biasa disapa Gus Hanif maka kami mendapatkan banyak pencerahan atas kegelisahan kami sebagai anak muda NU. Gus Hanif merupakan putra bungsu dari alm. KH. Mahfud Ridwan yang sudah tidak dapat diragukan lagi kompetensinya sebagai seorang Kyai karena sanad keilmuan, spritualitas, komitmen kebangsaan maupun repotasi beliau dalam upaya mendidik dan membimbing umat sampai akhir hayatnya.
Sepeninggal KH. Mahfud Ridwan maka Pondok Pesantren Edi Mancoro dilanjutkan oleh Gus Hanif dimana Gus Hanif yang notabenenya masih muda namun memiliki gagasan yang visioner dan mampu mengimplementasikan program yang inovatif dalam pengelolaan Pondok Pensanten, sehingga oleh Gus Hanif untuk melanjutkan perjuangan dan gagasan besar ayahandanya maka beliau menjadikan pondok Pesantren Edi Mancoro sebagai tempat bertemunya banyak penganut agama untuk mengimplentasikan Pluralisme dan Multikulturalisme, karenanya di pondok ini tak hanya diajarkan tentang agama Islam, pelajaran agama lain juga diajarkan.
Bagi Gus Hanif perbedaan dimaknai sebagai fitrah keberagaman yang berasal dari Tuhan, karenanya perbedaan bukan sebagai media untuk saling bermusuhan apalagi perpecahan, namun dari perbedaan itu menjadikan agama sebagai dialog-dialog antar agama dan peradaban untuk mencari titik temu kebersamaan dan persatuan, itulah inti dari pluralisme dan multikulturalisme yang tengah diajarkan Gus Hanif bagi santri santrinya, demikian hakikatnya gerakan intelektual Profetik itu dimulai.
Dengan ditemani asap dari berbatang batang rokok yang kami hisap sambil menyeruput kopi hitam dan sesekali kami mengupas suguhan buah salak yang kami ambil dari tenggok, sementara diluar hujan terus mengguyur maka malam itu terasa singkat padahal sudah berjam jam lamanya kami mendengarkan banyak penjelasan oleh Gus Hanif maka selanjutnya ada beberapa point’ yang kami dapatkan bagaimana gerakan intelektual Profetik itu harus benar benar dimulai dan dipraktikan oleh anak muda Nahdliyin yang tanpa harus mengurangi tradisi ketertundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang merupakan manifestasi semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan tawarru’ (bermoral luhur).
Dengan bertabaruk ilmu dengan Gus Hanif maka kita tersadarkan tentang adanya optik cakrawala alternatif yang bisa kita lakukan untuk memulai sebuah gerakan intelektual Profetik yang merupakan tanggung jawab kita sebagai anak muda Nahdliyin, agar kita menjadi insan yang utama, bermanfaat dan penuh mabruk.
Lahul Fatihah
Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)
Refleksi Akhir Tahun 2019 menuju Tahun 2020 harapan dan tantangan (Kita sebagai pribadi dan kita sebagai Warga Negara)
Dalam kalender Masehi maka tanggal 31 Desember adalah tanggal penghujung yang akan berganti menjadi hari dan tanggal pertama di bulan pada yang tahun baru, maka umumnya hampir orang di seluruh dunia merayakan dengan berbagai cara, tak sedikit orang merayakan dengan eforia sukacita (ekspresi dengan kiblat budaya barat), namun tak sedikit pula orang melakukan refleksi dengan ritualitas konfirmasi diri (ekspresi inklusifitas teologi dan budaya lokal)
Bagi seorang mukmin maka perayaan pergantian tahun akan dirayakan dengan melakukan ibadah khusus atau laku spiritual sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT sekaligus komitmen pengharapan terhadap perubahan diri menuju pribadi yang lebih baik, hal ini barangkali adalah harapan dalam konteks kita sebagai diri pribadi namun kita sebagai warga negara maka pergantian tahun adalah momentum untuk meneguhkan semangat membangun kesadaran kolektif guna menegaskan komitmen agar berani menghadapi tantangan dengan membangun pola berpikir dengan kesadaran kritis untuk melawan segala bentuk korupsi, melawan segala bentuk keterbelakangan, melawan segala bentuk kebodohan, melawan segala bentuk kemiskinan, melawan segala bentuk ketidakadilan serta melawan segala bentuk gaya hidup yang tidak ramah lingkungan sehingga mampu merajut kesadaran kolektif agar lebih mencintai karya dan produk dalam negeri.
Imam Al Ghazali sebagai seorang pemikir dan spiritualis Islam dalam kitab “Minhajul Abidin” menuliskan adanya perbedaaan antara harapan dan khayalan yaitu manusia yang berharap itu memiliki dasar, sedangkan manusia yang mengkhayal tidak memiliki dasar kemudian dalam kitab “Ihya Ulumuddin” disebutkan agar manusia senantiasa dapat mengiringi harapan (raja’) dengan rasa takut (khauf), sebab, pada dasarnya harapan yang sejati tidak dapat dipisahkan dengan harapan yang tulus, oleh karenanya harapan itu hanyalah bagi orang yang takut. Adapun orang yang tidak merasa takut, akan merasa aman, sedangkan rasa takut itu hanyalah bagi orang yang berpengharapan sejati, bukan bagi orang yang putus asa.
Dalam kitab “Ihya Ulumuddin” tersebut juga menegaskan yaitu setiap langkah manusia, harus seimbang antara khauf dan raja’, keduanya akan menjadi media pengendali diri, yaitu saat manusia sedang dalam kesulitan maka diharuskan memperbanyak raja’, sedangkan bila manusia sedang dalam kesenangan, sudah seharusnya meningkatkan khauf, pemikiran Imam Al Ghazali pada prinsipnya mengajak kita untuk merenungkan sejenak makna “harapan” yang kerap mengisi relung-relung terdalam sanubari kita sebagai manusia, terutama saat jiwa dan raga kita larut dalam hasrat kesenangan dunia semata-mata. Harapan akan perubahan hidup yang diinginkan manusia sebenarnya sangat mungkin dicapai selama kita menempuh jalan-jalan kebaikan.
Terkait dengan harapan maka selanjutnya dalam refleksi pergantian tahun ini maka menjadi relevan rasanya untuk mempertautan kesadaran kritis kita sebagai manusia secara pribadi maupun sebagai warga negara yaitu harapan menuju kemaslahatan hakiki.
Kemaslahatan dimaksud adalah menyangkut nilai kemanfaatan secara rohani diri maupun secara sosial, bertolak dari hal tersebut maka kemaslahatan secara pribadi yaitu kemaslahatan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan yang merupakan pokok kehidupan, karena manusia tidak bisa hidup layak tanpa lima hal tersebut. Sedangkan kemaslahatan secara sosial (maslahat mursalah) yaitu menumbuhkan kesadaran kolektif agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai sesama warga negara, dari sini maka akan tercapai keamanan, ketertiban dan kesejahteraan
Dalam kemaslahatan sosial maka setidaknya harus mampu memotret lenskap keseluruhan aspek dalam hidup bersosial yang mengacu pada kitab “al-kulliyyat al-khamsah” karya Muhammad Abid Al – Jabiri maka dapat terbaca jika kemaslahatan sosial tersebut meliputi pertama, kemaslahatan umat agama-agama yaitu melindungi agama (hifdzu al-din) karena setiap agama hakikatnya mengajarkan kebaikan dan menebarkan kasih sayang yang menjunjung tinggi keadilan.
Kedua, kemaslahatan jiwa dan hak hidup yaitu melindungi jiwa (hifdz al-nafs) hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghargai hak hidup setiap orang, Ketiga, kemaslahatan ekonomi yaitu melindungi harta (hifdz al-mal) yang merupakan salah satu komponen primer dalam kehidupan sosial, keempat kemaslahatan keluarga yaitu melindungi keturunan (hifdz al-nasl) yang juga merupakan aspek penting karena menyangkut keberlangsungan eksistensi kehidupan membentuk peradaban yang terakhir adalah kemaslahatan akal yaitu melindungi akal (hifdz al-‘aql) karena akal adalah jantung agama, sehingga tak heran dalam berbagai kitab fikih disebutkan, bahwa setiap umat mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk melaksanakan ajarannya sejauh mempunyai akal yang sehat.
Demikian pencerahan yang didapat dari derasnya ilmu Romo Yai Sumyani Aziz (Khatib Syuriah PCNU Kota Salatiga – Bapak mertua Gus Yusuf Pengasuh Ponpes API Tegalrejo Magelang) melalui metode wejangan beliau yang runtut dan sistematis tertumpah menyirami kesadaran akal dan ruhani kami diwaktu subuh memasuki hari pertama pada bulan Januari 2020.
Semburat cakrawala pagi menembus celah celah kaca ventilasi Rumah Romo Yai Sumyani Aziz masuk pada sanubari kami membawa pesan keseimbangan antara raja’ dan khauf jika hari ini 1 Januari 2020 adalah awal pembentukan kualitas diri.
Suguhan Kopi hitam dari Gus Syakir putra Romo Yai Sumyani Aziz telah kami seruput habis hingga tinggal menyisakan ampas residu yang tersisa dalam gelas dan sisa kepulan asap rokok kretek yang kami hisap lebur bersama semangat kami untuk memulai kehidupan yang lebih baik pada tahun ini.
Dimulai dengan menyebut kalimat “Bismilahirohmanirohim” dengan penuh kepasrahan.
Matur suwun Yai atas segala curahan pencerahan dan inspirasinya, semoga Barokah
Lahul Fatihah
Tingkir lor, 1 Januari 2020. 06.14 WIB
Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)
Fase perkembangan hukum di Nusantara (Menuju implementasi penegakan hukum berkeadilan era kekinian)
Ditengah munculnya kompleksitas problem penegakan hukum di Indonesian akhir akhir ini maka memantik pemikiran kritis untuk melacak kembali pembentukan hukum yang berlaku di Nusantara sebagai bahan renungan dan evaluasi
Dari pelajaran yang diperoleh saat di bangku kuliah dalam mata kuliah sejarah hukum maka masuk dalam ingatan bagaimana Hukum kita saat ini merupakan akulturasi dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan yang disebut dengan dengan Nederlandsch-Indie.
Nusantara sebelum era Samudra Pasai di Sumatra dan Kerajaan Demak di Jawa berdiri maka mayoritas masyarakat kita adalah pemeluk Agama Budha, Hindhu maupun Agama lokal yang dalam prosesnya juga telah membentuk hukum, selanjutnya setelah Kerajaan Samudra Pasai dan Demak berdiri maka menandai fase pergantian mayoritas pemeluk Agama karenanya juga bergeser pula beberapa hal tentang tatanan hukum di Nusantara yaitu karena mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam maka hukum agama didominasi hukum Islam hingga saat ini meski dalam lingkup domestik misalnya menyangkut perkawinan, kekeluargaan, warisan, hibah, wasiat maupun ekonomi syariah.
Namun demikian di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya lokal yang ada di wilayah nusantara
Fase perkembangan hukum di Indonesia bisa dilihat dari fase kerajaan di Nusantara misalnya kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit, Kutai, dll, namun pada saat itu tata hukum masih bersifat kewilayahan berdasarkan batas wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan, karenanya disetiap kerajaan memiliki tata hukum sesuai dengan kebudayaan masing-masing, kepercayaan, dan keputusan raja di setiap kerajaan dan sumber hukum era itu bersumber dari hukum agama kerajaan yang terbentuk bersamaan dengan kearifan lokal dari pada kerajaan itu sendiri.
Jejak sejarah hukum di Indonesia bisa melalui adanya Prasasti, naskah kuno maupun cerita rakyat yang berkembang selanjutnya diketahui jika keputusan hukum pada masa lalu dilakukan berdasarkan kitab hukum tertulis yang bersifat lokalistik, kebiasaan atau adat yang tidak tertulis hal ini bisa diketahui misalnya dalam Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung pada era Majapahit maupun dalam kitab Kutaramanawa yang dapat digariskan jika era itu segala permasalahan diselesaikan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab hukum, pendapat umum – adat – kebiasaan yang diterjemahkan oleh pejabat kehakiman yang ahli pada saat itu.
Penerapan sangsi hukum tersusun dalam kitab yang sejalan dengan makin bervariasinya jenis sanksi, diketahui sangsi era itu ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan di Nusantata era itu yaitu kutukan yang mengerikan, denda uang, dan hukuman badan, untuk sanksi kutukan berlaku sebagaimana dalam mantra kutukan pancamahabhuta (lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).
Perkembangan selanjutnya pada fase Kolonial dimana kedatangan bangsa Eropa tentu memberikan pengaruh-pengaruh terhadap perkembangan tata hukum di Indonesia yang di beberapa hal masih menjadi madzhab dalam hukum kita sampai saat ini.
Pada saat ini kita tengah memapaki era post modernisme yang ditandai dengan mengguritanya arus informasi dan komunikasi dan terbentuknya lenskap digital dengan gaung revolusi industri 4.0 adalah tantangan penegakan hukum saat ini karena pada praktiknya memunculkan keragaman problematik hukum untuk itu diperlukan terobosan hukum guna menciptakan keadilan karena hukum harus menjadi enigering dalam perkembangan zaman
Salah satu terobosan hukum adalah melalui penerapan legal metanarative sebagai salah satu implementasi menjawab tantangan menghadapi kemajuan di bidang teknologi sebagai suatu realitas yang dihadapi oleh legal metanarative.
Pembentukan sebuah Negara yang menggunakan hukum modern haruslah diikuti dengah penegak hukum yang modern pula agar tercipta sebuah Negara yang benar-benar menggunakan hukum modern yang baik, tepat, dan menerapkan bahwa semua warga Negara sama di hadapan hukum, tidak ada diskriminasi maupun kencenderungan untuk menegakan hukum secara tebang pilih.
Dialog yang mengharu biru bersama dengan para praktisi hukum yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya dalam coreng moreng penegakan hukum di Indonesia. Ada Jaksa Senior, ada hakim Senior, ada beberapa Lawyers senior lintas pulau dan diikuti pula dengan gagasan dan pertanyaan pertanyaan yang menggelitik dari junior junior Advokat Magang
Secangkir Kopi hitam menyisakan residu tidak mampu menyelesaikan keganasan waktu dialektika diskusi hingga pelayan resto kembali menghidangkan bergelas gelas wedang uwuh, wedang jahe dan teh tubruk telah habis terseruput juga belum menghilangkan dahaga problematika hukum yang menjadi topik diskusi malam ini di Srawung Resto dan Kopi Jl. Cangkringan, Kali Urang Yogyakarta.
Resto megah yang berdiri di tengah tengah sawah malam ini berkelindap dengan kabut dan hujan yang mengguyur tersapu pada kepulan asap rokok yang masih menyisakan kegelisan kami untuk menjawab tantangan hukum di era digital.
Matinya lampu resto menandai berakhirnya diskusi kami malam ini yang jauh dari kata tuntas.
Kaliurang, Yogyakarta 3/01/2020. 24. 02 WIB
Sofyan Mohammad (Ketua LPBHNU Salatiga)
Yai Muwafiq dan Tantangan NU
Lebih dari satu dekade ini ada ancaman serius terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari paham-paham radikal dan ekstrimisme, karenanya NU sebagai salah satu Jam’iyah merasa ikut bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa dengan tetap berkomitmen menjaga idiologi Negara.
Dalam tradisi di lingkungan NU maka ada istilah riyadlah atau tirakat, maka secara kolektif tirakat yang sedang dijalani oleh Jam’iyah NU saat ini adalah Istiqomah untuk menahan diri agar tidak terprovokasi atas segala bentuk fitnah, hoax dan beraneka ragam tindakan provokatif lain dari kelompok tertentu yang selalu menyerang martabat NU secara kelembagaan maupun terhadap para Masyayikh, Kyai, ulama, Dai maupun intelektual yang berafiliasi dengan Jam’iyah NU.
Riyadloh bagi orang NU adalah berusaha untuk tidak berprasangka buruk, Tahalli yaitu menghiasi diri dengan sifat mahmudah (terpuji) dan Tajalli yaitu harus terbuka mata hatinya menerima nikmat yang diberikan Allah SWT, karenanya ditengah moment terpaan fitnah, hoax, provokasi dan adu domba yang sedang gencar dilakukan kelompok ekstrimis maka bagi jam’iyah NU hal ini justru dijadikan bahan evaluasi untuk memperkokoh i’tiqad (keyakinan/paham) amaliyah, fikrah dan harakah Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah.
Bagi nahdliyin dengan potensi ketakwaannya harus memahami bunyi ayat, “Apabila datang seorang fasik membawa berita maka kalian harus bertanggung.” Ayat 6 dari Surat al Hujurat tersebut menekankan pentingnya tabayun dalam arti meneliti informasi agar lebih tahu kebenarannya. Jika informasi tersebut salah maka jangan sekali-kali turut serta menyebarkannya. Kita bisa belajar dari konflik di belahan timur tengah, Libya, Yaman, dan Suriah yang menyebabkan hancur karena fitnah dan hoaks. Untuk itu bagi NU selain maju melawan hoax maka juga harus melawan gerakan radikal sebagian ikhtiar menjaga kelestarian Nusantara.
Yai Ahmad Mufawiq salah satu Kyai, mubaligh sekaligus Intelektual muda NU beliau bisa dibilang merupakan figur Kiai yang serba bisa, karena selain menyampaikan ceramah soal agama, dirinya juga sangat menguasai pengetahuan umum yang meliputi sejarah Indonesia maupun luar negeri, politik, ekonomi hingga sosial budaya, namun saat ini beliau tengah mengalami tekanan dari kelompok lain yang tidak sependapat dengan cara beliau menyampaikan dakwah, pemilihan diksi kalimat bahasa Arab “Romadun Syayidun” ditranslit dengan bahasa Jawa sehari hari “rembes” malah menjadi salah satu menu istimewa untuk digoreng habis habisan oleh kelompok lain yang salah satu tujuannya patut diduga adalah untuk mendeskriditkan dan mendelegitimasi beliau karena mereka tahu Yai Muwafiq sangat dicintai umat khususnya warga Nahdliyin, reaksi provokasi inilah yang ditunggu agar NU bereaksi mengikuti skema mereka tapi Alhamdulillah para Kyai NU tanggap suasana tersebut sehingga tetap tenang dan tidak terprovokasi hal ini semata mata adalah bagian akhlaq yang menjadi landasan Harokah NU.
Berbagai tekanan tidak menghalangi Yai Muwafiq untuk terus berdakwah, setelah memberi sirahaman rohani dihadapan ribuan jamaah di lapangan Pemda Kabupaten Badung, Propinsi Bali maka sehari kemudian Yai Muwafiq tetap melanjutkan dakwah di hadapan ribuan jemaah memadati halaman Pondok Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo, Sabtu (7/12/2019) saking banyaknya jamaah yang datang, Ponpes Al Muayyad tak cukup menampung jamaah, hingga meluber ke jalan jalan di sekitar Ponpes Al Muayyad.
Para Jamaah tampak khusyuk mengikuti setiap rangkaian acara yang berlangsung, mereka duduk diatas gelaran tikar dengan penuh antusias meski ditengah gerimis mereka rela bedesak desakan dengan hanya menyaksikan tausiyah Yai Muwafiq dihadapan dua layar besar yang disiapkan panitia, para jamaah ini sudah menyemut di Ponpes Al Muayyad mulai pukul 19.00 Wib dan mereka pun tetap sabar meski harus menunggu berjam-jam, karena Yai Muwafiq baru datang sekitar pukul 22.20 Wib.
Meski sebelumnya pihak panitia dibayang-bayangi dengan aksi demo sekelompok ormas yang sehari sebelum acara digelar, sekelompok ormas menggelar demo di depan Polresta Solo dan sempat terjadi insiden bentrok namun pengajian tetap berlangsung secara aman damai dan penuh barokah.
Sebagai antisipasi pihak kepolisian dan TNI yang ada di Solo sudah mensiagakan sekurangnya 1.000 personel gabungan, untuk mengamankan acara dibantu sahabat sahabat Banser, Pagar Nusa maupun ormas lain yang antusias dan bersolidaritas ikut merasa bertanggung jawab mengamankan acara tersebut.
Pengajian di Ponpes Al Muayad Solo selain dihadiri ribuan jamaah juga dihadiri pula oleh para Masyayikh, Kyai dan tokoh tokoh NU, karenanya pengajian malam itu menjadi pengajian yang istimewa dan penuh mabruk sekaligus sebagai catatan bagi NU untuk memperteguh khitoh perjuangan.
Solo, 7/12/19 Sofyan Mohammad (ketua LPBHNU Salatiga)
“Mudik, Tradisi dan Agama”
Lebaran merupakan moment dimana seorang muslim merayakan kemenangannya. Disaat mereka telah melaksanakan kewajiban berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pada saat lebaran Idul Fitri lah mereka merayakannya. Disisi lain ada tradisi menarik yang dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia khususnya umat muslim. Yaitu tradisi mudik.
Tradisi ini menjadi sarana untuk bersilaturahmi bagi umat muslim kepada sanak keluarga dikampung halamannya. Dimana setiap tahunnya masyarakat indonesia yang bekerja di luar kota kelahirannya, mereka melakukannya pada saat lebaran Idul Fitri tiba. Ternyata tradisi mudik lebaran untuk berkumpul bersama keluarga dan mengucapkan selamat Idul Fitri ini tidak tergantikan, meski sudah banyak beragam alat komunikasi yang semakin canggih, yang bisa juga mereka manfaatkan untuk silaturahmi.
Fenomena tradisi mudik dibilang cukup unik di Indonesia. Yang mana di negara lain kita jarang menemuknnya. Kata mudik secara khusus memang hanya digunakan pada saat lebaran saja. Sedangkan ketika seseorang pulang ke kampung halaman di hari-hari biasa mereka tidak juga dikatakan mudik. Disini ada sisi sejarah yang perlunya kita ketahui. Mengapa kata mudik hanya digunakan pada saat momentum lebaran saja.
Kata mudik konon berasal dari bahasa jawa ngoko: mulih dik (Pulang sebentar), memang belum ada penulisan sejarah lengkap yang membahas terkait tradisi mudik. Menurut Jacob Sumardjo, tradisi mudik ini sudah ada sebelum zaman Majapahit, yang dilakukan menjelang musim panen. Setelah masuknya Islam dan orang-orang Indonesia mulai merayakan lebaran Idul Fitri, mudik dilakukan menjelang lebaran.
Orang yang mudik setiap zaman memiliki caranya sendiri-sendiri. Ketika zaman kolonial Hindia-Belanda orang indonesia melakukanya dengan menaiki kereta api di jawa. Masyarakat saat itu melakukannya secara berbondong bondong dan sangat hurmat.
Menurut Rudolf Mrazek, dalam bukunya Engineer of Happyland (2006), orang-orang yang suka bepergian dengan kereta api di era kolonial adalah orang-orang Indonesia. Sementara orang-orang Eropa lebih suka tinggal di rumah ketika libur. Dilansir dari tirto.id
Tradisi ini dilakukan hingga zaman sekarang, denga kemajuan transportasi yang semakin maju dan lengkap. Dimana seseorang lebih mudah untuk mengaksesnya untuk perjalanan mudik ke kampung halaman. Bedanya hanya sekarang kita sekarang dimudahkan dengan kemajuan teknologi transportasi baik darat,laut, maupun udara.L
Sebenarnya mudik bukan tradisi dalam agama Islam, di negara timur tengah perayaan lebaran Idul Fitri dirayakan biasa saja danjuga tidak ditemukan tradisi mudik. Lalu apakah islam agama islam mengajarkan tradisi ini? Atau memang ini hanya sebagai relevansi tradisi yang dikatkan dengan agama.
Selain itu dalam istilah islam dikenal juga dengan Halal Bi Halal. Bicara halal bi halal ini pun juga di populerkan hanya di negara Indonesia. Masyarakat muslim khususnya warga Nahdhiyin NU. Mempercayai bahwa kata halal bi halal tak lepas dari peran Kh Wahab Hasbullah.
Suatu hari di bulan ramadhan Presiden Soekarno dihadapkan pada banyak masalah perpecahan elit politik di Indonesia. Soekarno minta saran pada Kyai Wahab. Dari Sang Kyai, Soekarno disarankan untuk mengadakan silaturahmi. Soekarno pun melaksanakan saran Kyai Wahab. Setelah lebaran, Soekarno mengundang para tokoh yang berbeda ideologi dan kepentingan untuk bersilaturahmi.
Disini memang adanya sebuah utusan yang di amanatkan oleh Soekarno dari KH Wahab Hasbullah. Yang mana disisi lain unsur agama memang ada disini, karena kedekatan/relevansi menjadi sebuah tradisi yang ada hingga sekarang. Dan kata itu pun masih digunakan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bi halal berarti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aulau dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Kata itu mungkin terlontar di tahun 1963, tentu saja itu bukan kali pertama orang Indonesia bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Apalagi sejarah tradisi lebaran dan mudik di Indonesia juga sangat panjang.
Oleh: Muhammad Waliyuddin (Kordinator Elkap PMII Rayon Syari’ah. UIN Semarang )
Penting Karena Dianggap “Tidak Penting”
Ini berawal dari obrolan ringan di Warung Kopi tentang sesuatu yang paling tidak penting dalam hidup kita. Saya jadi teringat dengan tulisan renyah-inspiratif Syeikh A. Yuriyanto Elga, “Ustadz, Jangan Keburu Terkenal, dong” yang dimuat di basabasi.co pada tanggal 17 September 2015 yang lalu. Apalagi belakangan ini kerap bermunculan Ustadz-Ustadzah “karbitan”; yang mana gelar Ustadz-Ustadzah mereka dapatkan hanya dalam kurun waktu beberapa menit saja. Bahkan, ada pula yang secara blak-blakan minta dianggap sebagai Ustadz. Sungguh, kini gelar Ustadz-Ustadzah menjadi sangat murah harganya; tidak semahal mencari pasangan bagi para kaum Jomblo akut. Ojo baper toh le!
Berangkat dari fenomena tersebut maka obrolan “tidak penting” kami mulai meluas kemana-kemana, bahkan sampai pada pembahasan tentang apakah “sesuatu yang paling tidak penting” dalam hidup kita ini? Setelah ngobrol cukup lama, maka kami pun segera menemukan jawabnya; yakni “kedirian” kita ini. Sebuah “kedirian” yang penuh kemunafikan, keangkuhan, dan kesombongan. Ketiganya tumbuh menjulur seiring dengan semakin merapuhnya “kedirian” itu sendiri.
Pengakuan diri yang berlebih inilah yang justru membuat diri kita ini semakin tidak penting. Semakin tinggi kita “mengakui” keberadaan kita maka semakin “rendah” pulalah diri ini. Bahkan, tidak jarang kita merendahkan diri kita sendiri dengan kesombongan-keangkuhan yang pembohong; mengaku “berarti” padahal sejatinya “harga diri” kita tidak lebih berharga dari setitik debu jalanan. Mengaku kaya; padahal setiap saat, bahkan setiap detik, kita selalu merasa “kehausan” dan “kelaparan.” Mengaku Ustadz, padahal belajar agamanya baru seumuran jagung. Lebih parahnya lagi orang-orang yang berburu “pengakuan” akan ke-Uztadz-annya. Hmm, kita mah gitu, suka munafik terhadap diri kita sendiri.
Sederhananya, penting dan tidaknya diri kita tergantung pada pengakuan akan kedirian itu sendiri. Semakin gencar kita mengaku Ustadz, maka semakin tidak Ustads pulalah diri kita. Semakin kita butuh pengakuan akan “kemapanan” diri kita, maka justru semakin tidak mapan lah diri kita. Sebaliknya, semakin kerap kita mengaku hina maka diangkatlah beberapa derajat kemuliaan kita. Tapi, jika kita mengakui akan “kemuliaan” diri, maka kian menurun pulalah derajat kedirian kita.
Memang sich, agama kita telah menyerukan bahwa “manusia” itu merupakan makhluk paling sempurna daripada makhluk-makhluk lain ciptaan Tuhan. Kita lebih bersih dari cacing, kecoa, dan tikus-tikus penghuni got dan kolong jembatan (kecualai tikus kantoran loh ya, paham?). Kita lebih ganteng dari kera dan orang hutan. Kita lebih licin dari belut yang suka meliut-liut. Kita lebih buas dari srigala. Kita lebih berbisa dari ular yang paling berbisa sekalipun. Juga, kita lebih licik dari para “kancil” si pencuri timun tetangga itu. Ah! malah semakin ngaco. Intinya, kita “lebih” sempurna ketimbang segala makhluk yang pernah diciptakan Tuhan, titik.
Tapi, ada misteri besar dalam diri kita. Misteri besar yang membuat sang manusia senantiasa berada dalam ruang “relativitas” yang abadi. Sebuah misteri yang mampu membuat kita melesat lebih kilat dari cahaya. Juga, dapat menghempaskan kita ke jurang yang paling dalam, paling gelap, paling pengap, dan paling hina sekalipun. Yah, mungkin serupa Neraka Jahanam; di mana setiap rasa sakit, getir, pahit, dan pilu sedang berbaris membentuk sebuah karapan dan siap memberangus kita, kapan saja, dan tiada henti. Tapi ada yang bilang (saya lupa siapa yang menuturkan), bahwa Neraka yang paling Jahanam itu justru adalah “kedirian” kita sendiri. Kengerian yang sebenarnya adalah ketika kita sampai pada puncak “pengakuan” akan ”kedirian” itu sendiri. Busyet! Kok aku sok jadi bijak gini ya. Usap-usap dada dulu ah, sambil berdo’a “astaghfirullah min qaulin bila ‘amalin.” Ups, sok Ngustadz pula. Hehe.
Sudahlah, terserah kalian anggap saya sok bijak atau sok Ngustadz. Lagi pula anggapan kalian tidak akan merubah “kedirian” yang tidak penting ini menjadi penting. Bahkan, ketika kalian anggap diri saya penting, maka semenjak itu pulalah kalian menjadikan kedirian saya semakin tidak penting. Jika dianggap penting, maka semakin tidak penting. Jika tidak dianggap penting, maka semakin penting. Mbulet. Sudahlah, penting atau tidak penting terserah kalian saja. Yang jelas, saya ingin berkata jujur dan apa adanya. Sebab, saya tak ingin ada dusta di antara kita. Ah, kok jadi alay gini ya.
Mari kita kembali berbicara serius (pakek banget) mengenai suatu “misteri” yang bersarang dalam kedirian kita. Suatu misteri yang membuat kita itu penting, tetapi tidak penting, tapi juga penting sich. Mbuh ah, Mbulet. Menurut Mbah Freud, “kedirian” manusia itu terdiri dari id, ego dan super ego. Ketiganya saling bersitegang dan berhubungan satu sama lain sehingga terbentuklah “kedirian” manusia itu sendiri. Jangan terlalu serius lah membaca kalimat di atas. Percayalah, keseriusanmu tidak ada hubungannya dengan kebahagiaanmu.
Lagi pula Mbah Freud juga tidak serius kok. Sama-sama tidak seriusnya dengan Mbah Marx dan Mbah Hegel yang menyatakan bahwa peradaban itu dibentuk oleh “ketegangan” antara dua kutub yang bertentangan. Ada-ada saja. Maklum lah, keduanya terlahir dari zaman yang serba tegang kok. Mbah Freud, Mbah Marx, Mbah Hegel, dan Mbah-Mbah modernisme lainnya, terlahir dari era dimana setiap orang adalah antithesis bagi orang lain. Seperti halnya juga perempuan yang dianggap sebagai antithesis dari keberadaan laki-laki. Pantes saja di antara keduanya senantiasa ada “ketegangan.” Apakah ketegangan semacam itukah yang dimaksudkan Mbah-Mbah modernisme tadi? Entahlah, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Ciyee!
Tapi memang benar, mereka lahir dari zaman yang penuh ketegangan. Sebuah zaman yang semakin terkotak-kotak berdasarkan warna dan jenis kelamin. Maka pantes saja jika mereka beranggapan bahwa “ketegangan” sebagai sumber peradaban. Coba saja mereka terlahir satu era—gampangnya satu kampung lah—bersama Nyai Rabi’ah al-Adawiyah, Mbah al-Hallaj, Mbah Jalaluddin Rumi, Mbah Juneid al-Baghdadi, dan Mbah-Mbah pejuang “Cinta” yang lainnya, maka percayalah Mbah Freud, Mbah Marx, dan Mbah Hegel tidak akan menjadi setegang itu.
Ujung-ujungnya mereka hanya akan menjadi penyair yang terbuai dan dimabuk oleh anggur-anggur asmara-Nya. Merekalah si Majnun; setiap yang mereka jumpai hanyalah “Layla” adanya. Meminjam bahasanya Kuswadi Syafi’ie (Pengasuh PP. Maulana Rumi); “setiap karnaval keberagaman, sejatinya hanyalah monolog Keesaan-Nya.” Sungguh, betapa syahdunya ketika kita melihat Mbah Freud, Mbah Marx, dan Mbah Hegel mabuk cinta. Dimana setiap ketegangan yang saksikan, sejatinya hanyalah keindahan-Nya semata. Setiap perbedaan siang dan malam, Barat dan Timur Loh, kok sampe pada dunia khayalan segala? Fayah.
Begini saja, selama ini kita terlalu sibuk mengakui “kedirian” kita sebagai sesuatu yang penting. Padahal, sebatas pengakuan akan “keberadaan” diri kita saja itu sudah tidak penting. Apalagi mengakui diri kita sebagai “orang penting,” maka semakin tidak penting diri kita. Serupa halnya dengan Mbah-Mbah modernisme di atas, semakin sibuk mereka mengakui “keberadaannya” maka semakin tidak “penting” pulalah keberadaan mereka. Sebaliknya, ketika si Majnun semakin kehilangan “kediriannya,” justru saat itulah ia berada dalam momen yang paling penting. Terjerembab dalam samudera keberadaan-Nya, satu-satunya hal yang paling penting. Tidak ada yang lain. Titik.
Dalam momen seperti ini, maka semakin habislah segala bentuk “pengakuan” kedirian yang munafik dan alegoris. Pengakuan-pengakuan yang selama ini telah menggerogoti kedirian kita menjadi diri yang parsial, pragmatik, materialistik, empirik, rasional, dan berhala-berhala modernisme lainnya. Memang begitulah pengetahuan modern, menggiring kita semakin jauh dan terasing dari kedirian yang sebenarnya; yakni “kedirian” yang sepenuhnya hanyalah Kedirian-Nya. Bahwa, segala sesuatu yang berbeda (dianggap bertentangan) hanyalah Keindahan dan ke-Esaan-Nya semata. Wallahu a’lam bis-shawab.
Oleh: Ahmad Faidi (Nelayan di Samudera-Nya)