Tag Archives: lakpesdam salatiga

ROMADHON 1441 H DITENGAH PENDEMI COVID 19 (Menjemput keutamaan dengan Protokol Kesehatan)*

Romadhon tahun 2020 M atau 1441 H kali ini jelas terasa berbeda dari bulan puasa pada tahun-tahun sebelumnya, karena secara bersamaan tengah berlangsung pandemi Corona COVID-19 yang melanda secara global, sehingga untuk pertama kalinya Romadhan dilalui dengan mengampanyekan pembatasan sosial dan menghindari keramaian.

Otoritas pemerintah selaku pemangku kebijakan mengambil langkah antisipatif penyebaran virus dengan menerapkan pola hidup baru yaitu pembatasan interaksi sosial yang diwujudkan dengan beraktivitas dari rumah, menggunakan masker, karantina mandiri bagi individu dengan kondisi dan status kesehatan tertentu, hingga karantina wilayah.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah Covid-19 menyatakan bahwa sahur dan buka puasa cukup dilakukan di rumah bersama keluarga inti, demikian shalat Tarawih hanya dilakukan di rumah, hal ini tentu berdampak terhadap tradisi dan kebiasaan di bulan Romadhan karena biasanya umat Muslim menjalankan ibadah puasa dengan berbuka bersama atau sholat tarawih di masjid beramai-ramai, kali ini terpaksa dilakukan tanpa berjamaah secara umjm, hanya bersama anggota keluarga inti, di rumah masing-masing.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau kepada otoritas negara terdampak agar meniadakan perkumpulan apa pun dan menggantinya dengan perkumpulan virtual atau alternatif lainya dengan menerapkan Social Distancing dan atau Psysichal Distancing yaitu segala aktifitas pertemuan tetap terjadi namun semua orang wajib menjaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter, jabat tangan mesti dihindari dan diganti dengan gestur lain, iktikaf di masjid yang biasanya dilakukan 10 hari terakhir Ramadhan juga diimbau agar tidak dilakukan karena untuk meminimalkan kontak fisik antar orang di area publik, karenanya WHO juga merekomendasikan untuk secara rutin membersihkan ruang publik secara berkala termasuk di rumah ibadah.

Bulan Romadhan juga disebut sebagi bulan yang penuh keberkahan dimana doa-doa akan diijabah oleh Allah SWT, karenanya kaum muslim berlomba-lomba mengerjakan kebaikan, karena setiap amal soleh kita akan dilipatgandakan pahalanya. Bulan Romadhan memiliki banyak sekali keistimewaan salah satunya adalah adanya malam Lailatul Qadar yaitu malam yang penuh dengan kebaikan tersebut, sehingga Romadhan adalah bulan terbaik di mana kesempatan untuk berbuat amal kebaikan terbuka seluas luasnya dan tidak ada bulan dimana pintu kebaikan dibuka hingga seperti di bulan Romadhan.

Amalan ibadah yang tidak terpisahkan dari bulan Romadhan adalah sholat tarawih yang memiliki banyak fadhilah atau keistimewaan dimana setiap malam sholat tarawih memiliki fadhilah sendiri sendiri dan tulisan ini dibuat pada saat memasuki hari ke 25 sehingga hanya menyoal keistimewaan tarawih ke 25 yaitu Allah SWT akan menghilangkan siksa kubur untuknya.

Amal ibadah sholat tarawih ke 25 juga terasa istimewa karena dilaksanakan di tempat yang istimewa yaitu di Masjid dalam komplek pondok pesantren legendaris yaitu Asrama Perguruan Islam Tegalrejo (API) atau sering disebut Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo Magelang yang pada saat ini diasuh oleh KH. Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), pondok pesantren ini telah melahirkan banyak alumni kampiun untuk mengisi peradaban bangsa Indonesia salah satu diantaranya adalah KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) Presiden ke 4 Republik Indonesia.

Menjemput keutamaan bulan Rhomadhan dengan menjalankan amal ibadah sholat tarawih mandiri dengan protokol kesehatan di Ponpes Salafi Tegalrejo Magelang, menyisipkan penggalan doa dan asa semoga dengan Ke Maha Murahan dan Ke Maha Kuasaan Allah SWT maka wabah Covid 19 dapat selekasnya terangkat dari bumi Nusantara khususnya dan belahan dunia pada umumnya sehingga setiap insan dapat kembali melakukan aktifitas normal dengan mampu menarik hikmah dari Pendemi ini sehingga bisa menjadi pemantik untuk melakukan perilaku yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Secuil tulisan ini ibarat buih dalam ombak yang tidak ada arti dan nilainya diantara gelombang dan riak dalam centang perentang dinamika haru biru Pendemi global, namun sekurang kurangnya adalah upaya untuk mengumpulkan oase yang terserak agar terhimpun dalam ikatan sebagai pelaku sejarah yang ikut menjalani masa masa Pendemi, demikian semoga kelak dapat terbaca oleh generasi berikutnya dengan dapat mengambil intisari hikmah karenanya.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ

اَللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلَ الْكِتَابِ الَّذِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَائَكَ

اَللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمِهِمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِيْ لاَ تَرُدُّهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِيْنَ**

Ya Allah, ampunilah kami, kaum mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat. Persatukanlah hati mereka. Perbaikilah hubungan di antara mereka dan menangkanlah mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka
Ya Allah, laknatlah orang-orang kafir ahli kitab yang senantiasa menghalangi jalan-Mu, mendustakan rasul-rasul-Mu, dan memerangi wali-wali-Mu
Ya Allah, cerai beraikanlah persatuan dan kesatuan mereka. Goyahkanlah langkah-langkah mereka, dan turunkanlah atas mereka siksa-Mu yang tidak akan Engkau jauhkan dari kaum yang berbuat jahat

اللَّهُمَّ افْتَحْ لَنَا أَبْوَابَ الخَيْرِ وَأَبْوَابَ البَرَكَةِ وَأَبْوَابَ النِّعْمَةِ وَأَبْوَابَ الرِّزْقِ وَأَبْوَابَ القُوَّةِ وَأَبْوَابَ الصِّحَّةِ وَأَبْوَابَ السَّلَامَةِ وَأَبْوَابَ العَافِيَةِ وَأَبْوَابَ الجَنَّةِ اللَّهُمَّ عَافِنَا مِنْ كُلِّ بَلَاءِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ وَاصْرِفْ عَنَّا بِحَقِّ القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَبِيِّكَ الكَرِيْمِ شَرَّ الدُّنْيَاوَعَذَابَ الآخِرَةِ،غَفَرَ اللهُ لَنَا وَلَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى المُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ*
Ya Allah, bukalah bagi kami pintu kebaikan, pintu keberkahan, pintu kenikmatan, pintu rezeki, pintu kekuatan, pintu kesehatan, pintu keselamatan, pintu afiyah, dan pintu surga. Ya Allah, jauhkan kami dari semua ujian dunia dan siksa akhirat. Palingkan kami dari keburukan dunia dan siksa akhirat dengan hak Al Quran yang agung dan derajat nabi-Mu yang pemurah. Semoga Allah mengampuni kami dan mereka. Wahai, zat yang maha pengasih. Maha suci Tuhanmu, Tuhan keagungan, dari segala yang mereka sifatkan. Semoga salam tercurah kepada para rasul. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam

Bismillahirrohmaanirrohiim
Ilaa hadlrotin nabiyyil mushthofaa saiyidinaa Muhammadin rosullillahi
shollallohu ‘alaihi wa salama wa azwaajihii, wa auladihii, wa
dzurriyyaatihii, wa ahli baitihii, wa ikhwanihii minal anbiyaai’, wal
mursaliina ‘alaihimush sholaatu wa salaamu wa aali kulli minhum
ajma’iina, wal malaaikatil muqorrobiina, Syaiulillahum
Al Fatihah

  • Tulisan singkat dibuat dengan harapan untuk menumbuhkan keyakinan jika Pendemi pasti berlalu
    ** Amalan doa Qunut Nazila
  • Amalan doa Tolak Bala’ berjamaah.

by Sofyan Mohammad

@ Penulis adalah adalah masyarakat terdampak Pendemi.

Khutbah Jumat: Enam Adab Berpuasa Menurut Imam al-Ghazali

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ
Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Beberapa hari lagi kita akan memasuki  bulan Ramadhan 1440 H. Pada bulan ini umat Islam di seluruh dunia diwajibkan berpuasa sebagaimana umat-umat sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanu wa’taála dalam surat Al-Baqarah ayat 183 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.”
Ibadah puasa tidak hanya memiliki ketentuan hukum yang menentukan sah tidaknya, tetapi juga memiliki adab tertentu yang berpengaruh terhadap pahala yang diterima oleh seseorang. Artinya adab berpuasa sangat penting untuk diperhatikan karena menentukan kualitas ibadah ini di hadapan Allah subhanu wa’taála sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 439), sebagai berikut: 
آدَابُ الصِّيَامِ: طَيِّبُ اْلغِذاَءِ، وَتَرْكُ اْلمِرَاءِ، وَمُجَانَبَةُ اْلغِيْبَةِ، وَرَفْضُ اْلكَذِبِ، وَتَرْكُ اْلآذَى ، وَصَوْنُ اْلجَوَارِحِ عَنِ اْلقَبَائِحِ
Artinya: “Adab berpuasa, yakni: mengonsumsi makanan yang baik, menghindari perselisihan, menjauhi ghibah (menggunjing orag lain), menolak dusta, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk.”
Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Keenam adab sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu berikut ini: 
Pertama, mengonsumsi makanan yang baik. Selama berpuasa, khususnya di bulan Ramadhan, makanan yang sebaiknya kita konsumsi adalah makanan yang baik atau halalan thayyiba. Makanan yang baik tidak identik dengan makanan yang lezat atau mahal, tetapi adalah makanan yang baik bagi kesehatan dan tentu saja juga halal secara syarí. Beberapa makanan dikenal sangat lezat seperti cumi-cumi, rempelo, hati,   otak dan sebagainya. Tetapi semua makanan  ini mengandung protein sangat tinggi yang dalam jangka pendek atau panjang bisa merugikan kesehatan khususnya bagi mereka yang telah mengidap kelesterol tinggi. 
Beberapa makanan yang baik kita konsumsi selama Ramadhan, disamping makanan pokok seperti nasi atau lainnya, adalah  kurma, madu, sayuran,  daging, ikan, dan lain sebagainya. Intinya adalah makanan yang secara kesehatan baik untuk dikonsumsi dan juga halal secara syarí. Syukur-syukur makanan itu ada tuntunannya di dalam agama baik berdasarkan Al-Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  seperti madu dan kurma sebagaimana telah disebutkan di atas. 
Kedua, menghindari perselisihan. Pertengkaran atau perselisihan bisa terjadi kapan saja. Tetapi orang-orang berpuasa sangat dianjurkan menjaga kesucian bulan Ramadhan dengan tidak melakukan pertengkaran. Untuk itu diperlukan kesadaran penuh untuk menahan diri dari emosi yang dapat menjurus pada pertengkaran. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah yang dirawayatkan oleh Bukhari berikut ini:
وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
Artinya: “Dan jika seseorang mengajak bertengkar atau mencela maka katakanlah, “ Sesungguhnya aku sedang berpuasa. (Ucapkan hal ini dua kali).” 
Jadi ungkapan “Aku sedang berpuasa” sebagaimana dimaksudkan dalam hadits di atas adalah untuk menyatakan ketidak sanggupan kita untuk berselisih atau bertengkar dengan pihak lain di bulan Ramadhan.  Intinya kita sangat dianjurkan untuk bisa menjaga perdamaian dan kerukunan bersama di saat kita sedang berpuasa.  
Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Ketiga,  menjauhi ghibah/menggunjing orang lain. Menggunjing orang lain di luar bulan Ramadhan saja tidak baik, apalagi selama puasa di bulan suci ini. Tentu dosanya lebih besar dan dapat menghilangkan pahala berpuasa itu sendiri. Oleh karena itu setiap orang yang berpuasa perlu menyadari hal ini sehingga bisa bersikap hati-hati dalam menjaga lisannya. 
Lisan memang merupakan salah satu organ manusia yang paling banyak mendatangkan dosa apabila kita tidak berhati-hati. Artinya banyak dosa yang diakibatkan ketidak mampuan kita menjaga lisan, seperti menggunjing, memfitnah dan sebagainya.  Semakin baik kita menjaga lisan, semakin banyak keselamatan kita dapatkan. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Al-Bukhari sebagai berikut:
سَلَامَةُ اْلِإنْسَانِ فِي حِفْظِ الِّلسَانِ
Artinya: “Keselamatan manusia bergantung pada kemampuannya menjaga lisan.” 
Keempat, menolak dusta. Menolak berkata dusta merupakan hal penting sebab sekali berdusta kita akan cenderung berdusta lagi untuk menutupi dusta sebelumnya. Di saat puasa,  kita harus mampu menghindari berkata dusta karena dusta dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala berpuasa. Juga, kita harus mampu menahan diri dari melakukan sumpah palsu sebab hal ini juga dapat merusak kualitas ibadah puasa kita. Tentu saja tidak hanya kualitas ibadah puasa kita menjadi menurun akibat dusta dan bersumpah palsu, tetapi juga kita akan mendapatkan dosa yang lebih besar. 
Hal tersebut sebagaimana disinggung Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh At-Thabrani sebagai berikut: 
فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ
Artinya: “Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan karena pada bulan ini, kebaikan dilipatkan sebagaimana dosa juga dilipat-gandakan.”
Jamaah Jumat hafidhakumullah,
Kelima, tidak menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara verbal  merupakan perbuatan tercela. Setiap perbuatan tercela berdampak langsung terhadap kualitas ibadah puasa kita. Ibadah puasa yang kita jalani dengan susah payah dengan menahan dahaga dan lapar dari pagi dini hari hingga saat maghrib,  akan sia-sia tanpa pahala apabila kita tidak mampu menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain merupakan kezaliman dan oleh karenanya merupakan kemaksiatan. 
Oleh karena itu, betapa pentingnya selalu mengingat bahwa di dalam bulan Ramadhan kita benar-benar harus dapat menjaga lisan agar tidak sekali-kali menggunakannya untuk menyakiti orang lain seperti memfitnah, menghina dan lain sebagainya.    
Keenam, menjaga anggota badan dari segala macam perbuatan buruk. Di bulan Ramadhan khususnya, hendaklah kita dapat menjaga tangan kita agar tidak kita gunakan untuk maksiat seperti memukul orang lain ataupun mencuri, dan sebagainya. Kaki juga harus kita jaga sebaik mungkin dengan tidak menggunakannya untuk pergi ke tempat-tempat tertentu untuk berbuat maksiat dan sebagainya. Demikian pula mata dan telinga kita hendaklah selalu kita jaga sebaik-baiknya agar tidak kita gunakan untuk melakukan perbuatan maksiat yang dosanya dilipatkan dalam bulan suci ini. 
Singkatnya, jangan sampai kita berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain haus dan dahaga saja karena banyak melanggar adab berpuasa sebagaiamana dikhawatirkan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut: 
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلاَّ اْلجُوْعُ وَاْلعَطَسُ
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan apa pun selain dari pada lapar dan dahaga.”
Jamaah Jumat hafidhakumullah
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mendapat rahmat dan pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala sehingga ibadah puasa tahun ini akan dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum dan adab berpuasa. Dengan cara ini insya Allah puasa kita akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan mendapatkan ampunan-Nya yang sebesar-besarnya. Amin ya rabbal alamin.  
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Ustadz Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. 

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/105594/khutbah-jumat-enam-adab-berpuasa-menurut-imam-al-ghazali

Keistimewaan Ramadhan

Khutbah I

إنَّ اَلْحَمْدَ لِلَّهِ  نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ. وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وِمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إَلَهَ إِلاَّ اللهُ إِلَهًا وَاحِدًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ اْلأَبْقَى. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى القرآن العظيم: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (أَمَّا بَعْدُ) فَياَ عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى وَخَابَ مَنْ طَغَى.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang memperkenankan kita semua diberikan berbagai macam kenikmatan sehingga insya Allah kita sama-sama memasuki bulan yang penuh keberkahan, bulan yang penuh kemuliaan, bulan yang penuh ampunan, yakni bulan suci Ramdhan.

Salawat dan salam marilah kita sanjungkan ke haribaan Nabi besar Muhammad SAW, Nabi pembawa kedamaian, Nabi yang penuh dengan kesantunan, Nabi yang mengajarkan agar kita dapat hidup saling berdampingan dengan rukun, akur, dan saling menghormati dengan seluruh umat manusia. Mudah-mudahan kita semua yang hadir di tempat yang mulia ini dapat meniru dan meneladani akhlak mulia beliau, baik dalam bertutur kata, bersikap, dan berkeyakinan sebagai umat Islam yang mampu memberikan kasih sayang antar sesama ciptaan Allah SWT. Amin ya rabbal alamin.

Sebagai salah satu rukun khutbah Jumat, khatib berwasiat terhadap diri khatib dan mengajak seluruh hadirin untuk senantiasa berusaha dengan semaksimal mungkin agar kita menjadi golongan yang muttaqin, orang-orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dan orang-orang yang kontributif bagi peradaban kemanusiaan.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Segala sesuatu, baik ruang dan waktu, itu memiliki keistimewaan. Dari seluruh tempat yang ada di permukaan bumi ini, ada wilayah yang istimewa, yakni Makkah Al-Mukarramah. Dari wilayah Makkah Al-Mukarramah, ada bagian tertentu yang sangat istimewa, yakni Masjidil Haram. Di Masjidil Haram ini, ada bagian tertentu yang paling istimewa lagi, yakni Ka’bah Al-Musyarrafah. Ka’bah inilah yang menjadikan Makkah Al-Mukarramah menjadi penting bagi kita semua. Di samping telah melahirkan berbagai peradaban kemanusiaan, Ka’bah menjadi kiblat ibadahnya umat Islam dari seluruh dunia. Sehingga Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram Makkah ini bernilai 100.000 kali lipat dibanding dengan shalat di tempat lainnya. Beliau bersabda:

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1.000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Demikian juga waktu, dari rangkaian 24 jam dalam sehari, ada waktu yang sangat istimewa, yakni pada sepertiga malam terakhir. Di saat itulah waktu istimewa dan mustajab bagi kita untuk memanjatkan doa-doa dan pinta kepada Allah SWT. Demikian juga, dari 12 bulan dalam setahun, ada bulan yang sangat istimewa, yakni bulan suci Ramadhan.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Lalu, mengapa bulan suci Ramadhan ini menjadi bulan yang paling istimewa?

Secara kebahasaan, terminologi “ramadhan” dalam bahasa Arab itu berasal dari kata dasar “ra-ma-dha“ yang berarti panas yang menyengat, panasnya batu, teriknya panas sinar matahari. Oleh karenanya, kata ramadhan itu berarti “membakar”. Hal ini sesuai dengan hakikat bulan Ramadhan, bahwa meskipun di siang hari yang begitu panas-menyengat kita tidak diperbolehkan untuk minum dan makan apa pun. Sebab, ramadhan pada dasarnya adalah “membakar” dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Seorang muslim yang berpuasa, menahan panas dan kelaparan maka haus dan panasnya berpuasa itu merupakan simbol untuk membakar dosa-dosa.

Bulan Ramadhan merupakan ruang waktu yang tepat untuk memaksimalkan diri kita menjadi orang yang benar-benar taqwa. Firman Allah menyatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْن

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Jika dilihat ayat ini, di antara tujuan disyariatkannya berpuasa adalah menjadikan diri kita sebagai orang yang taqwa. Apa itu taqwa? Taqwa sesungguhnya adalah suksesnya kita sebagai manusia, yang mampu menjalankan fungsi kehambaan kepada Allah dan pemimpin di alam raya. Sebagai hamba, manusia diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS al-Dzariyat [51]: 56)

Fungsi kehambaan (abid) relasinya adalah dirinya secara personal kepada Tuhannya. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan (khaliq) sehingga berkewajiban untuk berterima kasiih kepada-Nya. Ia harus patuh, tunduk, tanpa reserve terhadap apa pun yang diperintahkan oleh Tuhan. Siapa yang melanggar akan ketentuan itu dinyatakan sebagai orang yang mengingkari akan hakikat dirinya.

Dalam QS. al-Dzariyat [51]: 56 di atas secara tegas dikatakan bahwa manusia merupakan yang diciptakan (makhluq) sedangkan Tuhan sebagai yang menciptakan (khaliq). Keterciptaan manusia ini membuat keharusan bagi manusia untuk beribadah, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan diri kepada Tuhan ini dalam banyak hal tidak mengedepankan validitas secara rasional. Oleh karena itu, jika dinyatakan dalam bentuk garis maka fungsi kehambaan ini dapat digambarkan dengan garis vertikal, di mana posisi Tuhan berada di atas sedangkan manusia berada di bawah.

Patut digarisbawahi bahwa bentuk-bentuk kehambaan ini memiliki muatan dan fungsi-fungsi sosial yang perlu diimplementasikan secara sosial. Sebab, yang membutuhkan penyembahan manusia bukanlah Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Tuhan bukanlah Dzat yang memiliki kebutuhan, oleh karenanya Dia tidak bersifat kurang (naqish). Akan tetapi, justru manusialah yang membutuhkan akan makna sosial dari bentuk-bentuk kehambaan ini. Oleh karena itu, orang yang berhasil dalam beribadah adalah orang yang mampu memanivestasikan muatan dari praktek ibadah itu dalam ranah sosial.

Sebagai pemimpin di alam raya (khalifah fil ardl), manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT. untuk memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan sesama manusia dan dengan alam semesta. Firman Allah menyatakan:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah [2]: 30)

Sebagaimana makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang ada di muka bumi. Di samping itu, fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lainnya memiliki relasi yang sama besar dan sama kuat. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Oleh karena itu, secara historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka tugas kekhalifahan ini akan membentuk garis horizontal, ujung satu dengan yang lainnya adalah manusia yang memiliki relasi kesejajaran.

Dalam Islam, kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang. Tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan. Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial-kemanusiaan terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak diaktualisasikan. Dengan demikian, manusia yang bertaqwa adalah manusia yang mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi secara seimbang.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Banyak sekali sindiran Allah Swt. kepada orang yang hanya memenuhi salah satu tugas dengan mengabaikan tugas lainnya. Di dalam Islam, ritual ibadah selalu memiliki dua hal yang dilakukan secara integral: formalistik dan substansialistik. Tidak ada ibadah dalam Islam yang hanya dianjurkan secara aspek formalistik semata, demikian juga kebalikanya. Antara formalistik dan substansialistik harus dilakukan secara seimbang. Dalam kasus ibadah puasa, hadis Nabi menyatakan:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Orang yang melakukan ibadah puasa tidak akan mendapatkan balasan apa pun disebabkan dirinya tidak mampu membangun harmoni dalam kehidupan sosialnya. Pikiran, gerakan, lisan, dan anggota tubuh lainnya tidak terjaga dari perilaku destruktif. Meski berpuasa, jika lisan dan tidakannya tidak terkontrol maka tidak akan mendapatkan balasan apa pun. Oleh karenanya, orang yang berpuasa hendaknya lisannya juga terjaga dari umpatan-umpatan, caci maki dan ujaran kebencian, di berbagai kesempatan, terlebih dalam forum keagamaan. Jangan sampai ruang keagamaan yang bersifat sakral itu dikotori dengan ujaran kebencian yang justeru menghilangkan kesucian dalam beribadah. Orang yang berpuasa hendaknya mampu menunjukkan sikap kasih sayang terhadap sesama, menghargai dan menghormati kepada orang lain.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Alasan lainnya mengapa bulan Ramadhan menjadi istimewa adalah karena bulan Ramadan yang di dalamnya dilakukan ibadah puasa itu merupakan media efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam teori tasawuf dijelaskan bahwa manusia itu terdiri atas 2 (dua) unsur, yakni unsur nasut  (kemanusiaan) dan unsur lahut  (ketuhanan). Unsur lahut merupakan sifat-sifat yang baik (immaterial), seperti kesucian, keabadian, kedamaian, kebaikan, ikhlas, menghargai, empati, jujur, dan lain-lain. Sementara unsur nasut merupakan sifat-sifat materialistik-hedonistik yang melekat pada manusia, seperti sikap hidup hedonis, berorientasi pada materi, pamrih, permusuhan, adu-domba, ketegangan sosial, dan lain-lain. Ibadah puasa sesungguhnya mem-fana-kan unsur nasut, dan dalam waktu bersamaan mem-baqa-kan unsur lahut. Puasa itu menimalisasi bahkan menghilangkan sikap hedonistik-materialistik, adu domba, caci maki, ujaran kebencian dan lan-lain dan dalam waktu bersamaan mengaktifkan oreintasi yang bersifat keabadian, kebaikan, kedamaian, kejujuran, kelemahlembutan, empati, menghargai orang lain, dan lain-lain. Jika sifat-sifat Tuhan atau unsur-unsur lahut yang terbiasa di dalam diri kita maka potensi kita untuk semakin dekat dengan Allah SWT semakin tinggi. Oleh karenanya, kita bisa memahami mengapa kemudian Rasulullah SAW menyampaikan hadits Qudsi sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang menyatakan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”

Inilah kandungan yang luar biasa di dalam ritualitas ibadah puasa.

Sidang Jumat yang berbahagia,

Dengan memahami hakikat dan kandungan yang luar biasa dari ibadah puasa itu, maka sudah sewajarnya Allah SWT menempatkan bulan ramadhan sebagai bulan yang sangat istimewa. Bahkan, karena keistimewaanya itu, Allah SWT memberikan reward bagi kita yang mau mengisinya dengan kebaikan-kebaikan. Di bulan Ramadan-lah pintu-pintu ampunan dan kasih sayang Allah terbuka lebar. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Di siang hari, diwajibkan berpuasa, sementara di malam harinya disunnahkan untuk memperbanyak shalat malam. Di bulan ini, melakukan satu kewajiban itu berpahala seperti menjalankan 70 kewajiban di bulan lainnya. Atas besarnya keagungan Ramadhan ini, Nabi menyampaikan, “Seandainya semua manusia mengetahui besarnya rahmat yang diturunkan di bulan Ramadan, pasti mereka mengusulkan agar setahun penuh berisi Ramadan.”
Demikianlah, uraian singkat khutbah Jumat ini. Semoga ada manfaatnya. Mudah-mudahan kita semua diberikan kesehatan dan umur yang panjang sehingga kita dapat menyambut kedatangan Ramadhan dan mengisinya dengan berbagai amal kebaikan, sehingga kita benar-benar menjadi orang yang muttaqin, sukses menjalin hubungan dengan Allah SWT di samping dengan sesama umat manusia, serta mampu mendekatkan diri dengan Allah SWT dengan sebaik-baiknya.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ, وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ  الَّذِيْ أَمَرَنَا بِاْلاِتِّحَادِ وَاْلاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ اْلمَتِيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إَلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, إِيَّاهُ نَعْبُدُ وَإِيَّاهُ نَسْتَعِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. (أَمَّا بَعْدُ)
 فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحاَنَهُ وَتَعَالىَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وِثَنَّى بِمَلاَئِكَتِهِ الْمُسَبَّحَةِ بِقُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَأًصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ جَمِيْعَ وُلاَةِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ اْلكَفَرَةَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ, وَانْصُرِ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ, وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِماَتِ, وَاْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ, اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ اْلحَاجَاتِ. رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِاْلحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ اْلفَاتِحِيْنَ. رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهىَ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

Suwendi, Pendiri Pondok Pesantren Nahdlah Bahriyah Cantigi Indramayu

Sumber http://www.nu.or.id/post/read/78019/keistimewaan-ramadhan

Khutbah Jumat: Hikmah dan Berkah Bulan Ramadhan

Khutbah I

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْاَلْحَمْدُ ِللهِ جَعَلَ رَمَضَانَ شَهْرًا مُبَارَكًا، وَفَرَضَ عَلَيْنَا الصِّيَامَ لِأَجْلِ التَّقْوٰى. أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُفَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى. فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِيَاۤأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءٰمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Ma`âsyiral Muslimîn jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh
Pada kesempatan yang mulia ini marilah kita tingkatkan kualitas takwa kita, di antaranya dengan berusaha melaksanakan ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya. 
Kita saat ini berada di bulan suci Ramadhan, yaitu  bulan yang diberkahi. Terutama karena di bulan Ramadhan ini ada peristiwa agung, yaitu Nuzul al-Qur’an (turunnya kitab suci al-Qur’an). Al-Qur’an ini berfungsi sebagai nûr (cahaya), hudan (petunjuk), dan rahmat bagi manusia. 
Telah maklum bahwa Ramadhan adalah bulan keberkahan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ، يَقُوْلُ : ” قَدْ جَاۤءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ النَّارِ، فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَها فَقَدْ حُرِمَ ” )وَهٰذَا لَفْظُ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ، أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ، عَنْ بِشْرِ بْنِ هِلَالٍ( ـ
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah s.a.w. memberikan kabar gembira kepada para sahabat beliau. Beliau bersabda: telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, yaitu bulan yang diberkahi, Allah telah memfardhukan (mewajibkan) atas kalian berpuasa di bulan itu, di bulan itu dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan di bulan itu pula ada Lailatul Qadar (Malam Qadar) yang lebih baik dari seribu bulan”, Siapa saja yang terhalang dari kebaikan malam itu maka ia terhalang dari rahmah Tuhan (HR. al-Nasa’i).
Oleh karena itu, sesungguhnya kita diajarkan oleh Nabi Muhammad agar menyambut bulan Ramadhan ini dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya sejak jauh-jauh hari, dari bulan Rajab. Sejak bulan Rajab kita diajarkan untuk memohon keberkahan hidup di bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, kita diajarkan agar berdoa:
اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْ رَمَضَانَ
”Wahai Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan berkahilah pula kami di bulan Ramadhan.” 
Mengapa kita diajarkan untuk memohon keberkahan? Apakah keberkahan penting bagi kita? Ini karena keberkahan hidup menjadi dambaan setiap orang yang berakal sehat. Berkah berarti bertambah. Dalam makna luas berkah berarti bertambah kebaikan (ziyâdat al-khair fî al-syai’), termasuk kesejahteraan baik dari segi material maupun immaterial.
Berkah dalam arti materi, seperti harta benda yang kita miliki makin bertambah, dan usaha semakin maju. Berkah dalam arti immateri, seperti ketenteraman hati kita makin terasa, dan pengetahuan dan wawasan yang semakin bertambah luas, yang mengarahkan kepada sikap dan perbuatan yang penuh hikmah kebijaksanaan, sikap dan perbuatan yang moderat, tidak ekstrem, sikap dan perbuatan yang mencerminkan rahmatan lil ‘alamin
Ma’asyiral Muslimin yang semoga dimuliakan Allah,
Di antara hikmah bulan Ramadhan adalah ada pengabulan doa bagi orang yang berdoa; ada penerimaan tobat orang yang bertobat, dan ada pengampunan bagi orang yang mohon ampunan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi yang panjang, yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas radhiyallau ‘anhuma, di dalam bagian hadits ini disebutkan:
يَقُوْلُ اللهُ – عَزَّ وَجَلَّ – فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ : هَلْ مِنْ سَاۤئِلٍ فَأُعْطِيَهُ سُؤَلْهُ ؟ هَلْ مِنْ تَاۤئِبٍ فَأَتُوْبَ عَلَيْهِ ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟
“Dalam setiap malam bulan Ramadhan Allah ‘azza wa jalla berseru sebanyak tiga kali: Adakah orang yang meminta maka aku penuhi permintaannya? Adakah orang yang bertobat maka aku terima tobatnya? Dan adakah orang yang memohon ampunan maka aku ampuni dia?” (HR. Al-Thabrâni dan al-Baihaqî). 
Jamaah shalat Jumat yang semoga dimuliakan Allah,
Pada bulan Ramadhan kita diwajibkan berpuasa, yang tujuan utamanya adalah untuk menjadikan kita orang-orang yang bertakwa. Sejarah kewajiban puasa Ramadhan ini ditetapkan pada bulan Sya’ban Tahun Kedua Hijriyah, yang mengandung banyak hikmahnya. 
Di antara hikmah berpuasa Ramadhan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita selama ini. Karena makna ibadah secara mutlak, termasuk ibadah puasa, adalah ungkapan syukur dari seorang hamba kepada Tuhannya atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa kita tidak akan dapat menghitung nikmat Tuhan (QS. Ibrâhim [14]: 34).
Dalam puasa Ramadhan setidaknya ada 3 faedah (manfaat), yaitu fâ’idah rûhiyyah (manfaat psikologis/spiritual/kejiwaan), fâ’idah ijtimâ’iyyah (manfaat sosial-kemasyarakatan) dan fâ’idah shihhiyyah (manfaat kesehatan).
Di antara faedah kejiwaan dari berpuasa Ramadhan adalah pembiasaan diri kita agar berlaku sabar, ajaran agar kita mengekang hawa nafsu, dan ekspresi atau ungkapan mengenai karakteristik takwa yang tertanam dalam hati. Takwa itulah yang menjadi tujuan khusus dalam berpuasa Ramadhan.  
Di antara faedah sosial-kemasyakatan dalam puasa Ramadhan ini adalah pembiasaan kita, umat Islam, untuk tertib, disiplin dan bersatu padu, cinta keadilan dan kesetaraan di antara umat Islam: antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pejabat dan rakyat, antara pengusaha dan karyawan, dan seterusnya. Tidak ada perbedaan di antara mereka, semuanya wajib berpuasa ketika telah memenuhi persyaratannya. Juga di antara faedah sosial dari puasa adalah pembentukan rasa kasih sayang dan berbuat baik di antara kaum Muslim, sebagaimana puasa Ramadhan ini melindungi masyarakat dari keburukan-keburukan dan kemafsadatan.
Adapun di antara manfaat kesehatan dari berpuasa Ramadhan adalah berpuasa itu membersihkan usus-usus dan pencernaan, memperbaiki perut yang terus-menerus beraktifitas, membersihkan badan dari lendir-lendir/lemak-lemak, kolesterol yang menjadi sumber penyakit, dan puasa dapat menjadi sarana diet atau pelangsing badan. 
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Oleh karena itu, marilah Bulan Ramadhan ini, kita jadikan bulan kesederhanaan, bulan peribadatan, bulan memperbanyak berbuat kebajikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bulan perlindungan badan kita, ucapan kita dan hati kita dari hal-hal yang dilarang agama, seperti perkataan keji (qaul az-zûr), ghibah, menebar hoaks, fitnah, hate speech (ujaran kebencian), dan adu domba, baik secara langsung maupun melalui media-media digital, media elektronik, televisi, radio, internet, dan media sosial (medsos). Intinya marilah kita jadikan bulan Ramadhan ini bulan penyucian badan dan rohani kita dari segala keburukan, agar kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan hidup.
Saudara-saudara jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah,
Sebagai penutup khutbah pertama ini marilah kita renungkan firman Allah Ta’ala dalam QS. al-A’raf (7): ayat 96:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِوَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٓ ءٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. 
Semoga kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan di bulan Ramadhan ini. Amîn yâ rabbal ‘âlamîn
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ بِاْلُقْرءَانِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهٗ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Ustadz Ahmad Ali MD, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/105862/khutbah-jumat-hikmah-dan-berkah-bulan-ramadhan

Bagaimana Status Puasa Orang yang Hampir Muntah?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Suatu saat ada kalangan kita merasa mual sehingga kadang kita merasa ada sesuatu yang bergerak naik keluar dari perut kita. Tetapi gerakan itu kemudian berhenti dan turun kembali. Pertanyaan saya, bagaimana dengan puasa orang yang hampir muntah seperti itu? Sedangkan kita tahu bahwa muntah dapat membatalkan puasa. Terima kasih. (Siti Qamariyah /Magetan).
JawabanPenanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Muntah secara sengaja dapat membatalkan puasa. Sedangkan orang yang tiba-tiba mual lalu muntah, maka puasanya tidak batal. Hal ini secara lugas disebutkan di dalam hadits berikut ini:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
Artinya, “Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa). Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa),” HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i.
Dari sini para ulama menarik simpulan bahwa orang yang terlanjur muntah saat berpuasa dapat meneruskan puasanya karena muntahnya tidak membatalkan puasanya.
من غلبه القيء وهو صائم فلا يفطر، قال الأئمة لا يفطر الصائم بغلبة القيء مهما كان قدره
Artinya, “Siapa saja yang (tak sengaja) muntah saat berpuasa, maka puasanya tidak batal. Para imam mazhab berpendapat bahwa orang yang berpuasa tidak menjadi berbuka (batal puasa) karena muntah berapapun kadarnya,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 305-306).
Adapun insiden seseorang yang merasa mual, lalu sesuatu bergerak naik dari dalam perutnya, dan hampir muntah, perlu dilihat terlebih dahulu. Karena di sini juga para ulama berbeda pendapat perihal status puasanya.
قال الجمهور إذا رجع شيء إلى حلقه بعد إمكان طرحه فإنه يفطر وعليه القضاء، والصحيح عند الحنفية إن عاد إلى حلقه بنفسه لا يفطر وذهب أبو يوسف إلى فساد الصوم بعوده كإعادته إن كان ملء الفم
Artinya, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika muntahan bergerak turun kembali ke tenggorokan seseorang padahal ia sebenarnya bisa memuntahkannya, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadhanya. Tetapi yang benar menurut Mazhab Hanafi, jika muntahan bergerak kembali ke tenggorokan seseorang dengan sendirinya, maka puasanya tidak batal. Abu Yusuf berpendapat bahwa puasa menjadi batal sebab muntahan kembali bergerak masuk (ke dalam perut) sebagaimana kembalinya muntahan sepenuh mulut,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 306).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bergerak naik dari dalam perut tetapi tidak sempat keluar karena berhenti sampai di pangkal tenggorokan tidak membuat batal puasa seseorang.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/105147/bagaimana-status-puasa-orang-yang-hampir-muntah

(Alhafiz Kurniawan)

Bagaimana Jika Junub hingga Pagi karena Tertidur, Apakah Puasanya Bisa Dilanjutkan?

Assalamu alaikum wr. wb.
Bagaimana jika dalam kondisi junub atau berhadats besar, terus tertidur hingga pagi tanpa sempat sahur dan mandi junub? Pakah puasanya bisa dilanjutkan? Mohon penjelasannya. Wassalamu alaikum wr. wb. (Hamba Allah/Jakarta)
JawabanPenanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Puasa merupakan ibadah yang menuntut seseorang untuk menahan diri dari syahwat makanan-minuman dan syahwat kelamin selama waktu puasa, dari terbit fajar sampai matahari terbenam. Dengan dmeikian, selama waktu puasa seseorang dilarang untuk melakukan aktivitas makan, minum, dan aktivitas seksual dalam pengertian hubungan badan.
Lalu bagaimana jika seseorang memiliki hadats besar atau dalam kondisi junub/janabah di malam yang mengharuskannya mandi junub, lalu tertidur hingga pagi yang menjadi bagian dari waktu ibadah puasa?
Kami pada kesempatan ini merujuk pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Riwayat keduanya menceritakan pengalaman Rasulullah SAW yang masih dalam kondisi junub di pagi hari puasa sebagaimana keterangan istrinya.
عن عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما “أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ ويَصُومُ” متفق عليه وزاد مسلم في حديث أم سلمة “وَلَا يَقْضِي
Artinya, “Dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA, Nabi Muhammad SAW pernah berpagi hari dalam kondisi junub karena jimak, kemudian beliau mandi, dan terus berpuasa,” (HR Muttafaq Alaih.) Imam Muslim dalam riwayat dari Ummu Salamah RA menyebutkan, “Rasulullah SAW tidak mengaqadha.”
Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menerangkan, redaksi “Rasulullah SAW tidak mengaqadha” mengisyaratkan bahwa puasa yang dijalani oleh Rasulullah SAW di hari tersebut tidak berkekurangan sesuatu apapun.
ولا يقضي أ ي صوم ذلك اليوم لأنه صوم صحيح لا خلل فيه
Artinya, “’ Rasulullah SAW tidak mengaqadha’ maksudnya adalah tidak mengqadha puasa hari tersebut di bulan lainnya karena puasanya hari itu tetap sah tanpa cacat sedikitpun di dalamnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 312).
Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menjelaskan, dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa orang yang berhadats besar boleh menunda mandi junub hingga pagi hari.
جواز تأخير الغسل من الجنابة للصائم إلى ما بعد طلوع الفجر والأفضل التعجيل بالغسل قبل الفجر
Artinya, “Orang yang berpuasa boleh menunda mandi junub hingga waktu setelah fajar terbit. Tetapi yang lebih utama adalah ia menyegerakan mandi wajib sebelum terbit fajar atau sebelum Subuh,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 313).
Dari penjelasan singkat ini, kita dapat menarik simpulan bahwa orang dalam keadaan janabah yang tertidur hingga pagi hari sehingga lupa mandi junub harus terus melanjutkan ibadah puasanya. Ia cukup mandi junub lalu berpuasa hingga matahari tenggelam. Puasanya terbilang sah tanpa perlu mengqadhanya.
Islam membolehkan orang yang junub untuk menunda mandi wajibnya di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Tetapi kami menyarankan orang yang junub sebaiknya segera melakukan mandi wajib agar ia menjalani ibadah puasa seharian dalam keadaan suci dari hadats besar.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,Wassalamu ’alaikum wr. wb. Sumberhttps://www.nu.or.id/post/read/106016/bagaimana-jika-junub-hingga-pagi-karena-tertidur-apakah-puasanya-bisa-dilanjutkan

(Alhafiz Kurniawan)

Hukum Jual Beli Produk KW

Assalamu alaikum.
Saya mau tanya. Apakah boleh kita menjual barang kw “kawe” (baju, jaket dan lain-lain). Barang kw yang saya maksud adalah meniru merknya saja, dari segi kualitas bahan, sablon, design mungkin sangat berbeda dengan yang original, hanya saja barangnya ber-merk sama, rata-rata merk yang digunakan dari luar negeri seperti dari New York, Rusia dan lain-lain, seperti baju distroan/toko-toko pada umumnya.
Kualitas barang yang saya jual termasuk bagus, karena menggunakan bahan pilihan. Saya juga menjelaskan bahwa barang yang saya jual itu premium (kw dengan kualitas super), baik ketika ada pembeli yang bertanya ataupun di deskripsi produk saya.
Soalnya mencari yang asli susah sekali, yang asli harganya juga selangit dan susah tersentuh oleh konsumen. Bagaimana hukum jual beli barang kw? Mengingat semua barang sekarang ada kw dan tidaknya, susah sekali untuk mencari ide untuk berdagang karena hampir semua barang itu kw, hanya beberapa persennya asli, dan itu sangat sulit sekali dicari. Terima kasih. (Achmad Ashrofi)
Jawaban Wa’alaikumussalam wr.wb. Saudara penanya dan pembaca yang budiman, semoga mendapatkan pemahaman agama yang baik, serta usaha yang lancar dan berkah.
Jual beli produk kw yang telah memenuhi syarat dan rukunnya adalah sah, tetapi haram dan berdosa, karena dharar, yakni dapat menimbulkan kerugian pihak lain, dalam hal ini penjual dan/atau produsen produk originalnya. Hal ini karena tidak ada izin atau toleransi dari produsen dan/atau penjual produk original tersebut. Jual beli produk kw demikian termasuk ke dalam jenis jual beli yang dilarang oleh syara’.
Jual beli yang dilarang oleh syara’ secara garis besar ada dua macam. Pertama, jual beli yang dilarang syara’ karena sebab internal (entitas/’ain), yaitu ada larangan syara’ terhadap jual beli tersebut. Kedua, jual beli yang dilarang syara’ karena sebab eksternal (di luar entitas).
Jual beli yang ada larangan internal, seperti riba dan jual beli yang mengandung gharar, merupakan jenis jual beli yang fâsid, yakni rusak atau tidak sah (batal). Adapun jual beli yang ada larangan sebab eksternal, seperti menimbulkan dharar (kerugian) terhadap orang/pihak lain, merupakan jenis jual beli yang tidak fâsid (tidak rusak), artinya tetap sah bila telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi hukumnya haram.
Ibnur Rusyd (520-595 H) dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid mengatakan bahwa:
وأما التي ورد النهي فيها لأسباب من خارج; فمنها الغش; ومنها الضرر; …
والجمهور على أن النهي إذا ورد لمعنى في المنهي عنه أنه يتضمن الفساد مثل النهي عن الربا والغرر، وإذا ورد الأمر من خارج لم يتضمن الفساد
Artinya, “Adapun jual beli yang ada larangan syara’ terhadapnya karena sebab-sebab dari luar (sebab eksternal) maka termasuk dalam jenis jual beli ini adalah jual beli yang mengandung manipulasi, pemalsuan atau tipu daya ghasysy), dan jual beli yang mengandung dharar, yakni merugikan terhadap diri sendiri atau orang/pihak lain… Jumhur ulama menyatakan bahwa larangan terhadap jual beli bila merupakan larangan karena substansi atau entitas obyek (barang) yang dilarang itu sendiri maka berakibat hukum fasad, yakni rusak atau tidak sahnya jual beli (batal), seperti larangan riba dan jual beli obyek gharar (ketidakjelasan, seperti jual beli ikan di dalam lautan –pen); tetapi bila larangan itu karena ada sebab dari luar (aspek eksternal), maka jual beli tersebut tidak berakibat hukum rusaknya jual beli. (Lihat Al-Imâm Al-Qâdhî Abû Walîd Muhammad Ibnur Rusyd ,Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid [Beirut, Dârul Ma‘rifah: 1982 M], juz II, halaman 125, dan 167).
Jual beli fâsid misalnya, jual beli najasy, yaitu seseorang melakukan penawaran harga yang lebih tinggi terhadap suatu barang, padahal tidak bermaksud untuk membelinya, tetapi untuk aspek memberikan manfaat (keuntungan) bagi si penjual dan mengakibatkan kerugian si pembeli. Jual beli ini, menurut mazhab Hanafiyah dan Syafiiyah hukumnya boleh (sah), tetapi pelakunya berdosa.
Kaidah yang berkaitan dengan masalah jual beli barang kw adalah kaidah yang dikemukakan oleh kelompok Hanbali dan para fuqaha yang menyatakan bahwa:
اَلْأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهَا مِنْ شُرُوْطٍ اَلْإبِاَحَةُ مَا لَمْ يَمْنَعْهَا الشَّرْعُ أَوْ تُخَالِفْ نُصُوْصَ الشَّرْعِ.
Artinya, ”Prinsip dasar di dalam akad dan segala hal yang berhubungan dengannya, termasuk syarat, adalah boleh selama tidak dilarang oleh syara’ atau bertentangan dengan nash-nash syara,’” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islâmî wa Adillatuhu, [Beirut, Dârul Fikr: 2009 M], juz IX, halaman 194).
Dengan demikian, jual beli barang kw termasuk ke dalam jual beli yang bertentangan dengan nash-nash syara’, dalam hal ini nash mengenai larangan berbuat dharar (madharat, merugikan), terhadap diri sendiri dan/atau orang/pihak lain. Maka jual beli produk kw sedapat mungkin harus dihindarkan.
Untuk itu kami sarankan kepada setiap orang yang berbisnis agar bisa kreatif dan inovatif dalam membuat produk dan brand tersendiri.
Demikian penjelasan ini semoga dapat dipahami dengan baik. Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariqWassalamu ’alaikum wr.wb.

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/106098/hukum-jual-beli-produk-kw

(Ustadz Ahmad Ali MD, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU)

Tradisi Megengan atau Tradisi Penyambutan Ramadhan dalam Islam

Assalamu alaikum wr. wb. Sebelum masuk bulan Ramadhan masyarakat biasa mengadakan upacara kirim arwah dengan bacaan tahlil dan Surat Yasin? Orang Aceh menyebutnya meugang. Sementara orang Jawa menyebutnya megeng. Upacara ini diadakan dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Bagaimana Islam memandang tradisi ini? Mohon penjelasannya. Wassalamu alaikum wr. wb. (Sofyan/Jakarta).
Jawaban Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Tradisi meugangan atau megengan berkembang juga di masyarakat Melayu selain di Aceh dan di Jawa. Dalam menyambut bulan suci Ramadhan, mereka biasanya berkumpul bersama keluarga, makan bersama, dan membaca zikir dan tahlil untuk arwah keluarga mereka yang telah wafat.
Selain itu, masyarakat juga melakukan ziarah kubur dan menggelar sedekah massal di masjid atau mushalla. Ada juga masyarakat yang melakukan kunjungan silaturahmi. Semuanya ini dilakukan dalam rangka menyambut gembira bulan suci Ramadhan.
Bagaimana Islam memandang hal seperti ini?
Riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i mengabarkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW juga mengekspresikan kegembiraannya kepada para sahabat perihal kedatangan bulan suci Ramadhan sebagaimana dikutip berikut ini:
وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ كَمَا أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَفْظُهُ لَهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ بِقَوْلِ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ
Artinya, “Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para sahabat atas kedatangan bulan Ramadhan sebagaimana riwayat Imam Ahmad dan An-Nasai dari Abu Hurairah RA. Ia menceritakan bahwa Rasulullah memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadhan dengan sabdanya, ‘Bulan Ramadhan telah mendatangi kalian, sebuah bulan penuh berkah di mana kalian diwajibkan berpuasa di dalamnya, sebuah bulan di mana pintu langit dibuka, pintu neraka Jahim ditutup, setan-setan diikat, dan sebuah bulan di mana di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak,’” (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman 222).
Bagi sebagian ulama, hadits ini menjadi dasar hukum bagi masyarakat yang mengekspresikan kegembiraan perihal kedatangan bulan suci Ramadhan. Hadits ini membuktikan bahwa satu sama lain boleh bergembira atas kedatangan bulan Ramadhan dan mereka dapat memberikan kabar gembira kepada yang lain.
قال بعض العلماء هذا الحديث أصل في تهنئة الناس بعضهم بعضا بشهر رمضان
Artinya, “Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menjadi dasar atas praktik penyambutan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atas kedatangan bulan Ramadhan,” (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman 223).
Adapun Al-Qamuli mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal hukum ucapan selamat atas hari Id, pergantian tahun, dan pergantian bulan yang diamalkan masyarakat. Tetapi yang jelas sejauh tradisi itu hanya berisi ucapan selamat datang atas bulan yang mulia tidak termasuk kategori sunnah atau bid’ah.
قال قمولي في الجواهر لم أر لأحد من أصحابنا كلاما في التهنئة بالعيد والأعوام والأشهر كما يفعله الناس لكن نقله الحافظ المنذري عن الحافظ أبي الحسن المقدسي أن الناس لم يزالوا مختلفين فيه والذي أراه أنه مباح لا سنة ولا بدعة انتهى
Artinya, “Al-Qamuli dalam Kitab Al-Jawahir mengatakan, ‘Saya tidak melihat pendapat para ulama kita perihal  tahniah atau penyambutan gembira atas Hari Id, pergantian tahun, atau bulan sebagaimana dilakukan oleh banyak orang. Tetapi Al-Hafiz Al-Mundziri mengutipnya dari Al-Hafiz Abul Hasan Al-Maqdisi, ‘Orang-orang selalu berbeda pendapat perihal ini. Sedangkan pendapatku adalah bahwa hal itu mubah, bukan sunnah, bukan bid’ah.’ Selesai,’” (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman 223).
Sementara pada hemat kami, praktik meugengan atau megengan di Aceh, Jawa, Melayu, dan pelbagai belahan Nusantara lainnya memuat hal-hal yang baik, yaitu zikir, tahlil, silaturahmi, makan bersama keluarga, ziarah kubur, dan sedekah yang semuanya secara umum memang dianjurkan kapan saja oleh agama Islam.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/106168/tradisi-megengan-atau-tradisi-penyambutan-ramadhan-dalam-islam

(Alhafiz Kurniawan

Bagaimana Sikap Golput dalam Pandangan Islam?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, ada kalangan kita merasa mual sehingga kadang kita merasa ada sesuatu yang bergerak naik keluar dari perut kita. Tetapi gerakan itu kemudian berhenti dan turun kembali. Pertanyaan saya, bagaimana dengan puasa orang yang hampir muntah seperti itu? Sedangkan kita tahu bahwa muntah dapat membatalkan puasa. Terima kasih. (Siti Qamariyah /Magetan).
JawabanPenanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Muntah secara sengaja dapat membatalkan puasa. Sedangkan orang yang tiba-tiba mual lalu muntah, maka puasanya tidak batal. Hal ini secara lugas disebutkan di dalam hadits berikut ini:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
Artinya, “Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa). Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa),” HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i.
Dari sini para ulama menarik simpulan bahwa orang yang terlanjur muntah saat berpuasa dapat meneruskan puasanya karena muntahnya tidak membatalkan puasanya.
من غلبه القيء وهو صائم فلا يفطر، قال الأئمة لا يفطر الصائم بغلبة القيء مهما كان قدره
Artinya, “Siapa saja yang (tak sengaja) muntah saat berpuasa, maka puasanya tidak batal. Para imam mazhab berpendapat bahwa orang yang berpuasa tidak menjadi berbuka (batal puasa) karena muntah berapapun kadarnya,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 305-306).
Adapun insiden seseorang yang merasa mual, lalu sesuatu bergerak naik dari dalam perutnya, dan hampir muntah, perlu dilihat terlebih dahulu. Karena di sini juga para ulama berbeda pendapat perihal status puasanya.
قال الجمهور إذا رجع شيء إلى حلقه بعد إمكان طرحه فإنه يفطر وعليه القضاء، والصحيح عند الحنفية إن عاد إلى حلقه بنفسه لا يفطر وذهب أبو يوسف إلى فساد الصوم بعوده كإعادته إن كان ملء الفم
Artinya, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa, jika muntahan bergerak turun kembali ke tenggorokan seseorang padahal ia sebenarnya bisa memuntahkannya, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadhanya. Tetapi yang benar menurut Mazhab Hanafi, jika muntahan bergerak kembali ke tenggorokan seseorang dengan sendirinya, maka puasanya tidak batal. Abu Yusuf berpendapat bahwa puasa menjadi batal sebab muntahan kembali bergerak masuk (ke dalam perut) sebagaimana kembalinya muntahan sepenuh mulut,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 306).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bergerak naik dari dalam perut tetapi tidak sempat keluar karena berhenti sampai di pangkal tenggorokan tidak membuat batal puasa seseorang.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/104904/bagaimana-sikap-golput-dalam-pandangan-islam

(Alhafiz Kurniawan)

Misteri Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid Sunan Ampel Yang Meninggal 9 Kali

Masjid Ampel mempunyai cerita tersendiri dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Masjid peninggalan Sunan Ampel yang terletak di Surabaya ini menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam dan merupakan salah satu Masjid tertua di Indonesia.

Banyak cerita unik di seputar masjib Ampel ini, Mbah Bolong yang bisa melihat ka’bah hanya melalui lubang yang dia buat di pemgimaman masjid tersebut. Dan salah satu yang paling terkenal adalah cerita Mbah Sholeh, tukang sapu masjid yang meninggal 9 kali. 9 makam yang terletak di samping Masjid Ampel pun kesemuanya merupakan makam Mbah Sholeh.

Dilansir dari hello-pet.com, Mbah soleh ini dulunya adalah seorang santri Sunan Ampel yang paling rajin. Sifat rajinnya ini ditunjukkan dengan selalu membersihkan masjid setiap waktu. Mbah Sholeh memang sangat terkenal sebagai sosok yang biasa menjaga kebersihan. Hal itu banyak diakui teman sesama santri dan juga Sunan Ampel, gurunya sendiri. Bisa dikatakan Mbah Sholeh ini adalah tukang sapu masjid Ampel ini.

Hingga akhirnya Mbah Sholeh meninggal dan kemudian beliau dimakamkan di samping masjid. Setelah meninggalnya Mbah Sholeh, masjid jadi kurang terurus dan agak kotor, karena tidak ada sosok santri yang bisa serajin Mbah Sholeh. Sampai pada suatu malam Sunan Ampel teringat kepada sosok Mbah Sholeh

“Kalau Mbah Sholeh masih ada, masjid pasti bersih,”

Tiba tiba tidak lama muncul sosok serupa Mbah Sholeh dan menjalankan rutinitas yang tiap hari dilakukan Mbah Sholeh. Dan masjid milik Sunan Ampel kembali terawat dan bersih. Tapi tidak lama sosok serupa Mbah Sholeh ini meninggal dan dimakamkan di samping Mbah Sholeh sebelumnya. Dan terulang lagi dan lagi hingga sembilan kali.

Peristiwa tersebut terulang hingga sembilan kali. Menurut cerita, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel wafat. Setiap meninggal, Mbah Sholeh selalu dimakamkan di samping makam yang sebelumnya. Karena meninggal hingga 9 kali, maka makamnya yang ada di samping Masjid Ampel pun ada 9. Sumber https://www.kompasiana.com/yokowidito/55c2242961afbd5309c9cbf7/misteri-mbah-sholeh-tukang-sapu-masjid-sunan-ampel-yang-meninggal-9-kali