Tag Archives: Tradisi

Maulid Barzanji, Mengapa Mentradisi di Indonesia?

Tulisan karya Zacky Khairul Umam, Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI). Pertama kali diunggah di website pribadinya, dimuat ulang di website Lakpesdam Salatiga atas seizin penulis.

Siapa yang waktu kecil hingga remaja sering membaca Maulid al-Barzanji? Jika anda lahir dan besar di kampung-kampung pulau Jawa, kemungkinan besar anda akrab dengan Barzanjian, tradisi pembacaan kisah kenabian. Teks ini bukan hanya dibaca di bulan Maulid (Muludan), tetapi juga sepanjang tahun, biasanya di kampung saya di Brebes dibaca tiap hari Senin terutama oleh ibu-ibu, atau Jumat oleh remaja puteri. Kaum lelaki, terutama para bapak, membacanya secara maraton tiap hari selama bulan tersebut.

Teks Barzanji sangat khusus terutama bagi kita yang dikisahkan cerita Nabi sejak belia. Meskipun, kita tidak tahu dulu artinya apa. Bahkan hingga kini pun, jika saya harus baca lagi teks ini, ada kata-kata bahasa Arab yang aneh dan saya harus membuka kamus. Pokoknya, teks ini sakral, dalam pengertian mencari berkah dari pengisahan Nabi yang sempurna. Pertanyaan saya adalah: mengapa teks ini begitu terkenal di kampung-kampung Jawa? Siapakah yang melanggengkan tradisi ini? Besar kemungkinan para kiai dan nyai di pesantren-pesantren di Jawa menjadikannya sebagai ruang untuk membangun religiusitas.

Teks Barzanji

Jika kita mengetahui teks bacaan lain, semisalBurdah dan Diba’an (yakni Maulid al-diba’i), menurut dugaan saya ini adalah efek lebih belakangan ketimbang kemasyhuran Barzanji. Misalnya, saat Gus Mus begitu terpesona dengan teks Burdah, saya mengira Gus Mus membacanya dan menikmatinya dari tradisi Mesir. Di sana, teks Burdah memang menjadi ingatan bersama sejak zaman Mamluk dan tersebar di sepanjang Afrika Utara atau Laut Tengah, terutama bagi umat Muslim bermazhab Maliki. Tentu tak hanya Maliki. Kaum Sufi umumnya suka sebab pengarangnya, al-Busiri, adalah seorang penyair Berber yang giat di dalam Tarekat Syadziliyyah. Di Spanyol, umat Muslim saat ini masih membaca Burdah. Di Cambridge, Inggris, Abdal Hakim Murad sering membacakan Burdah dan teks Usmani, dan Andalusi bersama jamaahnya.

Menilik ke belakang, tiga hingga empat ratus tahun lampau, keterkaitan mazhab dan tarekat sufi menjadi sebab sebuah teks tersebar dan diamalkan sebagai bacaan dalam ritual publik. Termasuk di sini adalah teks Barzanji. Jika Burdah secara historis mengacu pada dunia Laut Tengah, maka Barzanji adalah teks maulid di Samudera Hindia. Teks ini terkenal dan dibaca dari Afrika hingga Indonesia, khususnya di dalam tradisi kaum bermazhab Syafi’i. Untuk konteks Afrika, lihat artikel ini. Ini menjelaskan aspek lain: ulama Syafi’i dan sekaligus Sufi menjadi aktor penting dalam transmisi teks beserta ritualnya. Mungkin sejak akhir abad ke-18 teks ini sudah dibawa dan dipopulerkan perlahan-lahan.

Tapi kini sedikit yang tahu, pengarang Barzanji ini seorang sayyid, keturunan Nabi Muhammad di wilayah Kurdistan. Pengarang Barzanji, Ja`far b. Hasan b. Abdulkarim b. Muhammad b. Abdurrasul al-Barzanji (w. 1179/1765), adalah keturunan keluarga intelektual-aktivis nomor wahid di masa Usmani. Kakek buyutnya, Muhammad b. Abdurrasul al-Barzanji (w. 1691), pindah dari Barzanjah, Kurdistan, ke Madinah, mengikuti pola migrasi para ulama Kurdi, sebagian karena depopulasi akibat persinggungan dengan Imperium Safawi di perbatasan. Sebagian sebab lainnya karena studi dan karir di provinsi Arab wilayah Imperium Usmani menjanjikan: entah di Damaskus, Kairo, atau Madinah. Anehnya, Mekkah relatif tidak diperhitungkan sebagai ‘center of excellence’.

Muhammad b. Abdurrasul, si kakek buyut, pindah ke Madinah pada 1657, berguru pada “Syekh Kita” Ahmad al-Qusyasyi (w. 1661) dan Ibrahim al-Kurani (w. 1690). Pada akhir dekade 1650-an, ia banyak bertemu dengan wazir dan petinggi Usmani penting di Damaskus dan Istanbul. Sang kakek buyut ini adalah seorang aktivis garda depan “Front Pembela Mazhab Madinah” dari berbagai serangan dan polemik yang terjadi dari Eropa hingga India, terutama soal klaim millenarianisme Yahudi dan Islam yang tidak sesuai dengan konsep Sunni. Ia sekaligus pembela Ibrahim al-Kurani dari berbagai tudingan dan fatwa hukum mati yang dijatuhkan sekelompok ulama Maghreb dan Afrika atas Kurani.

Jika Kurani aktif menulis dan mengajar di Madinah, Muhammad Barzanji sangat aktif ikut dalam pergerakan lintas-benua, menemui petinggi di Bab-i Ali di Istanbul hingga Aurangzeb sang Kaisar Mughal dan Sultanah Safiyatuddin di Aceh. Bahkan dalam Perang Usmani melawan Imperium Habsburg di perbatasan Wina, sang kakek buyut ini aktif berpartisipasi. Salah satu puisinya Al-Qasidah al-lamiyyah al-bilghradiyyah dikarang sebagai elegi atas heroisme serdadu Usmani, dikarangnya semasa di Belgrad. Sebetulnya si kakek buyut ini adalah penerus Kurani, sebab ia lebih muda, namun meninggal setahun sekembali dari ‘Perang Suci’ melawan kafir Eropa. Dugaan saya, sebab lelah fisik. Karena itu, tongkat estafet Zawiyyah Qusyasyiyyah dialihkan ke anak Kurani, yakni Abu Tahir – yang juga banyak memberikan ijazah tarekat Syattariyah kepada murid dari Asia Tenggara.


Karangan Ja`far b. Hasan al-Barzanji yang lain. Dari koleksi Universitas Princeton (sumber gambar: koleksi Zacky Umam)

Dalam teks Ja`far yang lain soal Imam Mahdi, Al-Rawd al-wardi fi akhbar al-sayyid al-mahdi, ia banyak merujuk pada buyutnya, “wa jaddi al-sayyid Muhammad b. Rasul….” tentu karena si kakek buyut ini adalah salah satu pakar soal kemahdian pada abad ke-17.

Soal kakeknya, Abdul Karim, ia seorang martir dalam sebuah perang sipil yang terjadi antara penduduk Madinah dan kompetitor lain di Hijaz. Peristiwa itu terjadi pada 1138 H/1725 M di Bandar Pelabuhan Jeddah. Abdul Karim dibunuh oleh Bekir Pasha atas sebuah ferman – titah sultan, yang dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi ‘firman Tuhan’ – dari Istanbul. Soal perang sipil ini, yang ditulis oleh perawi sejarah abad ke-18, tidak disebutkan kelengkapan peristiwanya, sebab dan akibatnya. Sebab, itu tidak terjadi sekali, tapi beberapa kali. Akibat kesyahidan Abdul Karim pada 1725 itu, Hasan, ayah Ja`far, mengungsi ke Kairo atas koneksi dari sayyid lain. Pengungsian ini berlangsung diam-diam.

Keluarga Kurani (Qusyasyi) dan Barzanji adalah keluarga dekat yang terus menjalin persekutuan yang cukup lama. Setidaknya hingga abad ke-18 catatan soal dua keluarga ini ada. Pada pernikahan cucu Kurani, yakni Ibrahim b. Abu Tahir b. Ibrahim al-Kurani, yang memberikan khotbah nikah adalah Hasan b. Abdul Karim al-Barzanji. Hasan memberikan testimoni penting mengenai prestasi intelektuil Kurani pada abad ke-17 dengan mengutip nama Aristoteles, al-Farabi, Hermes Trismegistus (konon Nabi Idris), dan sederetan pemikir Muslim klasik. Kedekatan keluarga inilah yang menjadi kekuatan utama mengapa pemikiran Qusyasyi, Kurani, serta kiprah keluarga Barzanji di Madinah bergaung hingga ke Nusantara, entah melalui Aceh, atau pintu lainnya.

Umat muslim Nusantara adalah murid loyalis dari ‘mazhab Madinah’. Karena itu, tak heran jika ulah kekerasan Wahhabi pada akhir abad ke-18 diceritakan pada kunjungan cicit Qusyasyi (berarti juga cicit Kurani, sebab ini adalah dari keturunan Kurani dengan anak perempuan Qusyasyi) ke Kesultanan Bone, Makassar, pada awal abad ke-19. “Maka datang Syaikh Madinah Ahmad Kusasi yang punya cucu dan Ibrahim Zainal Abidin namanya … itu pula yang khabarkan dari Abdul Wahab merusakkan Makkah dan Madinah … maka dirubu(h)kan semuanya kubur dari Makka dan Madina tinggal kuburnya Nabi Muhammad yang tiada dirubuh,” kutipan ini sudah dilaporkan di sini.

Boleh dibilang, hubungan Arabia-Nusantara pada abad ke-17 hingga ke-20 sebetulnya erat terkait, salah satunya, dengan peran turun-temurun dari keluarga Kurani dan Barzanji. Jika kita temui di India pada abad ke-19, ada pengikut Sirhindi yang berpolemik dengan pemikiran Muhammad al-Barzanji yang memang mengkritik keras ajaran dan pengikut Sirhindi pada masanya, maka di Nusantara tidak demikian. Mereka taat dan patuh pada ‘mazhab Madinah’ tersebut. Karena itu, tak heran jika Maulid al-Barzanji menjadi terkenal. Meskipun pengarangnya sayyid, tapi tidak terlalu terkenal demikian. Ini mungkin karena asalnya dari Kurdistan dan Madinah, bukan – misalnya – Hadramawt, setidaknya jika kita melihat hari ini. Kemasyhuran Barzanji di kampung-kampung di Jawa, juga diiringi oleh wiridan pasca-salat wajib, dari istighfar hingga pembacaan doa, yang konon dipopulerkan oleh Qusyasyi melalui murid-muridnya. Ini semacam Sufisme populer tanpa harus mengikat umat Muslim Nusantara saat itu, juga saat ini, ke dalam sebuah tarekat, baik Syattariyah dan lainnya.

Jasa ulama Kurdi dalam Islam Nusantara tak pernah bisa dilupakan dalam formasi intelektual, ritual keagamaan, dan memori kolektif kita. Catatan ini sekadar sebuah penjelasan singkatan soal kepopuleran Barzanji (dalam pelafalan Kurdi: Barzinji), yang dalam kesarjanaan kontemporer banyak diperkenalkan oleh guru kami, Martin van Bruinessen.