TERTIB ADMINISTRASI DAN SERTIFIKASI ASET ASET ADALAH KEHARUSAN BAGI JAMIYAH NU (Catatan singkat langkah awal mewujudkan visi Jam’iyah NU)



Nahdlatul ‘Ulama (NU) merupakan organisasi masa keagamaan Islam terbesar di Indonesia bahkan bisa jadi terbesar di dunia jika ditinjau dari jumlah pengikut yang mengamalkan amaliah dan aqidah Aswaja NU.
Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi yang dalam konstelasi sejarah bangsa Indonesia maka NU terekam telah memainkan peran dan perjuangan yang cukup signifikan dalam setiap periodisasi sejarah karenanya tak berlebihan dikatakan jika NU menjadi salah satu garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, konsisten untuk terlibat secara aktif dalam mengisi kemerdekaan dan kukuh didalam mempertahankan Pancasila dan kedaulatan NKRI.

Jam’iyah NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di Indonesia mulai dari masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga orde reformasi pada saat ini, dalam perjalanannya maka NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia, pada masa-masa awal setelah didirikan maka NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan Indonesia, salah satu upaya adalah memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pondok pesantren.

NU sebagai Ormas keagamaan yang berdiri sebelum Indonesia merdeka maka NU tercatat sebagai Badan Hukum sejak jaman kolonial yang bisa terbaca dalam Gouverment Besluit sejak tanggal 6 Februari 1930 sebagaimana tercatat dalam Besluit Rechtspersoon No IX tahun 1930, lantas setelah Indonesia Merdeka maka status badan Hukum NU secara mutatis mutandis terkonversi melalui ketentuan Pasal 83 huruf b UU No. 7 tahun 2013 Tentang Ormas yang disebutkan bahwa Ormas yang sudah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 No 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum, yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dan konsisten mempertahankan NKRI maka tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa, karenanya tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai ketentuan UU ini.

Bahwa, dengan mengingat pertimbangan dalam UU No. 7 tahun 2013 Tentang Ormas tersebut, maka Organisasi NU sebagai badan hukum tidak perlu mendaftarkan ulang kepada Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, begitu juga badan otonom (BANOM) yang berada di bawah Organisasi NU, karenanya dapat diberikan Dana Hibah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 450.7/1003/POLPUM, tanggal 10 Maret 2016 maupun dapat pula terbaca dalam Surat Keputusan PBNU Nomor: 45/A.II.04/02/2016 Tentang penulisan Nama Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama di Dalam Buku Sertipikat tertanggal 4 Februari 2016, yang menyatakan: Pertama : Penulisan Nama Perkumpulan Badan Hukum Nahdlatul Ulama di dalam Buku Sertipikat Wakaf maupun Hak Milik Nahdlatul Ulama adalah PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA BERKEDUDUKAN DI JAKARTA. Kedua: Penulisan di dalam buku Sertifikat Wakaf yang diterima oleh Perkumpulan Nahdlatul Ulama agar tidak mencantumkan nama nama pengurus yang mewakili dan/atau bertindak atas nama Nahdlatul Ulama.

Bahwa, berdasarkan Surat Edaran PBNU Nomor: 497/C.I.34/03/2016 menyatakan bahwa : Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh tingkatan kepengurusan, Lembaga-Lembaga dan Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama, adalah suatu perangkat organisasi yang keberadaannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perkumpulan Jamiyyah Nahdlatul Ulama dan telah memiliki Badan Hukum, serta dapat menerima Dana Hibah dari Pemerintah Pusat, Provinsi maupun Daerah

Sebagai badan hukum yang resmi dan legitimate maka dipandang perlu dan mendesak agar Jam’iyah NU dapat melakukan tertib administratif didalam melakukan sertifikasi atas aset aset yang dikuasai, dimanfaatkan, dipergunakan untuk keperluan kegiatan Jam’iyah NU, yang mana dapat dilihat dari usia NU yang sudah ada sejak Indonesia merdeka kemudian struktur kepengurusan yang terbentuk dari tingkat Pusat (PB), Wilayah (PW) Cabang (PC), Kecamatan (MWC), Desa (Ranting) dan tingkat Dukuh/ RW (Anak Ranting) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang disana tentu terdapat aset aset penunjang kegiatan misalnya bangunan Kantor organisasi, Madrasah, Pondok Pesantren, Masjid maupun unit unit usaha maka dapat dibayangkan berapa banyak aset penunjang yang dimiki oleh Jam’iyah NU. Tertib administrasi dan Sertifikasi aset sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat banyaknya problem yang muncul di berbagai daerah yang menyangkut status aset aset tersebut, dengan tertib administrasi dan Sertifikasi aset maka secara yuridis terdapat kepastian yang dapat meminimalisir konflik hukum antara Jam’iyah NU dengan pihak lain baik bersifat perorangan maupun badan hukum lain.

Problem yang sering ditemui oleh Jam’iyah NU pada umumnya adalah menyangkut pemanfaatan dan penguasaan atas aset aset baik yang berupa tanah berikut bangunan yang berdiri diatasnya karena dapat dimaklumi jika dahulu Jam’iyah NU sering tidak tertib didalam melakukan managemen pengelolaan aset yang berbasis tertib administratif dan sertifikasi aset dimaksud, sering kita jumpai aset aset tersebut tidak tersertifikasi atas nama Badan Hukum NU padahal diketahui aset aset tersebut secara berturut turut puluhan tahun dikuasi dan dimanfaatkan oleh Jam’iyah NU, lebih dari itu jika aset tersebut dahulu berupa Waqaf baik dari Waqif perorangan maupun dari Waqif badan hukum atau dari pemerintah yang dalam subtansi waqaf adalah untuk Jam’iyah NU namun kenyataannya apa yang tertuang dalam Ikar Waqaf maupun alas hak perolehan tidak secara spesifik menyebutkan untuk Badan Hukum NU namun sering ditulis secara general misalnya hanya ditulis untuk keperluan pendidikan dan dakwah Islam begitu saja, sehingga dikemudian hari menjadi depatable yang multi tafsir yang sangat berpotensi muncul permasalahan dikemudian hari. Demikian jika perolehan aset dari Waqaf maka banyak ditemui jika yang bertindak selaku Nadhir (pelaksana) adalah perorangan bukan Nahdir badan Hukum NU, maka hal hal ini yang menjadi salah satu akar problem dan atau perkara yang sering kita jumpai dalam Jam’iyah NU seluruh Indonesia.

Progres tertib administrasi dan Sertifikasi aset aset Jam’iyah NU mendesak sekali untuk dilakukan secara massif agar energi internal NU tidak terkuras untuk menghadapi konflik pengelolaan dan pemanfaatan aset aset dengan pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum/ ormas lain.

Pensertifikatan aset aset NU seyogyanya tetap menggunakan nama Badan Hukum NU baik yang berasal dari jual beli, lelang, hibah maupun Waqaf agar jelas dan pasti kepemilikan dan legal standing yang tentu jauh lebih terhindar dari perkara dikemudian hari.

Untuk badan hukum seperti halnya Jam’iyah NU maka sertifikasi tanah wakaf atas nama badan hukum sangat penting untuk dilakukan yang bertujuan agar tanah wakaf tersebut tidak bisa diagunkan dan memiliki perlindungan lebih kuat karena sertifikat wakaf setara memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi daripada ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf. Karena itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mendorong nazhir dan masyarakat untuk proaktif mensertifikatkan tanah wakaf ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Poses pendaftaran sertifikasi tanah wakaf bisa dilakukan setelah terjadinya ikrar wakaf di hadapan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), selanjutnya Kepala KUA akan meminta sertifikat tanah dari wakif dan menerbitkan akta ikrar wakaf (AIW). Bahwa, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf, maka disebutkan jika proses pensertifikatan tanah wakaf adalah sebagai berikut :

  1. PPAIW atas nama Nazhir menyampaikan AIW atau APAIW dan dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran Tanah Wakaf atas nama Nazhir kepada Kantor Pertanahan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan AIW atau APAIW. (pasal 2 ayat 2)
  2. Pemohon mengajukan permohonan kepada kantor BPN setempat dengan melampirkan:
  3. Asurat Permohonan
  4. Durat Ukur
  5. Sertipikat Hak Milik yang bersangkutan atau bukti kepemilikan yang sah
  6. AIW atau APAIW
  7. Surat Pengesahan Nazhir yang bersangkutan dari KUA dan
  8. Surat Pernyataan dari Nazhir bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sita, dan tidak dijaminkan.
  9. Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Tanah Wakaf atas nama Nazhir dan mencatat dalam Buku Tanah dan sertifikat Hak atas Tanah pada kolom yang telah disediakan.

Hal hal itulah tehnis persyaratan dan tahapan dalam proses sertifikasi tanah wakaf untuk mendapatkan sertipikat tanah wakaf di kantor BPN, hal lain terkait dengan pensertifikatan tanah Waqaf lebih rinci bisa dilihat dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf.

Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 angka 4 UU 41/2004). Nazhir wakaf tidak hanya ada 2 (dua), akan tetapi ada 3 (tiga) berdasarkan Pasal 9 UU 41/2004, yaitu:
a. Perseorangan;
b. Organisasi
c. Badan Hukum
Menurut Pasal 10 ayat (3) UU 41/2004, badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus Badan Hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir, perseorangan (dalam Pasal 10 ayat (1) UU 41/2004), yaitu
i. Warga Negara Indonesia
ii. Beragama Islam
iii. Dewasa
iv. Amanah
v. Mampu secara jasmani dan rohani, dan
vi. Tidak terhalang

b. Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
c. Badan Hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Selain persyaratan tersebut, Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menyebutkan beberapa persyaratan lainnya, yaitu:

  1. Nazhir badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia(“BWI”) melalui Kantor Urusan Agama setempat, jika tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, pendaftaran nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/ kabupaten/kota.
  2. Nazhir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran harus memenuhi persyaratan :
    a. Badan Hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
    b. Pengurus Badan Hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan.
    c. Salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada
    d. Memilik :
    i. Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang.
    ii. Daftar Susunan pengurus.
    iii. Anggaran Rumah Tangga.
    iv. Program Kerja dalam pengembangan wakaf.
    v. Daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum, dan
    vi. Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
    Persyaratan-persyaratan tersebut dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagai nazhir badan hukum.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk dapat menjadi nazhir badan hukum, hal tersebut tidak secara otomatis terjadi ketika nazhir mendapatkan benda wakaf, namun untuk dapat menjadi nazhir badan hukum harus didaftarkan terlebih dahulu pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama.

Secara subtansi Waqaf adalah bentuk sedekah jariyah, yakni menyedekahkan harta kita untuk kepentingan ummat, sehingga harta wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan, karena wakaf pada hakikatnya adalah menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat. Dasar hukum Waqaf adalah Hadist yang diriwiyatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” sedangkan sumber hukum positif adalah UU No. 41 tahun 2004 tentang Waqaf jo
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tengtang Waqaf yang dalam peraturan itu disebutkan jika syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh fan keempat dia adalah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid), sehingga bagi orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang yang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) yaitu harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindah milikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan yaitu pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga, kedua harta yang diwakafkan itu haruslah diketahui kadarnya, sehingga apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih), maka dapat dilihat terlebih dahulu dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah dan yang kedua adalah tidak tertentu (ghaira mu’ayyan) yaitu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf, adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.

Syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan yaitu : Pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja, sedangkan syarat Shigah berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat : Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid), karenanya tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Bertolak dari uraian singkat tersebut diatas maka agar Jam’iyah NU energi internal tidak terkuras dengan adanya konflik hukum yang menyangkut status hukum atas aset aset penunjang kegiatan sehingga energi NU secara umum bisa lebih fokus didalam melakukan akselerasi gerakan mewujudkan visi menjadikan Jam’iyah diniyah Islamiyah ijtima’iyah yang memperjuangkan tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyyah dan upaya mewujudkan kemaslahan masyarakat, kemajuan bangsa, kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian khususnya warga NU serta terciptanya rahmat bagi semesta dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila.

Semoga bermanfaat
Semoga Allah SWT Meridhoi

Lahul Fatihah

Salatiga, 20/02/20

  • Sofyan Mohammad
    Ketua LPBHNU Kota Salatiga