Monthly Archives: Mei 2019
5 Rekomendasi Munas Ulama NU: Soal Sebutan Kafir hingga Sampah Plastik

Banjar – Munas Alim Ulama dan Konbes NU telah ditutup. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj membacakan lima poin rekomendasi saat acara penutupan.
Penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU berlangsung di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Jumat (1/3/2019). Rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan merupakan keputusan rapat pleno Munas Ulama NU, baik yang berkaitan dengan agama maupun organisasi.
Poin pertama yaitu istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Maka yang ada adalah nonmuslim bukan kafir.
Said Aqil dalam sambutannya mengisahkan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad SAW di Makkah untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.
“Tapi ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non muslim di Madinah, di sana disebut nonmuslim tidak disebut kafir,” ucap Said.
Kedua, Said menjelaskan, berdasarkan konstitusi tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa kecuali Mahkamah Agung. Sebab Indonesia bukan darul fatwa.
“Kalau ini hasil musyawarah ulama, bukan fatwa. Karena Indonesia bukan negara agama beda dengan negara Timur Tengah yang ada mufti. Namun sejurus dengan itu, tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak beragama. Maka ada kementerian agama, tapi tidak ada darul fatwa,” ujar Said.
Ketiga, terkait dengan fatwa, oleh karena hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan, yang sah mengeluarkan fatwa, maka NU menegaskan tidak satu pun lembaga yang mengatasnamakan dirinya sebagai mufti.
Keempat, mengenai sampah plastik yang sudah jadi permasalahan dunia. Indonesia jadi negara terbesar kedua penyumbang sampah plastik setelah China. Sampah plastik ini disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya masyarakat menyadari bahaya sampah plastik.
“Oleh karena itu penanganan sampah plastik harus memasukkan elemen budaya. Sehingga membangun secara panjang dan prilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari bahaya sampah plastik. Tadi malam juga agak alot orang melanggar hukumnya seperti apa. Kalau tahu sampah plastik dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan, mengganggu kesehatan, dimakan ikan lalu dimakan kita terganggu kesehatannya,” tutur Said.
Hasil Munas Ulama NU yang kelima adalah money game dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) yang mengandung unsur manipulasi, tipu daya, tidak transparan, pihak yang dirugikan, syarat menyalahi prinsip akad Islam, bukan barang tapi bonus, maka hukumnya haram.
“Kalau memenuhi syarat normatif, transparan bonus selain barang maka dihalalkan, ada ulama yang menghalalkan dengan sampai 12 syarat,” terangnya.
Koordinator sidang Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah LBM PBNU Asnawi Ridwan mengatakan dalam komisi Bahtsul Masail Waqiiyah, hukum membuang sampah sembarangan adalah haram apabila nyata-nyata atau diduga membayakan. Apabila kemungkinan kecil membahayakan maka hukumnya makruh.
“Hukum awal ketika tidak dikaitkan dengan Perda atau Undang-undang pertama haram apabila nyata-nyata atau diduga membahayakan. Makruh apabila kemungkinan kecil membahayakan. Jadi kami mendorong kepada pemerintah, tidak hanya Perda tapi undang-undang yang sifatnya nasional. Maka hukumnya menjadi haram kalau buang sampah sembarangan,” ujar Asnawi Ridwan.
Asnawi menjelaskan hasil komisi ini setuju pemerintah menerapkan sanksi kepada oknum yang membuang sampah sembarangan. Karena prinsip dasar syariat adalah menjaga hak azasi manusia secara umum.
Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4449710/5-rekomendasi-munas-ulama-nu-soal-sebutan-kafir-hingga-sampah-plastik
Karomah Kiai Maksum Krapyak

Beberapa kiai atau ulama sering dianggap punya karomah atau ajian-ajian sakti. Padahal, tidak sedikit kiai yang sebenarnya tidak punya kelebihan itu. Cara-cara mendidik santri dan masyarakat yang kerap aneh dan di luar dari perkiraan membuat dugaan soal karomah itu muncul. Salah satunya adalah kisah Kiai Ali Maksum saat mengajak jalan-jalan santrinya yang sering membolos. “Kang Majidun, dipanggil Pak Kiai Ali,” kata seorang santri. Entah mimpi apa Ahmad Majidun tadi malam. Pagi-pagi itu K.H. Ali Maksum, pengasuh Pesantren Krapyak, mencarinya. Bagi santri, dipanggil seorang kiai itu bisa mengandung beragam kemungkinan dan arti. Dipanggil karena pernah melakukan kesalahan di pesantren, misalnya. Ini jelas bukan panggilan yang menyenangkan. Rasanya malah sangat menakutkan. Bisa juga dipanggil karena kiai hapal dengan si santri. Dalam beberapa aspek, tentu saja ini menyenangkan. Akan tetapi, perlu diketahui, dikenal dan dihapal oleh pengasuh sebenarnya lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Dan hal ini disadari betul oleh Majidun yang bersiap-siap menuju kediaman Kiai Ali. Kedatangan Kiai Ali di Krapyak Kiai Ali merupakan putra dari K.H. Ma’shum (di kalangan pesantren sering dikenal panggilan “Mbah Ma’shum Lasem”), kiai legendaris pengasuh pesantren Al-Hidayah di Lasem, Rembang. Setelah belajar mengaji ke beberapa pesantren (termasuk ke Pesantren Tremas, Pacitan), Kiai Ali menikahi Rr. Hasyimah, putri dari K.H. M. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, pada 1938. Sepeninggal Kiai Munawwir, Kiai Ali kembali ke pesantren ayahnya di Lasem. Mengelola pesantren ayahnya dan membuat pesantren Lasem ini berkembang pesat. Di saat bersamaan di Yogyakarta (saat itu zaman pendudukan Jepang), keadaan pesantren Krapyak tidak begitu baik. Maka, dikirimlah utusan ke Lasem beberapa kali untuk membujuk Kiai Ali ikut serta membantu Pesantren Krapyak. Sayang, permintaan ini ditolak. Barangkali bagi Kiai Ali, putra-putra Kiai Munawwir lebih punya hak untuk memimpin pesantren Krapyak daripada dirinya yang hanya menantu. Sampai beberapa kali utusan ke Lasem tidak membuahkan hasil, akhirnya Nyai Sukis (istri Kiai Munawwir sekaligus ibu mertua Kiai Ali) bersama K.H. Raden Abdullah Afandi Munawwir (putra Kiai Munawwir) datang langsung membujuk Kiai Ali. Pada 1943, Kiai Ali menerima permintaan tersebut. Di Kraypak, ia membuat sistem pengasuhan “tiga serangkai”. Pertama, KH. Raden Abdullah Affandi Munawwir, pengasuh yang menangani urusan relasi pesantren dengan dunia luar. Posisi ini diperlukan sebab di periode tersebut, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota negara dan menjadi sasaran serangan militer, baik oleh Jepang maupun Belanda pada periode pasca-kemerdekaan. Pengasuh kedua, KH. Raden Abdul Qadir Munawwir, adik dari Kiai Raden Abdullah, pengasuh yang menangani program hafalan Alquran. Kemudian terakhir Kiai Ali, sebagai pengasuh yang bertanggung jawab menangani pendidikan santri, termasuk mengelola pengajian kitab kuning. Sayangnya, baik Kiai Raden Abdullah dan Kiai Raden Qadir tidak berumur panjang. Keduanya meninggal dunia di periode 1960-an. Pada akhirnya, Kiai Ali menjadi satu-satunya kiai besar yang tersisa mengelola pondok pesantren Krapyak sampai wafat pada 1989 di usia 74 tahun. Dekat dengan santri Salah satu yang dikenal dari sosok Kiai Ali adalah kedekatannya dengan anak didik. Ada banyak kisah yang bisa menjadi contoh. Seperti memberi uang kepada santri-santrinya yang ingin melihat acara sekaten tetapi, karena kere, mereka hanya bisa melihat acara sekaten dari jauh tanpa berani mendekat. Selain itu, Kiai Ali juga dikenal selalu mencoba mengenal lebih jauh santri-santrinya yang nakal. Mencoba akrab, agar tahu apa sebenarnya permasalahan yang dialami santrinya tersebut. Dan inilah yang dialami oleh Ahmad Majidun, santri pesantren Krapyak sekaligus mahasiswa semester akhir IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada periode awal 1980-an. Seperti halnya mahasiswa aktif lain, Majidun adalah tipe mahasiswa yang sibuk dengan komunitas dan organisasi kampus. Dan yang namanya organisasi kampus, kadang Majidun harus berkegiatan dan menginap di luar kota. Itu artinya Majidun sering tidak kembali ke pondok selama beberapa hari dan jelas membuat Majidun hampir setiap saat membolos ngaji. Bahkan termasuk jadwal ngaji yang diajar oleh Kiai Ali sendiri. Itulah membuat Kiai Ali memanggil Majidun pagi-pagi. “Injih, Pak Kiai. Ada apa, ya?” kata Majidun menghadap Kiai Ali. “Oh, Kang Majidun. Aku mau tanya, hari ini lagi ada acara tidak, ya?” tanya Kiai Ali. Majidun heran. Ada urusan apa Kiai Ali menanyakan jadwal acara seorang santri seperti dirinya? “Tidak ada Kiai,” kata Majidun. “Oh, kalau begitu ikut saya jalan-jalan,” kata Kiai Ali. Majidun tentu kaget bukan kepalang. Tanpa alasan yang jelas, Kiai Ali tiba-tiba mengajaknya jalan-jalan. Dalam pikiran Majidun, ini jelas sebuah kehormatan bisa diajak jalan-jalan dengan Kiai Ali. “Jalan-jalannya naik mobil, ya?” kata Kiai Ali. Majidun bingung. “Oh, Pak Kiai mau saya supiri?” “Oh, ndak perlu. Kamu duduk aja jadi penumpang,” kata Kiai Ali. Majidun semakin bingung. Di perjalanan percakapan tidaklah terjadi begitu intens. Tentu saja Majidun kikuk. Ia satu kendaraan dengan pengasuh pesantrennya, di saat bersamaan Majidun menyadari ia sering membolos mengaji. Dadanya berdegup kencang karena mendapati ada sesuatu yang tidak beres. “Anu, ini kita mau kemana, Pak Kiai?” tanya Majidun sambil takut-takut. Kiai Ali diam sejenak. “Mau ke kampus,” kata Kiai Ali. “Hah? Kampus mana Kiai?” “Ke Kampus IAIN,” jawab Kiai Ali. Deg! Tentu saja muka Majidun jadi tidak enak. Adalah wajar ketika Majidun menggunakan statusnya sebagai mahasiswa untuk jadi alasan ketidakaktifannya mengaji. Alasan yang sama untuk jawaban kenapa ia jarang pulang ke pondok. Jika Kiai Ali sampai tahu bahwa ia juga jarang masuk kuliah dan ke kampus karena cuma aktif di organisasi saja, masalah bisa tambah runyam. Bisa-bisa Majidun tidak akan punya alasan lagi. Ali Maksum Sesampainya di kampus IAIN, Majidun memberanikan diri bertanya. “Ada urusan apa Kiai ke IAIN?” Sambil tersenyum, Kiai Ali menjawab, “Ya mengantar anakku yang paling ganteng sendiri, Kang Mas Ahmad Majidun kuliah, toh,” kata Kiai Ali dengan jelas. Majudin rasanya ingin pingsan. Dalam pikirannya, Kiai Ali pasti juga tahu kalau ia juga jarang kuliah. Karena merasa tertangkap basah, Majidun pun turun dari mobil. Tanpa membawa buku dan alat tulis satu pun. Jadwal dan ruangan kelas pun tak tahu karena memang tidak mempersiapkan diri bahwa hari ini bakal ke kampus. “Sudah, ya? Aku pamit dulu,” kata Kiai Ali. “Oh, baik Kiai,” kata Majidun sambil menyalami Kiai Ali. Dalam pikiran Majidun cuma ada satu hal, kenapa Kiai Ali sampai tahu kalau ia jarang kuliah sampai mengantar dirinya ke kampus? Nalar yang biasa dipakai saat itu adalah Kiai Ali pasti punya semacam karomah, atau seperti ajian sakti yang bisa membaca mata batin santri-santrinya. Termasuk mata batin Majidun. Hal inilah yang membuat Kiai Ali tahu bahwa ternyata selama ini Majidun pamit ke kampus bukan untuk kuliah. Setelah ditinggal Kiai Ali, di perjalanan menuju fakultas, Majidun bertemu dengan salah satu temannya. “Wah, Majidun keren, ke kampus diantar pakai mobilnya Pak Kiai Ali sekarang,” kata temannya. “Lho, kok, kamu kenal? Sampai tahu mobilnya Kiai Ali segala?” tanya Majidun. “Ya, kenal. Pak Kiai Ali, kan, dosen kampus sini. Beliau, kan, sering ke kampus.” Mendengar itu, Majidun rasanya ingin pingsan beneran. Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik “Daffy al-Jugjawy”, julukan yang kami sematkan kepada penulisnya. Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi (tirto.id – Sosial Budaya)
Penulis: Ahmad Khadafi
sumber https://tirto.id/karomah-kiai-maksum-krapyak-cpYX
Ayat Suci di Balik Tongkat Simbah KH Cholil Bangkalan

Di berbagai literatur yang menjelaskan tentang sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU), KH Cholil Bangkalan Madura (1820-1923) mempunyai peran strategis. Peran tersebut terjadi ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1875-1947) hendak meminta petunjuk kepada Mbah Cholil terkait gagasan para kiai pesantren untuk mendirikan sebuah organisasi ulama.
Kala itu, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah NU yang langsung disampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Mbah Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Mbah Hasyim dalam menyambut permintaan Mbah Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Mbah Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Mbah Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Sehingga ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Mbah As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, 2010: 72)
Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa AS sebagai berikut:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى
Artinya:“Apakah itu yang di tangan kananmu wahai Musa? “Ini adalah tongkatk, aku bertelekan kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa! Lalu dilemparkanyalah tongkat itu, tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengemabalikan pada keadaan semula. Dan Kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat – sebagai mukjizat yang lain (pula) – untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.”
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”.
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Inilah distingsi (ciri khas) yang membedakan NU dengan organisasi keagamaan lainnya.
Fakta sejarah di atas merupakan sebagian proses penting lahirnya NU. Di samping itu, peran sejumlah ulama dan kiai tentu tidak kalah strategisnya dalam proses panjang tersebut. Karena gagasan yang dibangun oleh Mbah Wahab tidak muncul secara instan, melainkan harus melalui dialektika panjang terkait paham keagamaan yang saat itu muncul ditambah dengan ketidakperikemanusiaan yang terus menerus dilakukan oleh penjajah saat itu.
Tentu tulisan singkat ini perlu dilengkapi oleh berbagai kisah yang melingkupi proses pendirian NU sehingga lahir sebagai organisasi sosial kegamaan (jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah) yang mampu merawat akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan meneguhkan keindonesiaan yang majemuk. Langkah komplementasi tulisan sejarah terkait hal ini sangat penting agar peristiwa sejarah tidak dipahami secara anakronistik (sepotong-potong). sumber http://www.nu.or.id/post/read/75843/ayat-suci-di-balik-tongkat-mbah-cholil-bangkalan
(Fathoni Ahmad)
Tulisan di atas disarikan dari buku “Pertumbuhan dan Perkembangan NU” karya Choirul Anam.
Khutbah Jumat: Tahun Politik, Jangan Sebar Caci Maki!

Khutbah I
اَلْحَمْدُ للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بَعَثَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا صَلّى الله عليه وسلم لِاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاق، وَنَهَانَا عَنِ الذَّمِّ وَالتَّجَسُّسِ إلَى جَمِيْعِ الْمَخْلُوْقَات، وَهُوَ الَّذِيْ يَحْذَرُنَا بِجَمِيْعِ الظُّنٌوْنَات، لِأَنَّهَا مِنْ بَعْضِ أَنْوَاعِ الْمَذْمُوْمَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِىْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hadirin jama’ah Jumah hafidhakumullah,
Saya berpesan kepada pribadi saya sendiri, juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita terus berusaha meningkatkan takwa kita kepada Allah dengan mematuhi semua perintah dan menjauhi aneka macam larangan-larangan-Nya.
Hadirin hafidhakumullah,
Kita sekarang ini sedang berada di tahun politik. Semua warga negara berhak menentukan pilihannya. Tidak ada yang boleh memaksa pilihan saudaranya sendiri. Kita berhak memilih siapa capres cawapres, anggota DPR, DPRD maupun DPD yang kita anggap bisa mengemban amanah paling baik di antara calon yang lain. Dalam memilih, marilah kita kembalikan kepada akal sehat kita masing-masing. Mari kita menengok dan bertanya bagaimana jawaban hati nurani kita itu! Dan setelah melalui perenungan yang mendalam, tanpa ada yang boleh menghalangi, setiap warga negara yang sudah cukup umur dipersilahkan menggunakan haknya untuk memilih calon yang dirasa baik di dalam bilik tanpa ada yang boleh mengintervensi sedikitpun. Hal ini dilindungi oleh negara.
Karena negara telah memberikan kebebasan, jangan sampai kita menganggap diri sendiri paling sempurna, sehingga kita membelenggu orang lain untuk leluasa memilih calon sesuai dengan pandangannya. Jangan sampai karena kita memilih pasangan calon A, lalu kita melarang saudara kita memilih calon B, C dan lain sebagainya.
Agama merupakan hal yang paling mendasar dan krusial dalam hidup ini. Meski begitu, Allah tetap tidak memperbolehkan kita memaksa orang lain yang tidak seakidah dengan kita untuk kemudian kita paksa supaya sama dengan kita. Apalaogi sekedar pilihan politik. لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS Al Baqarah: 256)
Atau dengan istilah lain ‘tidak ada agama dalam keterpaksaan’.
Dalam ayat lain, sebagaimana yang masyhur kita kenal, yaitu
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (QS Al-Kâfirûn: 6)
Terhadap keesaan dalam bertuhan, Allah hanya mengakui Islam sebagai agama. Walaupun jelas dinyatakan salah, Allah tidak pernah mengajarkan kita untuk memaksa orang lain untuk memilih Islam sebagai agama. Sebab hidup itu pilihan.
Adapun ada orang yang memilih untuk celaka, silahkan saja. Hidup memang pilihan. Nabi Muhammad sendiri pun dikasih wahyu oleh Allah, tidak akan bisa memberikan hidayah kepada orang yang beliau cintai. Hidayah merupakan hak preogatif Allah.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesunggunya kamu (Muhammad) tidak akan pernah bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, tapi Allah lah yang memberikan petunjuk bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Dia maha paling mengetahui terhadap orang yang diberikan petunjuk.” (QS Al-Qashah: 56)
Apakah Allah tidak mampu membuat semua orang menjadi beriman? Jawabnya, “Allah pasti mampu.” Namun demikian memang keadaannya. Allah menciptakan semuanya berpasang-pasangan. Ada yang baik-buruk dan lain sebagainya. Begitu pula ada orang yang mendapat petunjuk dengan yang tidak. Terdapat orang yang beruntung-celaka dan seterusnya. Masing-masing merupakan ciptaan Allah. Seandainya semua makhluk beriman, pastinya Allah mampu membuat itu semua. Namun tidak demikian kehendak Allah subhânahu wa ta’âlâ.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya: “Jika Tuhanmu berkehendak, pasti akan beriman semua penduduk bumi. Apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka iman semua?.” (QS Yunus: 99)
Hadirin jama’ah Jumah hafidhakumullah,
Dengan demikian, dapat kita pahami bersama, Allah melarang kita untuk memaksa siapa pun untuk sependapat dengan apa yang ada dalam isi otak kita meskipun terhadap urusan agama yang begitu krusial. Apalagi hanya masalah kecenderungan pilihan politik, semulia apa pun tujuan kita, seagamis apa pun landasan kita, sehebat apa pun otak kita, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memilih sesuai selera kita. Kita hanya boleh menyampaikan nilai-nilai saja dengan sewajarnya, tanpa memaksa.
Rasulullah Muhammad ﷺ diberi pesan oleh Allah subhânahû wa ta’âlâ hanya untuk menyampaikan nilai-nilai, tidak sampai memaksa:
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
Artinya: “Kewajibanmu tidak lain hanya menyampaikan (risalah).” (QS As-Syûra: 48)
Hadirin jama’ah Jumah hafidhakumullah,
Dalam berpolitik, jangan hanya karena beda pilihan politik menjadikan alasan bagi kita untuk memutus tali persaudaraan, memutus tali pertemanan, memutus hubungan keluarga, dan lain sebagainya. Kita sebagai anak bangsa tidaklah patut menjadikan perbedaan pandangan politik sampai memutus hubungan-hubungan tersebut.
Jika kita berpolitik karena Allah, lalu menjadikan kita putus hubungan saudara, teman dan lain sebagainya, maka perlu kita koreksi lagi niat kita dalam berpolitik, perlu kita telaah lagi keberagamaan kita. Sejatinya tidak ada yang perlu dibela mati-matian dalam berpolitik hingga kita rela memutus persaudaraan.
Hadirin jama’ah Jumah hafidhakumullah,
Selain tak boleh memaksa pilihan politik, kita juga dilarang menghujat, membully maupun menghina siapa pun yang berbeda pandangan dengan kita. Bahkan Baginda Nabi pernah berpesan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sampai kepada setan yang nyata-nyata dilaknat oleh Allah, kita dilarang mencaci makinya. Padahal kita pasti semua sudah tahu, setan merupakan musuh kita bersama. Kita tetap tidak boleh mengumpat, mencaci maki dan lain sebagainya. Kepada setan, kita diperintahkan oleh Allah untuk meminta perlindungan darinya, tanpa harus mengutuk, menghina dan mencaci maki setan. Kata Rasul:
لَا تَسُبُّوا الشَّيْطَانَ، وَتُعَوِّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ
Artinya: Jangan kalian mencaci maki setan. Mintalah perlindungan Allah dari keburukannya.
Firman Allah dalam surat Al-An’am:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Artinya: “Dan janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah. Hal itu akan menjadikan mereka mengolok-olok Allah dengan memusuhi tanpa pengetahuan.” (QS Al-An’am: 108)
Dari hadis dan ayat di atas ini, terdapat ajaran, kita dilarang mencaci maki, membully siapa pun orang ataupun benda apa pun walaupun terhadap hal-hal yang benar-benar keliru menurut ajaran agama. Apalagi hanya sekedar kepada orang yang mempunyai pandangan politik yang berbeda. Tentu dilarang. Apalagi sesama muslim atau sesama anak bangsa. Ini jelas dilarang.
Hadirin,
Saat ini, mari kita ciptakan pemilu yang damai, tanpa menyindir, membully dan mencaci maki dengan tujuan mencari ridla Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Tidak elok jika kita sebagai anak bangsa, sesama muslim, saling curiga, mencari-cari celah kesalahan lawan pilihan politik, menggunjing politikus-politikus dan lain sebagainya. Allah mengingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat: 12)
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ، وَجَعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ بِماَ فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمِ. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشيطن الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Khutbah II
الحمد للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
(Ahmad Mundzir) Sumber
http://www.nu.or.id/post/read/97082/khutbah-jumat-tahun-politik-jangan-sebar-caci-maki
Hardiknas Momentum Penguatan NU Passion School (NPS) Bagi Pendidik Indonesia

Oleh: Maya Muizzatul Lutfillah
Setelah
kaum buruh memanfaatkan momentum ‘May Day’, pada Rabu (1/5) kemarin,
hari ini Kamis (2/5) masyarakat Indonesia diingatkan kembali kepada
sejarah dan corak pendidikan di Indonesia melalui momentum Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas yang diperingati setiap tahun
oleh masyarakat Indonesia tertuang dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 316 tahun 1959. Tanggal tersebut
merupakan tanggal di mana Ki Hajar Dewantara ditetapkan menjadi pahlawan
nasional oleh Pemerintah Soekarno. Ki Hajar Dewantara merupakan Menteri
Pendidikan pertama untuk periode 1945, dua Mei juga merupakan hari yang
spesial bagi Ki Hajar Dewantara. Sebab tanggal tersebut adalah tanggal
kelahirannya. Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama asli Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat lahir 2 Mei 1922. Ia adalah
sosok yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan di Indonesia, corak
pemikirannya yang berbasis kepribadian dan kebudayaan memiliki dampak
positif untuk arah gerakan pendidikan kala itu. Petuah fenomenal yang kerap kita jumpai adalah Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’. Saduran
bebas pemaknaan istilah tersebut adalah ‘di depan memberi contoh, di
tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan’. Sederet
slogan tersebut sampai kini masih menjadi acuan bagi guru dalam
mendidik para siswanya. Bahkan frasa ‘tut wuri handayani’ masih
terpampang pada logo Kementerian dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejalan
dengan nilai sejarah tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) yang menjunjung
tinggi nilai nilai tradisi tentu lebih luas memaknai pemikiran Ki Hajar
Dewantara. Meski pusat pendidikan NU di Pesantren yang bukan bagian dari
pendidikan formal, sesungguhnya para kiai sepuh NU adalah pendidik dan
pengajar yang patut diberikan apresiasi oleh bangsa Indonesia. Atas
kerja keras Kiai Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan kiai-kiai NU
lainnya, pendidikan anak bangsa semakin tercerahkan. Terutama pada
penanaman nasionalisme dan akidah Ahlussunnah Waljamaah. Pada
perkembanganya, sejak 1945 sampai dengan 2019 ini, perkembangan
pendidikan formal semakin menjulang. Hal itu dapat dibuktikan dari
banyaknya lembaga pendidikan formal dan masifnya penerapan kurikulum
yang beragam. Semuanya tentu memiliki tujuan yang mulia adalah
mencerdaskan anak bangsa. Terlepas dari hal
tersebut, di era modern kini, seharusnya NU menjadi role model bagi
pendidikan di Indonesia. Itu dapat dilakukan NU dengan menampilkan
perbedaan pada sistem pendidikan nasional, misalnya NU lebih
mengunggulkan perpaduan metode salaf dan metode modern di semua lembaga
pendidikan yang dinaungi NU.
Pada praktiknya
penulis menyebutnya sistem ini dengan bahasa “NU PASSION SCHOOL (NPS)”.
Konsep NPS adalah mendidik dengan karakter dan akhlakul karimah
berdasarkan fikrah dan harakah yang tertuang dalam Aswaja-nya NU. Menurut
penulis, konsep ini dinilai tepat karena pendidikan sebagai elemen
dasar dalam pembentukan kepribadian yang baik seejak dini. NPS yang
penulis tawarkan lebih fokus Pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jika
konsep ini berkembang secara baik, tentu dapat dilanjutkan kepada
tingkatan yang lebih tinggi seperti SD atau SMP. Siswa
PAUD yang memiliki usia 3-5 tahun adalah waktu yang pas untuk ‘merekam’
semua pelajaran terutama tumpuan pendidikan dasar seperti akidah
Ahlussunnah Waljamaah. Pada kesempatan itu, NU bisa leluasa mengenalkan
pemikiran dan pergerakan keagamaan persfektif NU. Sehingga, setelah
dewasa nanti, siswa akan tetap berpegang teguh pada pemikiran dan
ideologi yang sejalan dengan Nahdlatul Ulama.
Kurikulum
muatan lokalnya bisa menggunakan tradisi tradisi NU yang tidak
dilakukan PAUD pada umumnya. Bisa di telusuri di lapangan, saat ini
sistem pendidikan PAUD di Indonesia lebih senang dengan konsep yang
kurang religious lagi.
Kebanyakan PAUD di
Indonesia, memberikan materi ajar sambil bermain saja, dengan rincian
materi secara umum tidak menjurus kepada nilai nilai kebangsaan,
ke-islaman dan ke-Indonesiaan. NPS ini memberikan
materi ajar sambil bermain menggunakan konsep modern berbasis NU, contoh
anak anak dibiasakan baca shalawat nabi sebelum dan sesudah belajar,
dibiasakan melakukan tradisi ke-NUan seperti ber-ziarah, tata cara
shalat yang sesuai dengan ajaran Aswaja dan memberikan pemahaman dasar
Ahlussunnah waljamaah. Sehigga mereka akan
terbiasa melakukan tradisi NU, penulis masih yakin mempersiapkan
generasi NU harus dimulai sejak dini dengan begitu NU akan kuat secara
gerakan dan pemikiran.
Selanjutnya, konsep NPS
yang ditawarkan penulis, penguatan jiwa nasionalisme dapat dipupuk
secara luas, misalnya siswa/sisiwinya di berikan materi ajar tentang
empat pilar kebangsaan dan pengenalan tokoh tokoh nasional, lagu-lagu
nasional, lagu-lagu daerah, dan mendoktrin bahwa Indonesia adalah
Indonesia bukan Suriah, bukan pula Amerika. Termasuk penggunakan bahasa
nasional yakni Bahasa Indonesia sebagai bahasa Tanah Air.
Di
usianya yang masih sangat produktif, siswa siswa PAUD dengan konsep
NPS, akan diberikan penguatan nasionalisme seperti bernyanyi lagu-lagu
Kebangsaan Indonesia Raya, story telling kisah para pahlawan, menonton
film perjuangan, pentas drama, baca puisi, dan sebagainya.
Cara
mengajarkan anak semangat nasionalisme religius tidak perlu dengan cara
yang dogmatis. Seorang anak akan lebih mudah menerima pesan dengan cara
penyampaian yang menyenangkan.
Jika semangat
nasionalisme religius ini secara konsisten ditanamkan sejak anak-anak
hingga menjadi dewasa maka ia akan tertanam dalam sanubari. Dengan
begitu generasi muda kita tidak akan mudah terpedaya oleh rayuan
ideologi yang justru akan merusak bangsa. Untuk itu, NU Passion School
menjadi solusi atas dinamika pendidikan yang ada saat ini. Sebab NPS
adalah model kurikulum pendidikan yang memuat semangat nasionalisme
religius secara berkesinambungan.
Bagi penulis,
Islam yang moderat dan nasionalisme sangat penting terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai wujud pengabdian dan kecintaan terhadap
bangsa sendiri. Dengan demikian, generasi muda NU dapat menjaga
keutuhan bangsa, persatuan bangsa, dan dapat meningkatkan martabat serta
citra positif bangsa dan agama. (*)
Penulis adalah Alumni Program Studi Pendidikan Dasar Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UNJ) Jakarta 2018, Ketua Bidang Pendidikan dan Kepemudaan Pengurus Besar PMII Puteri (KOPRI PB PMII) Sumberhttps://www.nu.or.id/post/read/105602/hardiknas-momentum-penguatan-nu-passion-school-nps-bagi-pendidik-indonesia-
Kisah Keluasan Hati KH Arwani Kudus ketika Dihina

Dalam pengajian Tafsir Jalalain belum lama ini, Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, KH Muhammad Shofi Al-Mubarok menceritakan salah satu kisah kehidupan KH Arwani Amin Kudus.
Ia menerangkan, seusai menghadiri pembukaan thoriqoh yang baru saja didirikan oleh KH Arwani Amin Kudus, KH Manshur Maskan, murid kesayangan Kiai Arwani melihat tulisan yang mengusik hatinya.
“Arwani Edan”. Ya, begitulah tulisan yang tertera melekat diatas tembok di pinggiran jalan.
Melihat tulisan yang masih basah itu, Kiai Mansur lantas bergegas matur kepada Kiai Arwani untuk meminta izin menghapus tulisan yang tidak bertanggung jawab tersebut. Namun, apa yang justru dikatakan Kiai Arwani?
“Ojo dibusak disik, ben aku weruh disik. ben wong sing nulis iku puas. Onone wong kui nulis, mergo nduwe tujuan ben tak woco. wes jarke disik. ngko nak aku wes weruh, hapusen.”
(Jangan dihapus dulu, agar orang yang menulis puas. Adanya orang itu nulis karena memiliki tujuan agar saya baca. Sudah biarkan saja dulu. Nanti kalau saya sudah melihat, hapuslah).
Diriwayatkan, Kiai Manshur Maskan sendiri wafat pada 31 Maret 2004 M / 10 shofar 1426 H dalam usia 59 tahun. Sumber http://www.nu.or.id/post/read/75218/kisah-keluasan-hati-kh-arwani-kudus-ketika-dihina