Monthly Archives: Januari 2020

MELACAK JEJAK SEJARAH CIKAL BAKAL DESA SURUH (Peran Kyai dalam membangun peradaban di Desa Suruh)

Suruh merupakan salah satu Desa yang masuk di Wilayah Kabupaten Semarang – Jateng, terletak 33 KM dari pusat ibukota Kabupaten. Desa Suruh merupakan ibukota pemerintahan Kecamatan Suruh yang membawahi 17 Desa.

Diyakini sebelum abad 15 M disekitar desa Suruh saat ini sudah ada peradaban yang ditandai dengan berdirinya beberapa Desa disekitar Desa Suruh, namun khusus Desa Suruh maka peradaban secara teratur mulai terbentuk setelah adanya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yaitu perjanjian yang dilakukan antara Sri Susuhunan Paku Buwono III Raja Surakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono 1 (Pangeran Mangkubumi) Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dan dengan Pangeran Sambernyowo (KGPA Mangkunegaran 1), perjanjian ini adalah bagian penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan kerajaan Mataram Islam.

Dalam perjanjian itu adalah pembagian wilayah untuk kekuasaan Pangeran Sambernyowo dan merupakan episode lanjutan dari adanya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang menandai pecahnya kekuasaan wilayah Kerajaan Mataram Islam.

Perjanjian Gianti maupun perjanjian Salatiga tidak lepas dari adanya campur tangan VOC dan perjanjian Salatiga tersebut berlangsung di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang sekarang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.

Setelah berlangsung Perjanjian Salatiga tersebut maka diceritakan ada salah satu Ulama berdarah Ningrat yang bersimpati dengan Perjuangan Pangeran Sambernyowo dan tidak sependapat dengan campur tangan Belanda didalam melakukan manuver pecah belah karena VOC sudah sedemikian jauh mengurusi urusan pemerintahan di Keraton Surakarta Hadiningrat bahkan dikisahkan Sri Susuhunan Paku Buwono III yang melantik adalah pihak Belanda karenanya merupakan raja Mataram pertama yang dilantik oleh pihak Belanda

Ulama dari golongan bangsawan tersebut melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan cara memilih keluar dari pusat Ibukota dan memilih hijrah untuk mencari wilayah lain guna menghindari hiruk pikuk konflik politik di pusat pemerintahan Surakarta Hadiningrat, salah satu Ulama dimaksud adalah Raden Setiyo Manggolo, yang merupakan murid dari Kyai Mas Ngabehi Astra Wijoyo atau sering disebut Kyai Encik Domo yang merupakan salah satu Ulama sekaligus Punggawa di Wilayah Kadipaten Semarang yang pada saat itu masuk wilayah dibawah kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat waktu itu.

Dikisahkan Raden Setiyo Menggolo hijrah bersama putra keduanya yang bernama Raden Aji Manggala Putro yang diikuti oleh 2 Punggawa setia yaitu Raden Gus Kento Sastra dan Raden Gus Kento Sahab serta beberapa abdi dalem dan para santri tentunya

Dalam perjalanan mencari tempat tinggal baru tersebut maka sampailah di salah satu hutan kecil arah timur umbul Senjoyo atau Desa Tingkir yang saat itu sudah terbentuk peradaban yang cukup ramai, setelah berada di daerah inilah maka kemudian Raden Setiyo Manggolo bersama para pengikutnya membabat hutan kecil dan membangun pemukiman yang selanjutnya diberi nama Desa Suruh.

Diyakini rumah prabon tempat tinggal Raden Setiyo Menggolo beserta keluarganya sekarang terletak di Dusun Pandean, sedang Punggawa Raden Gus Kento Sastra bermukim di daerah sekarang masuk Dusun Kauman dan Punggawa Raden Gus Kento Sahab bermukim sekarang masuk Dusun Banggirejo sementara para abdi dalem dan santri membuat rumah Magersari di sekitar ndalem poro ndoronya masing masing

Untuk menarik minat para penduduk sekitar agar mau bermukim di Desa Suruh maka dibuatlah jalan jalan tembus yang menghubungkan dengan desa desa sekitar, setalah cukup banyak penduduk yang bermukim di Desa Suruh maka untuk lebih meramaikan Desa selanjutnya Raden Setiyo Manggolo membuat kios / warung yang dalam perkembangannya menjadi pusat perniagaan yang sekarang menjadi Pasar Suruh.

Setelah penduduk yang bermukim semakin banyak maka sebagai media Dakwah Raden Setiyo Menggolo bermaksud mendirikan masjid yang pada awalnya akan dibangun disekitar rumahnya di Dusun Pandean, namun setelah berkonsultasi dengan gurunya yaitu Kyai Mas Ngabehi Encik Domo maka sesuai dengan petunjuk gurunya tersebut pada akhirnya disepakati Masjid Besar Suruh dibangun di Dusun Kauman sekarang karena disekitar wilayah tersebut terdapat umbul air atau sendang Naga Ngakak yang airnya dapat dipergunakan untuk keperluan Masjid.

Dikisahkan sebelum Pembangunan Masjid selesai ternyata Raden Setiyo Menggolo meninggal dunia maka pada akhirnya kepemimpinan Desa Suruh diambil alih oleh Kyai Mas Ngabehi Encik Domo atau R Ng. Astra Wijoyo, termasuk Putra mendiang Radrn Setiyo Menggolo yaitu Raden Aji Menggolo Putro diasuh pula oleh Kyai Encik Domo.

Oleh Kyai Encik Domo pembangunan masjid dimulai yang berdasarkan tarikh (sejarah) yang tertuang dalam piagam berhuruf Pegon Arab ditandatangani oleh Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo yang sampai saat ini masih terpasang pada dinding masjid, maka Masjid Besar Suruh diresmikan pada Hari Ahad (Minggu) delapan belas hari, bulan Muharam tahun Bi Hijratan Nabi Shollahhu Alaihi Wasallam 1232 H atau bertepatan tahun 1816 Masehi.

Masjid Besar Suruh oleh Kyai Astro Widjojo benar benar dipergunakan untuk media syiar Agama Islam sekaligus difungsikan sebagai pusat untuk mengatur pemerintahan Desa Suruh. Kyai Encik Domo sebagai pemimpin Desa Suruh didampingi oleh Gus Raden Kentho Sastro selaku Wakilnya maupun Raden Gus Kentho Sahab selaku pamong pemerintahan.

Sebagai seorang ulama maka Kyai Encik Domo menggunakan cara yang luhur dan santun didalam mendidik umat karenanya dikisahkan untuk pengelolaan Pemerintahan melalui Masjid maka pada saat itu sudah dilakukan manajerial yang sedemikian sistematis dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang dapat dijalankan dengan penuh amanah oleh masing masing penerima tugas misalnya Raden Gus Kento Sastro (Mbah Wakil) bertugas untuk mengadakan tarikan restribusi pasar yang saat itu berupa hasil yang diperdagangkan, hasil yang diperoleh dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan sekaligus untuk kesejahteraan umat sedangkan Raden Gus Kento Sahab bertugas untuk mencerdaskan kehidupan seluruh warga Desa Suruh.

Untuk mempercepat proses pembangunan maka Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo mendatangkan ahli pertukangan kayu yang ditempatkan di Dusun Mesu, ahli kuningan ditempatkan di Dusun Kauman, ahli gerabah ditempatkan di Dusun Morangan, ahli peralatan pertanian dan kemasan ditempatkan di Dusun Pandean, selanjutnya para ahli ahli tersebut bertugas mengajarkan keahlian yang dimilikinya tersebut kepada penduduk Desa Suruh.

Sepeninggal Kyai Mas Ngabehi Astro Widjojo maka santri sekaligus anak angkatnya yaitu Raden Aji Manggolo Putro meneruskan pemerintahan Desa Suruh, yang dikisahkan selain waskita dengan ilmu keagamaan yang tinggi maka Raden Aji Menggolo Putro juga mahir dalam ilmu tata pemerintahan sehingga dibawah kepemimpinannya maka Desa Suruh berkembang dengan sistem yang sangat baik pada era itu, secara prinsip kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Desa Suruh waktu itu dapat terlihat dari sisa sisa bangunan maupun planologi tata ruang desa suruh yang bisa kita pelajari hari ini.

Diyakini jika Raden Aji Menggolo Putro didalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dengan pendekatan roso dan simbolik yang menjadi ciri orang Jawa, syiar Islam tidak melalui dalil dalil yang kaku, kompleksitas dalil dalam Kitab Al Qur’ an, Hadist, usul Fiqh, Furu’i dll diterjemahkan dengan penyampaian yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh umat, karenanya hasil yang didapat adalah predikat Desa Suruh dari dahulu terkenal sebagai basis Agama dengan penduduk yang sangat relegius.

Raden Aji Menggolo Putro setelah memiliki kematangan ilmu keagamaan maka kemudian mengganti namanya menjadi Kyai Abdul Karim dan menurut penuturan sumber nasabnya Kyai Abdul Karim atau Raden Aji Mangala Putra memiliki keturunan yaitu empat orang yaitu Hasan Arif, Muhammad Qirom, Muhammad Muchsin dan Roro Sireng yang kesemuanya hingga saat ini telah melahirkan generasi turun temurun menjadi Penduduk Desa Suruh dan sebagian diantaranya juga menyebar ke beberapa daerah dengan membawa nasab genetik keturunan Raden Setiyo Menggolo dan Raden Aji Menggolo Putro alias Kyai Abdul Karim.

Kehalusan budi pekerti, tauladan serta kebijaksanaan memimpin yang dilakukan oleh Kyai Abdul Karim maka perlahan namun pasti telah membentuk kebudayaan dan peradaban yang Adi luhur di Desa Suruh, karenanya warisan kebudayaan yang melekat menjadi kearifan lokal tersebut harus dilestarikan oleh Warga Suruh meski juga harus mengikuti perkembangan zaman kekinian yang serba digital.

Susunan puzzle jejak sejarah Desa Suruh ini kami susun dalam Tabaruk ilmi dengan KH Abdul Karim yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al Mansyur, Gundi Suruh seusai rapat Pengurus Ranting NU Desa Suruh di Ponpes HIKMATUL FATHILAH Watu Agung Suruh.

Kepekatan kabut malam menjadi saksi guyuran wejangan Romo Yai Abdul Karim sehingga mampu menggugah kesadaran dan semangat sahabat sahabat Ansor Banser Anak Cabang Suruh untuk melestarikan keluhuran budaya yang diwariskan oleh leluhur cikal bakal Desa Suruh yang merupakan seorang Kyai atau Ulama

Petuah Romo Yai Pengasuh Ponpes Al Mansyur tersebut beringsut masuk kedalam sanubari rohani para Sahabat Ansor Banser Suruh bersamaan dengan nikmatnya kopi hitam yang kami seruput setelah kami tuang sendiri dari ceret berwarna perak.

Kepulan asap rokok filter yang di hisap oleh Rois Syuriah Ranting NU Suruh tersebut laksana hizib yang membawa berkah semangat bagi semua sahabat Ansor Banser Suruh yang hadir saat itu untuk meneguhkan tekad meneruskan perjuangan para ulama cikal bakal Desa Suruh.

Semoga keberkahan dan petuah ilmu yang diberikan oleh Romo Yai Abdul Karim dapat menjadi pemantik bagi bersatunya kesadaran Para Penduduk Suruh untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik untuk memulai hari hari pada tahun 2020 ini.

Matur nuwun Yai atas segala curahan illmunya semoga membawa Barokah bagi semua

Lahul Fatihah

Watu Agung Suruh, 2 Januari 2020. 01. 45 WIB

Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)

Refleksi Akhir Tahun 2019 menuju Tahun 2020 harapan dan tantangan (Kita sebagai pribadi dan kita sebagai Warga Negara)

Dalam kalender Masehi maka tanggal 31 Desember adalah tanggal penghujung yang akan berganti menjadi hari dan tanggal pertama di bulan pada yang tahun baru, maka umumnya hampir orang di seluruh dunia merayakan dengan berbagai cara, tak sedikit orang merayakan dengan eforia sukacita (ekspresi dengan kiblat budaya barat), namun tak sedikit pula orang melakukan refleksi dengan ritualitas konfirmasi diri (ekspresi inklusifitas teologi dan budaya lokal)

Bagi seorang mukmin maka perayaan pergantian tahun akan dirayakan dengan melakukan ibadah khusus atau laku spiritual sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT sekaligus komitmen pengharapan terhadap perubahan diri menuju pribadi yang lebih baik, hal ini barangkali adalah harapan dalam konteks kita sebagai diri pribadi namun kita sebagai warga negara maka pergantian tahun adalah momentum untuk meneguhkan semangat membangun kesadaran kolektif guna menegaskan komitmen agar berani menghadapi tantangan dengan membangun pola berpikir dengan kesadaran kritis untuk melawan segala bentuk korupsi, melawan segala bentuk keterbelakangan, melawan segala bentuk kebodohan, melawan segala bentuk kemiskinan, melawan segala bentuk ketidakadilan serta melawan segala bentuk gaya hidup yang tidak ramah lingkungan sehingga mampu merajut kesadaran kolektif agar lebih mencintai karya dan produk dalam negeri.

Imam Al Ghazali sebagai seorang pemikir dan spiritualis Islam dalam kitab “Minhajul Abidin” menuliskan adanya perbedaaan antara harapan dan khayalan yaitu manusia yang berharap itu memiliki dasar, sedangkan manusia yang mengkhayal tidak memiliki dasar kemudian dalam kitab “Ihya Ulumuddin” disebutkan agar manusia senantiasa dapat mengiringi harapan (raja’) dengan rasa takut (khauf), sebab, pada dasarnya harapan yang sejati tidak dapat dipisahkan dengan harapan yang tulus, oleh karenanya harapan itu hanyalah bagi orang yang takut. Adapun orang yang tidak merasa takut, akan merasa aman, sedangkan rasa takut itu hanyalah bagi orang yang berpengharapan sejati, bukan bagi orang yang putus asa.

Dalam kitab “Ihya Ulumuddin” tersebut juga menegaskan yaitu setiap langkah manusia, harus seimbang antara khauf dan raja’, keduanya akan menjadi media pengendali diri, yaitu saat manusia sedang dalam kesulitan maka diharuskan memperbanyak raja’, sedangkan bila manusia sedang dalam kesenangan, sudah seharusnya meningkatkan khauf, pemikiran Imam Al Ghazali pada prinsipnya mengajak kita untuk merenungkan sejenak makna “harapan” yang kerap mengisi relung-relung terdalam sanubari kita sebagai manusia, terutama saat jiwa dan raga kita larut dalam hasrat kesenangan dunia semata-mata. Harapan akan perubahan hidup yang diinginkan manusia sebenarnya sangat mungkin dicapai selama kita menempuh jalan-jalan kebaikan.

Terkait dengan harapan maka selanjutnya dalam refleksi pergantian tahun ini maka menjadi relevan rasanya untuk mempertautan kesadaran kritis kita sebagai manusia secara pribadi maupun sebagai warga negara yaitu harapan menuju kemaslahatan hakiki.

Kemaslahatan dimaksud adalah menyangkut nilai kemanfaatan secara rohani diri maupun secara sosial, bertolak dari hal tersebut maka kemaslahatan secara pribadi yaitu kemaslahatan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan kekayaan yang merupakan pokok kehidupan, karena manusia tidak bisa hidup layak tanpa lima hal tersebut. Sedangkan kemaslahatan secara sosial (maslahat mursalah) yaitu menumbuhkan kesadaran kolektif agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin sebagai sesama warga negara, dari sini maka akan tercapai keamanan, ketertiban dan kesejahteraan

Dalam kemaslahatan sosial maka setidaknya harus mampu memotret lenskap keseluruhan aspek dalam hidup bersosial yang mengacu pada kitab “al-kulliyyat al-khamsah” karya Muhammad Abid Al – Jabiri maka dapat terbaca jika kemaslahatan sosial tersebut meliputi pertama, kemaslahatan umat agama-agama yaitu melindungi agama (hifdzu al-din) karena setiap agama hakikatnya mengajarkan kebaikan dan menebarkan kasih sayang yang menjunjung tinggi keadilan.

Kedua, kemaslahatan jiwa dan hak hidup yaitu melindungi jiwa (hifdz al-nafs) hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menghargai hak hidup setiap orang, Ketiga, kemaslahatan ekonomi yaitu melindungi harta (hifdz al-mal) yang merupakan salah satu komponen primer dalam kehidupan sosial, keempat kemaslahatan keluarga yaitu melindungi keturunan (hifdz al-nasl) yang juga merupakan aspek penting karena menyangkut keberlangsungan eksistensi kehidupan membentuk peradaban yang terakhir adalah kemaslahatan akal yaitu melindungi akal (hifdz al-‘aql) karena akal adalah jantung agama, sehingga tak heran dalam berbagai kitab fikih disebutkan, bahwa setiap umat mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk melaksanakan ajarannya sejauh mempunyai akal yang sehat.

Demikian pencerahan yang didapat dari derasnya ilmu Romo Yai Sumyani Aziz (Khatib Syuriah PCNU Kota Salatiga – Bapak mertua Gus Yusuf Pengasuh Ponpes API Tegalrejo Magelang) melalui metode wejangan beliau yang runtut dan sistematis tertumpah menyirami kesadaran akal dan ruhani kami diwaktu subuh memasuki hari pertama pada bulan Januari 2020.

Semburat cakrawala pagi menembus celah celah kaca ventilasi Rumah Romo Yai Sumyani Aziz masuk pada sanubari kami membawa pesan keseimbangan antara raja’ dan khauf jika hari ini 1 Januari 2020 adalah awal pembentukan kualitas diri.

Suguhan Kopi hitam dari Gus Syakir putra Romo Yai Sumyani Aziz telah kami seruput habis hingga tinggal menyisakan ampas residu yang tersisa dalam gelas dan sisa kepulan asap rokok kretek yang kami hisap lebur bersama semangat kami untuk memulai kehidupan yang lebih baik pada tahun ini.
Dimulai dengan menyebut kalimat “Bismilahirohmanirohim” dengan penuh kepasrahan.

Matur suwun Yai atas segala curahan pencerahan dan inspirasinya, semoga Barokah

Lahul Fatihah

Tingkir lor, 1 Januari 2020. 06.14 WIB

Sofyan Mohammad (LPBHNU Salatiga)

Fase perkembangan hukum di Nusantara (Menuju implementasi penegakan hukum berkeadilan era kekinian)

Ditengah munculnya kompleksitas problem penegakan hukum di Indonesian akhir akhir ini maka memantik pemikiran kritis untuk melacak kembali pembentukan hukum yang berlaku di Nusantara sebagai bahan renungan dan evaluasi

Dari pelajaran yang diperoleh saat di bangku kuliah dalam mata kuliah sejarah hukum maka masuk dalam ingatan bagaimana Hukum kita saat ini merupakan akulturasi dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan yang disebut dengan dengan Nederlandsch-Indie.

Nusantara sebelum era Samudra Pasai di Sumatra dan Kerajaan Demak di Jawa berdiri maka mayoritas masyarakat kita adalah pemeluk Agama Budha, Hindhu maupun Agama lokal yang dalam prosesnya juga telah membentuk hukum, selanjutnya setelah Kerajaan Samudra Pasai dan Demak berdiri maka menandai fase pergantian mayoritas pemeluk Agama karenanya juga bergeser pula beberapa hal tentang tatanan hukum di Nusantara yaitu karena mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam maka hukum agama didominasi hukum Islam hingga saat ini meski dalam lingkup domestik misalnya menyangkut perkawinan, kekeluargaan, warisan, hibah, wasiat maupun ekonomi syariah.

Namun demikian di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya lokal yang ada di wilayah nusantara

Fase perkembangan hukum di Indonesia bisa dilihat dari fase kerajaan di Nusantara misalnya kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit, Kutai, dll, namun pada saat itu tata hukum masih bersifat kewilayahan berdasarkan batas wilayah kekuasaan masing-masing kerajaan, karenanya disetiap kerajaan memiliki tata hukum sesuai dengan kebudayaan masing-masing, kepercayaan, dan keputusan raja di setiap kerajaan dan sumber hukum era itu bersumber dari hukum agama kerajaan yang terbentuk bersamaan dengan kearifan lokal dari pada kerajaan itu sendiri.

Jejak sejarah hukum di Indonesia bisa melalui adanya Prasasti, naskah kuno maupun cerita rakyat yang berkembang selanjutnya diketahui jika keputusan hukum pada masa lalu dilakukan berdasarkan kitab hukum tertulis yang bersifat lokalistik, kebiasaan atau adat yang tidak tertulis hal ini bisa diketahui misalnya dalam Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung pada era Majapahit maupun dalam kitab Kutaramanawa yang dapat digariskan jika era itu segala permasalahan diselesaikan menurut ketentuan yang termuat dalam kitab hukum, pendapat umum – adat – kebiasaan yang diterjemahkan oleh pejabat kehakiman yang ahli pada saat itu.

Penerapan sangsi hukum tersusun dalam kitab yang sejalan dengan makin bervariasinya jenis sanksi, diketahui sangsi era itu ada tiga jenis hukuman yang pernah diterapkan di Nusantata era itu yaitu kutukan yang mengerikan, denda uang, dan hukuman badan, untuk sanksi kutukan berlaku sebagaimana dalam mantra kutukan pancamahabhuta (lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).

Perkembangan selanjutnya pada fase Kolonial dimana kedatangan bangsa Eropa tentu memberikan pengaruh-pengaruh terhadap perkembangan tata hukum di Indonesia yang di beberapa hal masih menjadi madzhab dalam hukum kita sampai saat ini.

Pada saat ini kita tengah memapaki era post modernisme yang ditandai dengan mengguritanya arus informasi dan komunikasi dan terbentuknya lenskap digital dengan gaung revolusi industri 4.0 adalah tantangan penegakan hukum saat ini karena pada praktiknya memunculkan keragaman problematik hukum untuk itu diperlukan terobosan hukum guna menciptakan keadilan karena hukum harus menjadi enigering dalam perkembangan zaman

Salah satu terobosan hukum adalah melalui penerapan legal metanarative sebagai salah satu implementasi menjawab tantangan menghadapi kemajuan di bidang teknologi sebagai suatu realitas yang dihadapi oleh legal metanarative.

Pembentukan sebuah Negara yang menggunakan hukum modern haruslah diikuti dengah penegak hukum yang modern pula agar tercipta sebuah Negara yang benar-benar menggunakan hukum modern yang baik, tepat, dan menerapkan bahwa semua warga Negara sama di hadapan hukum, tidak ada diskriminasi maupun kencenderungan untuk menegakan hukum secara tebang pilih.

Dialog yang mengharu biru bersama dengan para praktisi hukum yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya dalam coreng moreng penegakan hukum di Indonesia. Ada Jaksa Senior, ada hakim Senior, ada beberapa Lawyers senior lintas pulau dan diikuti pula dengan gagasan dan pertanyaan pertanyaan yang menggelitik dari junior junior Advokat Magang

Secangkir Kopi hitam menyisakan residu tidak mampu menyelesaikan keganasan waktu dialektika diskusi hingga pelayan resto kembali menghidangkan bergelas gelas wedang uwuh, wedang jahe dan teh tubruk telah habis terseruput juga belum menghilangkan dahaga problematika hukum yang menjadi topik diskusi malam ini di Srawung Resto dan Kopi Jl. Cangkringan, Kali Urang Yogyakarta.

Resto megah yang berdiri di tengah tengah sawah malam ini berkelindap dengan kabut dan hujan yang mengguyur tersapu pada kepulan asap rokok yang masih menyisakan kegelisan kami untuk menjawab tantangan hukum di era digital.

Matinya lampu resto menandai berakhirnya diskusi kami malam ini yang jauh dari kata tuntas.

Kaliurang, Yogyakarta 3/01/2020. 24. 02 WIB

Sofyan Mohammad (Ketua LPBHNU Salatiga)

Yai Muwafiq dan Tantangan NU


Lebih dari satu dekade ini ada ancaman serius terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari paham-paham radikal dan ekstrimisme, karenanya NU sebagai salah satu Jam’iyah merasa ikut bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa dengan tetap berkomitmen menjaga idiologi Negara.

Dalam tradisi di lingkungan NU maka ada istilah riyadlah atau tirakat, maka secara kolektif tirakat yang sedang dijalani oleh Jam’iyah NU saat ini adalah Istiqomah untuk menahan diri agar tidak terprovokasi atas segala bentuk fitnah, hoax dan beraneka ragam tindakan provokatif lain dari kelompok tertentu yang selalu menyerang martabat NU secara kelembagaan maupun terhadap para Masyayikh, Kyai, ulama, Dai maupun intelektual yang berafiliasi dengan Jam’iyah NU.

Riyadloh bagi orang NU adalah berusaha untuk tidak berprasangka buruk, Tahalli yaitu menghiasi diri dengan sifat mahmudah (terpuji) dan Tajalli yaitu harus terbuka mata hatinya menerima nikmat yang diberikan Allah SWT, karenanya ditengah moment terpaan fitnah, hoax, provokasi dan adu domba yang sedang gencar dilakukan kelompok ekstrimis maka bagi jam’iyah NU hal ini justru dijadikan bahan evaluasi untuk memperkokoh i’tiqad (keyakinan/paham) amaliyah, fikrah dan harakah Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah.

Bagi nahdliyin dengan potensi ketakwaannya harus memahami bunyi ayat, “Apabila datang seorang fasik membawa berita maka kalian harus bertanggung.” Ayat 6 dari Surat al Hujurat tersebut menekankan pentingnya tabayun dalam arti meneliti informasi agar lebih tahu kebenarannya. Jika informasi tersebut salah maka jangan sekali-kali turut serta menyebarkannya. Kita bisa belajar dari konflik di belahan timur tengah, Libya, Yaman, dan Suriah yang menyebabkan hancur karena fitnah dan hoaks. Untuk itu bagi NU selain maju melawan hoax maka juga harus melawan gerakan radikal sebagian ikhtiar menjaga kelestarian Nusantara.

Yai Ahmad Mufawiq salah satu Kyai, mubaligh sekaligus Intelektual muda NU beliau bisa dibilang merupakan figur Kiai yang serba bisa, karena selain menyampaikan ceramah soal agama, dirinya juga sangat menguasai pengetahuan umum yang meliputi sejarah Indonesia maupun luar negeri, politik, ekonomi hingga sosial budaya, namun saat ini beliau tengah mengalami tekanan dari kelompok lain yang tidak sependapat dengan cara beliau menyampaikan dakwah, pemilihan diksi kalimat bahasa Arab “Romadun Syayidun” ditranslit dengan bahasa Jawa sehari hari “rembes” malah menjadi salah satu menu istimewa untuk digoreng habis habisan oleh kelompok lain yang salah satu tujuannya patut diduga adalah untuk mendeskriditkan dan mendelegitimasi beliau karena mereka tahu Yai Muwafiq sangat dicintai umat khususnya warga Nahdliyin, reaksi provokasi inilah yang ditunggu agar NU bereaksi mengikuti skema mereka tapi Alhamdulillah para Kyai NU tanggap suasana tersebut sehingga tetap tenang dan tidak terprovokasi hal ini semata mata adalah bagian akhlaq yang menjadi landasan Harokah NU.

Berbagai tekanan tidak menghalangi Yai Muwafiq untuk terus berdakwah, setelah memberi sirahaman rohani dihadapan ribuan jamaah di lapangan Pemda Kabupaten Badung, Propinsi Bali maka sehari kemudian Yai Muwafiq tetap melanjutkan dakwah di hadapan ribuan jemaah memadati halaman Pondok Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo, Sabtu (7/12/2019) saking banyaknya jamaah yang datang, Ponpes Al Muayyad tak cukup menampung jamaah, hingga meluber ke jalan jalan di sekitar Ponpes Al Muayyad.

Para Jamaah tampak khusyuk mengikuti setiap rangkaian acara yang berlangsung, mereka duduk diatas gelaran tikar dengan penuh antusias meski ditengah gerimis mereka rela bedesak desakan dengan hanya menyaksikan tausiyah Yai Muwafiq dihadapan dua layar besar yang disiapkan panitia, para jamaah ini sudah menyemut di Ponpes Al Muayyad mulai pukul 19.00 Wib dan mereka pun tetap sabar meski harus menunggu berjam-jam, karena Yai Muwafiq baru datang sekitar pukul 22.20 Wib.

Meski sebelumnya pihak panitia dibayang-bayangi dengan aksi demo sekelompok ormas yang sehari sebelum acara digelar, sekelompok ormas menggelar demo di depan Polresta Solo dan sempat terjadi insiden bentrok namun pengajian tetap berlangsung secara aman damai dan penuh barokah.

Sebagai antisipasi pihak kepolisian dan TNI yang ada di Solo sudah mensiagakan sekurangnya 1.000 personel gabungan, untuk mengamankan acara dibantu sahabat sahabat Banser, Pagar Nusa maupun ormas lain yang antusias dan bersolidaritas ikut merasa bertanggung jawab mengamankan acara tersebut.

Pengajian di Ponpes Al Muayad Solo selain dihadiri ribuan jamaah juga dihadiri pula oleh para Masyayikh, Kyai dan tokoh tokoh NU, karenanya pengajian malam itu menjadi pengajian yang istimewa dan penuh mabruk sekaligus sebagai catatan bagi NU untuk memperteguh khitoh perjuangan.

Solo, 7/12/19 Sofyan Mohammad (ketua LPBHNU Salatiga)